Aku melihat Arjun yang tertegun melihat Eko membawakan banyak barang dari Reza untukku. Tapi apa artinya bagiku? Dia sudah menyakitiku sedemikian dalamnya.
"Pak Eko, tolong berikan semua barang ini ke panti asuhan, atau kepada orang yang sedang membutuhkannya. Bilang pada bosmu kalau barang sudah saya terima ya?" perintahku kepada Eko dengan sopan.
"Nyonya yakin?" tanya Eko. "Tidak coba dibuka dulu apa isi bingkisannya?" lanjutnya.
"Tidak, Pak Eko," jawabku tegas.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya," jawab Eko. "Permisi Mas Arjun!" lanjutnya berpamitan.
"Iya Eko, terima kasih!" ucap Arjun lembut.
Eko pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku dan Arjun saling berpandangan lama sekali seolah sedang saling bertanya banyak hal. Kenapa untuk kali ini aku memikirkan perasaan Arjun, aku takut dia cemburu. Cinta dan perhatian seperti Arjun yang sedang aku butuhkan sekarang..
"Sarapan sudah siap, Zhee!" teriak Ar
Setelah mandi aku dan Arjun ke luar jalan-jalan. Sekalian kita mencari oleh-oleh di pengrajin sekitar danau. Banyak pedagang menjajakan dagangannya di seputaran danau. Aku memilih baju tidur bermotif batik bergambar danau tempat wisata. "Aku melihat lukisan di sana sebentar ya, kamu santai saja pilih-pilih baju," ujarnya kemudian berlari pergi. Aku hanya memandang dia dari belakang, dalam hati bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan? Aku melihat dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pelukis. Tak lama kemudian dia sudah kembali menghampiriku. "Sudah dapat belum bajunya?" tanya Arjun. "Sudah, nunggu dibungkus tuh. Kok kamu cepet sekali?" tanyaku balik. "Iya, cuma lihat-lihat!" jawabnya. "Ayo kita keliling danau pakai perahu boat!" ajaknya kemudian. "Ayo, siapa takut?" sahutku. Kami bergandengan tangan menuju perahu boat. Kembali kita berputar-putar mengelilingi danau menikmati pemandangan sekeliling danau. Dunia seperti m
"Kamu memang brengsek ya!" umpatku. "Aku? Kenapa?" tanya Arjun sambil tersenyum lebar. Setiap kali Arjun berbicara senyum dan tertawa renyah selalu menyertainya. Itu makanya dia terkesan lelaki penyabar dan ramah. "Dibilang brengsek masih bisa-bisanya tersenyum bangga," olokku kesal. "Istriku yang cantik, bisa-bisanya kamu ngatain suamimu brengsek. Suka ya punya suami brengsek?" bisiknya menggoda. "Coba bayangkan, kamu bicara sama Diana, kelihatannya memuji dia tapi aku yang dicolek, kelihatannya mengecup dia tapi aku yang kamu cium, dasar!" olokku. "Tapi tetap kamu yang untung kan, Zhee?" jawab Arjun. Sambil berbicara Arjun menyiapkan dan menata meja makan. Aku hanya melihat Arjun yang sibuk mondar-mandir. "Nyonya besar, sampai kapan kamu hanya berdiri di situ? Cepat duduklah, sebentar lagi Bos Reza akan menjemput kita!" ujarnya datar. Aku terperanjat seolah diingatkan kembali bahwa Reza akan segera datang menjemput. Rasanya belum ingin keindahan cinta ini cepat berakhir. Ak
Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa
Reza menurunkan aku di depan kedua orang tuanya. "Apa-apaan ini, pakek gendong-gendongan segala? Sedang pencitraan, karena di depan publik?" tanya Arum, mamanya Reza dengan ketus. "Mama, papa?" sapaku sambil menyodorkan tanganku. "Bagaimana kabarmu, Zhee?" tanya papanya Arjun sambil menyambut tanganku. "Alhamdulillah baik, Pa," jawabku. Mama menyambut tanganku, saat aku hendak mencium punggung tangannya dia justru menarik tangannya dengan cepat. "Aku kasih waktu tiga bulan, kalau kamu belum juga hamil, Reza akan menikah lagi dengan wanita pilihan mama, ingat itu!" ancam Arum. "Terserah kau minta cerai atau tetap bertahan mama tidak perduli!" lanjutnya. Aku melirik ke arah Arjun yang berdiri di belakang Reza. Arjun menunduk menahan perasaannya, dia tidak tega melihat aku menerima perlakuan dari mertuaku sesadis itu. "Ma, kita sedang berusaha, sabarlah sebentar lagi!" sahut Reza. "Tiga tahun sudah, apa belum cukup sabar? Coba ingat, wartawan saja yang ditanyai juga seputar keh
