Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Aku bolak-balikkan paket yang ada di tangan. Bagaimana bisa Mas Alvan membelikanku pakaian bayi, sedang aku saja belum hamil. "Bapak yakin tidak salah alamat?" tanyaku pada seorang lelaki yang memakai jaket berwarna biru itu. "Benar Mbak, nama dan alamatnya sesuai dengan sini."Nama pengirimnya adalah Alvan Nugraha, dan itu adalah nama suamiku. Lalu untuk apa dia mengirim paket berisi pakaian bayi sedang diriku tak sedang hamil atau memiliki seorang bayi. Ku ingat tak ada kerabat dan saudara yang baru saja melahirkan. Namun kenapa suamiku membeli pakaian bayi? Dahiku mengkerut hanya memikirkan sebuah paket dari suamiku. Sebuah paket yang membuat diriku penasaran. "Atau jangan-jangan Mas Alvan punya selingkuhan?" bantinku curiga. Ah, tidak! Tidak! Suamiku tak mungkin selingkuh meski aku belum bisa memberikannya keturunan. Dia sangat mencintaiku meski sudah enam tahun usia pernikahan kami, tapi hingga detik ini Allah belum memberikan amanah. Berbagai program hamil sudah ku lakukan
Uhuuk ... Uhuuk.... Mas Alvan batuk mendengar pertanyaan terakhir yang kukatakan. Apa benar kamu selingkuh Mas? Kenapa kamu begitu gugup saat ku tanyakan hal itu? Sakit jika itu benar terjadi. Meski aku sangat mencintaimu tapi jika kamu berkhianat aku tak akan segan-segan meninggalkanmu. "Jawab Mas! Kenapa kamu diam saja!" Kunaikkan nada bicaraku. Kesal, suamiku hanya diam mematung. "I-itu sayang, Mas ...." Mas Alvan terdiam. Dia seperti tengah merangkai sebuah kalimat. Aku yakin dia hanya mencari alasan saja. "Sini Mas, jelaskan." Mas Alvan menepuk ranjang di sebelahnya. Ku geser tubuhku mendekatinya. Mas Alvan menarik tubuhku hingga kepala menempel tepat di dada bidangnya. Tak ada jarak di antara kami membuat aku dapat mendengar detak jantung suamiku dengan jelas. Dulu, ini adalah posisi ternyaman saat bersamanya. Aku bisa terlelap hanya dengan menempelkan tubuh di dada bidangnya. Namun hari ini terasa hambar karena sebuah paket baju bayi. Seakan ada tembok pembatas di antar
Sinar mentari menerobos cela jendela kamar. Mas Alvan sedikit terusik hingga menarik selimut menutupi kepala. Jarum jam sudah menujukkan angka tujuh, tapi suamiku masih enggan beranjak dari ranjang empuk.Mas Alvan memang sudah bangun untuk shalat subuh tapi tidur lagi dan sampai sekarang belum juga membuka mata. Katanya semalam ingin dinas ke luar kota. Tapi kok masih tidur saja. Kugelengkan kepala melihat kebiasaan buruk suamiku. Berulang kali ku nasehati tapi tetap saja diulangi lagi. Dan lama-lama aku lelah sendiri. Kumasukkan kemeja dan keperluan lain di dalam koper. Kuperiksa lagi semua barang agar tak ada satu pun yang tertinggal. Kasihan kan jika ada yang tertinggal. "Mas ...." Ku elus perlahan pipinya. Kukecup kening agar ia segera membuka mata. Ini adalah kebiasaan kami saat membangunkan pasangan. Mas Alvan mengeliat lalu membuka matanya perlahan. Senyum merekah tergambar jelas di bibirnya. Tetap mempesona meski belum mandi. "Morning sayang," ucapnya sambil mengecup mes
Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku. Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku? Aku termenung beberapa saat. Tak tahu harus bagaimana? Duniaku seakan runtuh seketika. Ingin rasanya ku maki dan tampar Mas Alvan. Namun urung ku lakukan. Aku harus mencari kebenaran di balik paket baju bayi itu. Sejujurnya aku masih tak percaya jika suami yang kubanggakan begitu tega. Aku masih berharap jika ini mimpi dan saat terbangun semua akan kembali baik-baik saja. Namun sayang ini adalah sebuah kenyataan. Telingaku masih berfungsi dengan baik. Tak mungkin aku salah dengar. Suami yang kupuja ternyata menusuk dari belakang. Remuk redam hatiku. Kalau saja bukan suamiku pasti rasanya tak sesakit ini. Aku masih bersandar di dinding. Sekuat tenaga aku berdiri tegak. Ku hapus air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi. Aku tak akan bertanya apa pun kepada Mas Alvan. Karena dia pasti akan mencari alasan seperti paket baju kemarin. Aku akan mencari sendiri kebenarannya. Dan aku masih be
