Beranda / Rumah Tangga / Salah Tetangga / Siap-siap Jadi Janda

Share

Siap-siap Jadi Janda

Penulis: celotehcamar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-06 17:23:06

Sudah dua hari ini Bulan dan Lingga tak saling bicara. Hidup seatap namun tak saling tatap. Bulan tetap melayani kebutuhan suaminya sebelum dan sepulang kerja. Dia juga mencoba untuk bersikap biasa saja. Bahkan sering mencoba mengajak berbaikan. Tapi Lingga selalu menghindarinya. Sampai akhirnya Bulan lelah dan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.

“Kamu kenapa, Lan? Lagi sakit?”

Bulan menggeleng. Dia tak menatap lawan bicaranya. Justru lebih memilih berpangku tangan di meja kerjanya.

“Mukamu pucet banget. Ada masalah?”

Teman-temannya berusaha menghibur dan mencari tahu apa yang terjadi. Tapi Bulan tetap menutup diri. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Hingga akhirnya orang-orang di sekitarnya pergi dan memberi ruang untuk Bulan menyendiri.

Triiing

Triiing

Triiing

Tiba-tiba ada telepon dari ibu mertuanya. Sebenarnya Bulan masih enggan berbicara dengan siapapun. Tapi ini berbeda. Telepon ini dari mertuanya.

Sreet

Bulan menggeser layar di ponselnya. Dia menerima telepon mertuanya.

“Halo, Nak. Ibu ganggu, ya? Kamu masih di kantor?”

Terdengar suara lembut dari seberang sana. Ibu mertuanya memang sangat baik. Bahkan terkadang memanjakan dirinya. Hal itu yang menyebabkan Bulan merasa tak enak hati karena belum bisa menghadirkan cucu di tengah-tengah mereka.

“Oh, enggak, Bu. Kenapa, Bu? Ini Bulan lagi istirahat, kok.”

“Kapan syukuran rumah baru kalian? Ini sudah hampir satu minggu berjalan, loh. Ibu dan Mama Papamu sepakat untuk menjenguk kalian besok. Bagaimana kalau syukurannya diadakan besok? Kalian bisa, Nak? Soal makanan, serahkan pada Ibu dan Mama. Kalian hanya perlu mengambil cuti sehari saja.”

Bulan terpaku. Dia hampir lupa kalau belum mengadakan syukuran. Apalagi suasana hatinya saat ini sedang tak baik. Dia juga masih perang dingin dengan suaminya.

“Kamu bilangin ini ke Lingga, ya! Tadi Ibu telepon gak diangkat terus.”

Bingung. Bagaimana cara mengatakan semua ini ke Lingga? Dirinya saja selalu diabaikan. Bahkan suaminya menolak untuk bertatap muka dengan istrinya.

Sebenarnya Bulan bingung. Apa kesalahannya? Jika merunut ke belakang, harusnya Bulan yang marah dan ngambek pada sang suami. Karena Lingga jelas-jelas membela tetangganya itu dan bahkan ingin menafkahinya. Suaminya sudah gila dan tak masuk akal. Tapi kenapa justru Bulan yang tidak diacuhkan seperti ini? Ingin mencoba berbaikan, tapi Bulan seolah mengemis cinta. Lingga benar-benar masih bersifat kekanak-kanakan.

“Nak … Nak. Kamu lagi sibuk, ya? Ya, sudah. Ibu cuma mau ngasi tahu itu aja. Ibu tutup teleponnya, ya.”

“Oh, ya, Bu. Sampai ketemu besok, ya,” ucap Bulan sebelum telepon benar-benar tertutup.

Hari ini Bulan terpaksa lembur agar besok bisa mengambil izin. Dia tak ingin pekerjaannya menumpuk setelah libur. Beberapa berkas juga telah diserahkan ke atasannya. Dia mendapat lampu hijau. Diberi izin untuk tak masuk kantor selama dua hari.

“Lan, emm … gimana, ya.”

Kantor semakin sepi tapi Bulan masih berjibaku dengan berkas di meja kerjanya. Tiba-tiba ada salah satu teman lelakinya yang menghampiri dirinya. Berbisik dan celingak-celinguk seolah tak ingin ada yang menguping pembicaraan mereka.

“Apa? Kamu aneh banget. Memangnya ada apa, sih? Mau ngajak aku ngegosip? Udah lah, Sur! Aku lagi sibuk nih.”

Sebelum mendengar perkataan Surya lebih lanjut, Bulan sudah menolak ajakan temannya untuk berbincang. Kepalanya masih pusing. Diterpa berbagai masalah.

“Gini loh, Lan. Sebenarnya aku gak enak mau ngomong gini. Tapi aku cuma mau mastiin aja ke kamu.”

“Mastiin apa? Ya udah sih, ngomong aja!”