Cklek! Seseorang masuk ke dalam gudang itu. Dia sedang berbicara di telepon. "Ada orang masuk, Arjun," bisikku lirih. Aku dan Arjun mengintip, dia sedang duduk santai berbicara mesra dengan selingkuhannya. Karena gugup aku menyenggol sebotol kecap asin. Pyar! Botol itu jatuh dan pecah. "Zhee, hati-hati!" pesan Arjun lirih. "Aku tidak sengaja, Arjun," sahutku berbisik. "Apa ada orang di dalam?" teriak pegawai hotel. Dia sebenarnya juga merasa bersalah karena mencuri waktu bersantai di jam kerja. Perlahan dia pergi, sebelumnya dia mematikan ponselnya kemudian ke luar. "Dia sudah pergi, Zhee," kata Arjun. "Biarkan aku ke luar dulu, jangan bersamaan nanti orang curiga," usulku. "Iya, Zhee, hati-hati ya!" ujarnya sambil menarik tubuhku dalam dekapannya. "Kok dipeluk lagi kapan aku bisa pergi, Arjun," keluhku lirih, meskipun dalam hatiku aku bahagia. "Kenapa aku tidak bisa melepaskan kamu berada diantara mereka, Zhee!" bisik Arjun. "Arjun, aku sudah lama meninggalkan pesta, Re
Setelah mandi junub dan sholat Ishak aku mengeringkan rambutku. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah kamar tamu. Aku menatap dari jendela kamar, asrama Arjun masih gelap, berarti dia belum pulang. Setiap hari Senin sampai Jumat dia tidur di asrama, tapi Sabtu dan Minggu dia pulang ke rumahnya. Ada sepuluh kamar di samping rumah utama, semua disediakan untuk asisten pribadi yang kamar dan fasilitasnya jauh lebih bagus. Untuk lima bodyguard dan para sopir serta tukang kebun yang disediakan sebagai tempat tinggal. Empat orang wanita pembantu rumah tangga kamarnya berada di rumah utama. Aku melihat mobil Reza memasuki halaman, sopir pribadinya Kholis membukakan pintu mobil. Aku bergegas membanting tubuhku di atas kasur dan pura-pura tidur. "Zhee ... Zhee ...!" teriak Reza memanggil-manggil namaku. Aku tahu, dia sedang masuk kamarku, dan sebentar kemudian keluar sambil terus berteriak memanggil namaku. "Zhee ... Zhee ...!" Aku berpikir, apakah Reza menemukan ponselku dan dia akan ma
"Aku yang salah, Mas Reza! Aku yang memulai semuanya bukan Arjun, tolong jangan hukum dia!" pintaku menangis. "Sebegitunya kamu membela dia, Zhee? Kamu takut aku menghukum dia, kenapa? Oke ... oke, aku tidak akan menghukum dia, tapi sekarang juga kamu kembali ke kamar kita!" desak Reza. "Tapi kita bukan suami istri lagi, Mas Reza," bantahku. "Diam! Bawel, kita masih sah menurut negara. Kamu tahu kan aku tidak mungkin menyentuhmu!" bentak Reza. Kemudian Reza membopongku membawa kembali ke kamarnya. Aku berontak, tapi ini sangat melukai hati Reza. "Tidak perlu kita pisah kamar, kamu tahu aku tidak bisa menyentuhmu. Menurutlah, aku tidak mau ribet, Zhee! Sewaktu-waktu papa dan mamaku datang, aku tidak mau mereka sedih bila tahu keadaan kita yang sebenarnya," pinta Reza. Reza merebahkan aku di atas kasur, kemudian dia pergi mandi. Perlahan aku bangun dan mengintip dari jendela melihat apakah Arjun sudah pulang? Hatiku sedikit lega setelah melihat lampu di kamarnya sudah menyala. Ber