Aku keluar dari baby shop dengan perasaan tak karuan. Aku masih tak percaya dengan apa yang tadi ku lihat. Lalu untuk apa dia membeli pakaian bayi dan mengirimkannya ke alamat rumahku? Kata-kata Mas Alvan tadi pagi kembali terngiang di telinga. Gembrot? Bukankah dia selalu berkata jika aku seksi tapi kenapa tadi pagi justru mengolok tubuhku yang tak ideal. Apa yang ada di pikiranmu, Mas. Sekarang saja aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiranmu. Dan Mas Alvan mengatakan sebuah rencana. Rencana apa yang dimaksud Mas Alvan. Kepalaku justru pusing memikirkan teka-teki itu. Aku duduk di depan kemudi sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Bayang-bayang Mas Alvan berkhianat menari-nari dalam angan. Aku tak pernah bermimpi ada di posisi seperti ini. Kukira cerita suami berkhianat hanya ada di dalam sinetron atau novel belaka. Namun ternyata aku sendiri mengalaminya.Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Beri aku petunjuk"Mbak! Mbak!" Seorang tukang parkir berjalan mendekat k
Aku masih mematung di balik tembok. Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Kututup mulut dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar. Dada terasa sesak mendengar kenyataan itu. Sakit dan perih yang kini ku rasakan. Bahkan aku masih tak menyangka, bukan hanya Mas Alvan yang berdusta tapi seluruh keluarganya bermuka dua. Di depanku saja mereka baik tapi di belakang mereka menikam. Apa yang membuat mereka tega kepadaku? Aku bahkan rela membantu biaya kuliah Sasya. Aku juga yang telah membiayai kehidupan mereka. Membangun rumah hingga seperti ini. Namun balasan apa yang ku dapat? Sebuah pengkhianatan. Ya Tuhan. Selama ini aku memelihara ular yang kapan saja bisa melilit dan mematuk hingga racunnya perlahan membuatku terkapar tak berdaya. "Pokoknya kalian harus bersikap seperti biasa. Jangan sampai dia curiga dan rencana kita semua akan hancur berantakan!" Rencana? Rencana apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Apa ini menyangkut pernikahanku atau menyangkut harta.
Ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Mataku membulat sempurna melihat penampilan kedua perempuan beda usia itu. Sasya memakai rok di atas lutut dengan kaos ketat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Sedang ibu memakai dress bermotif bunga-bunga dengan warna pink cerah. Dandanan wanita paruh paya itu cetar membahana. Lipstik merah menyala dan bulu mata palsu menambah penampilannya semakin sempurna. Bahkan ibu sudah seperti ondel-ondel. Astaga, aku ingin tertawa tapi takut ibu merajuk dan gagal lah rencanaku. "Kamu yakin mau pakai baju itu Sa?""Yakinlah mbak, aku cantik gini."Aku hanya diam tanpa berdebat. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ibu dan Sasya terlihat riang. Tunggulah kebahagiaan kalian tak akan berlangsung lama. "Nah gini dong Mbak,ke salon biar cantik tidak gembrot dan dekil?" Ibu langsung mencubit tangan Sasya dari belakang. "Ibu apaan sih! Memang kenyataannya begitu," ucap Sasya tanpa disaring. Kuhembuskan nafas kasar. Memang benar ucapan Sasy