Pandangan Bulan masih terfokus dengan tumpukan berkas di hadapannya.

“Tadi aku ketemu Lingga.”

Mendengar nama suaminya disebut, Bulan pun menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh ke arah Surya dengan tatapan heran.

“Aku lihat dia sama cewek lain di rumah sakit. Sangat mesra.”

Bagai disayat pisau belati. Hatinya terasa sangat perih.

“Rumah sakit?”

Dia harus tegar. Tak boleh menangis. Dia harus mendengar lebih jelas tentang semua ini.

“Iya. Tadi aku sempat jenguk teman ke rumah sakit dekat sini. Gak disangka-sangka ternyata ketemu Lingga juga. Aku juga sempat menyapanya. Dia terlihat santai dan mengatakan kalau itu adalah sepupunya. Tapi aku tetep gak percaya. Makanya aku coba mastiin ke kamu. Maaf, ya, Lan. Bukan bermaksud buat kamu overthinking. Tapi kamu temen aku. Rasanya aku memang harus ngomong ini ….”

“Ada buktinya?”

Bulan memotong ucapan Surya dan meminta bukti nyata dari temannya.

“Ini. Tapi muka cewenya gak kelihatan. Hanya tampak samping saja. Itupun ditutupi oleh orang-orang yang lewat.”

Bulan memperhatikan foto itu secara seksama. Dia tak bisa menerka-nerka siapa perempuan itu. Fotonya memang tak menampakkan wajah. Tapi setelah diperbesar tampilannya, Bulan melihat ada tato kupu-kupu di bagian tengkuk wanita itu.

“Jangan langsung dihakimi, Lan! Kamu cari tahu dulu kebenarannya. Siapa tahu itu memang sepupunya yang kamu gak kenal,” ucap Surya mencoba menasehati. Dia dalam keadaan dilema. Di satu sisi tak ingin membuat temannya merasakan hidup dalam kecurigaan. Tapi di sisi lain, Surya juga tak ingin Bulan dikhianati lebih lama. Karena dia yakin kalau perempuan yang bersama Lingga siang tadi bukanlah sepupunya.

Tak masuk akal jika sepupu Lingga tak diketahui oleh Bulan. Mereka sudah menikah selama empat tahun. Semua keluarga Lingga telah Bulan kenali. Apalagi keluarganya yang tinggal di kota ini. Bisa dihitung dengan jari. Tentu Bulan tahu. Kalaupun itu sepupunya dari luar kota, seharusnya Bulan juga tahu sosok itu. Dan satu lagi. Rumah sakit. Kenapa mereka bertemu di rumah sakit?

“Makasi, Sur.”

Selepas kepergian Surya dan rekan kerja yang lain dari kantor itu, Bulan kini merenung seorang diri. Dia tak bisa lagi fokus dengan pekerjaannya dan memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan, dia kembali berpikir:

'Apa tadi siang Mas Lingga gak kerja? Kenapa dia bisa sama perempuan itu? Dia juga tak memakai baju security. Lalu? Siapa perempuan itu? Apakah dia sepenting itu bagi Mas Lingga? Ya ampun, Mas. Kenapa kamu selalu membuatku penasaran?'

Tiiing

Tiba-tiba terdengar notifikasi pesan di ponsel Bulan. Ada satu pesan masuk.

Awalnya wanita itu tak merespon. Dia enggan meladeni nomor tak dikenal. Paling ini spam. Atau hanya pesan iseng dari penipu online.

Tiiing

Tiiing

Tiiing

Bukannya berhenti, kini malah makin banyak pesan masuk dari nomor yang sama ke ponsel Bulan. Dia mulai penasaran. Siapa pengirim pesan-pesan ini? Dan apa isinya?

Bulan lantas mencari tempat berhenti untuk melihat pesan itu. Dia sangat penasaran akan pesan dari nomor tanpa nama. Itu artinya dia tak kenal dengan si penerima.

Ada tiga foto masuk. Setelah dibuka, terpampanglah foto Lingga dengan perempuan itu. Seperti foto yang diperlihatkan Surya padanya. Namun ini dari sudut yang berbeda. Wajah perempuan itu selalu ditutupi oleh objek lain. Hanya terlihat bagian sampingnya saja.

Selain foto itu, ada juga satu pesan masuk yang mengiringi foto itu … bertuliskan:

[Siap-siap jadi janda.]

--------------------

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Salah Tetangga   Akhir Cerita

    “Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar

  • Salah Tetangga   Usir!

    Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian

  • Salah Tetangga   Tamak

    “Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas

  • Salah Tetangga   Berdebar

    “Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak

  • Salah Tetangga   Apa yang Terjadi?

    “Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt

  • Salah Tetangga   Ayo Kita Pergi!

    “Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status