Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa
Reza menurunkan aku di depan kedua orang tuanya. "Apa-apaan ini, pakek gendong-gendongan segala? Sedang pencitraan, karena di depan publik?" tanya Arum, mamanya Reza dengan ketus. "Mama, papa?" sapaku sambil menyodorkan tanganku. "Bagaimana kabarmu, Zhee?" tanya papanya Arjun sambil menyambut tanganku. "Alhamdulillah baik, Pa," jawabku. Mama menyambut tanganku, saat aku hendak mencium punggung tangannya dia justru menarik tangannya dengan cepat. "Aku kasih waktu tiga bulan, kalau kamu belum juga hamil, Reza akan menikah lagi dengan wanita pilihan mama, ingat itu!" ancam Arum. "Terserah kau minta cerai atau tetap bertahan mama tidak perduli!" lanjutnya. Aku melirik ke arah Arjun yang berdiri di belakang Reza. Arjun menunduk menahan perasaannya, dia tidak tega melihat aku menerima perlakuan dari mertuaku sesadis itu. "Ma, kita sedang berusaha, sabarlah sebentar lagi!" sahut Reza. "Tiga tahun sudah, apa belum cukup sabar? Coba ingat, wartawan saja yang ditanyai juga seputar keh
Cklek! Seseorang masuk ke dalam gudang itu. Dia sedang berbicara di telepon. "Ada orang masuk, Arjun," bisikku lirih. Aku dan Arjun mengintip, dia sedang duduk santai berbicara mesra dengan selingkuhannya. Karena gugup aku menyenggol sebotol kecap asin. Pyar! Botol itu jatuh dan pecah. "Zhee, hati-hati!" pesan Arjun lirih. "Aku tidak sengaja, Arjun," sahutku berbisik. "Apa ada orang di dalam?" teriak pegawai hotel. Dia sebenarnya juga merasa bersalah karena mencuri waktu bersantai di jam kerja. Perlahan dia pergi, sebelumnya dia mematikan ponselnya kemudian ke luar. "Dia sudah pergi, Zhee," kata Arjun. "Biarkan aku ke luar dulu, jangan bersamaan nanti orang curiga," usulku. "Iya, Zhee, hati-hati ya!" ujarnya sambil menarik tubuhku dalam dekapannya. "Kok dipeluk lagi kapan aku bisa pergi, Arjun," keluhku lirih, meskipun dalam hatiku aku bahagia. "Kenapa aku tidak bisa melepaskan kamu berada diantara mereka, Zhee!" bisik Arjun. "Arjun, aku sudah lama meninggalkan pesta, Re
Setelah mandi junub dan sholat Ishak aku mengeringkan rambutku. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah kamar tamu. Aku menatap dari jendela kamar, asrama Arjun masih gelap, berarti dia belum pulang. Setiap hari Senin sampai Jumat dia tidur di asrama, tapi Sabtu dan Minggu dia pulang ke rumahnya. Ada sepuluh kamar di samping rumah utama, semua disediakan untuk asisten pribadi yang kamar dan fasilitasnya jauh lebih bagus. Untuk lima bodyguard dan para sopir serta tukang kebun yang disediakan sebagai tempat tinggal. Empat orang wanita pembantu rumah tangga kamarnya berada di rumah utama. Aku melihat mobil Reza memasuki halaman, sopir pribadinya Kholis membukakan pintu mobil. Aku bergegas membanting tubuhku di atas kasur dan pura-pura tidur. "Zhee ... Zhee ...!" teriak Reza memanggil-manggil namaku. Aku tahu, dia sedang masuk kamarku, dan sebentar kemudian keluar sambil terus berteriak memanggil namaku. "Zhee ... Zhee ...!" Aku berpikir, apakah Reza menemukan ponselku dan dia akan ma
"Aku yang salah, Mas Reza! Aku yang memulai semuanya bukan Arjun, tolong jangan hukum dia!" pintaku menangis. "Sebegitunya kamu membela dia, Zhee? Kamu takut aku menghukum dia, kenapa? Oke ... oke, aku tidak akan menghukum dia, tapi sekarang juga kamu kembali ke kamar kita!" desak Reza. "Tapi kita bukan suami istri lagi, Mas Reza," bantahku. "Diam! Bawel, kita masih sah menurut negara. Kamu tahu kan aku tidak mungkin menyentuhmu!" bentak Reza. Kemudian Reza membopongku membawa kembali ke kamarnya. Aku berontak, tapi ini sangat melukai hati Reza. "Tidak perlu kita pisah kamar, kamu tahu aku tidak bisa menyentuhmu. Menurutlah, aku tidak mau ribet, Zhee! Sewaktu-waktu papa dan mamaku datang, aku tidak mau mereka sedih bila tahu keadaan kita yang sebenarnya," pinta Reza. Reza merebahkan aku di atas kasur, kemudian dia pergi mandi. Perlahan aku bangun dan mengintip dari jendela melihat apakah Arjun sudah pulang? Hatiku sedikit lega setelah melihat lampu di kamarnya sudah menyala. Ber
Aku mengambil tempat duduk tepat di depan Reza. "Kamu, tampan sekali dengan jas warna itu, Arjun," pujinya penuh makna. Aku pura-pura cuek tidak mendengar bahkan tidak merespon kata-kata Reza. "Bukankah begitu, Zhee?" tanya Reza mengejutkan aku. Aku terbelalak, aku tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menjawab iya, karena ini jebakan Reza. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. "Erna, pesananku kemarin dapat tidak?" tanyaku spontan mengalihkan pembicaraan. "Ada, Nyonya!" jawab Erna dari dapur. "Ini, Nyonya," katanya sambil menghampiriku dan menyerahkan barang. "Apa itu, Zhee?" tanya Reza. "Kurma Deglednoor" jawabku. "Akhirnya kamu menemukannya, terima kasih, Erna!" ucapku. "Kemarin Mas Arjun yang membelikannya, Nyonya. Saya dan Sulis mencari yang ada hanya Ajwa," kata Erna, kemudian pergi. "O ...." ceplosku. "Emangnya kurma itu banyak jenisnya ya? Kenapa harus Deglednoor?" sahut Reza. Akhirnya aku bisa mengalihkan pembicaraan ini. "Kalau untuk jus aku s
Kenapa aku sakit hati? Cemburukah? Kalau aku benar cemburu, bagaimana dengan Reza yang saat itu pernah memergoki kami sedang berhubungan sama Arjun? Setega itukah aku? Aku mulai ragu dengan perasaanku. Apakah yang sedang kurasakan pada Arjuna saat ini, benarkah cinta, ataukah nafsu? Tok ... tok ... tok! Suara pintu kamarku diketuk dan aku bergegas membukanya. "Arjun?" pekikku. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu sudah berangkat ke kantor sama Mas Reza?" aku memberondong dengan pertanyaan. Arjun meringsek masuk dan menutup kamarku. Dia mendorong tubuhku sampai aku terpelanting di atas kasur. Kemudian dia menindihku, matanya menatapku nanar. Kami saling berpandangan, lama dan lama. Kini sorot matanya berangsur teduh. "Kenapa aku tidak rela melihat istriku melayani bosku? Hatiku sakit, Zhee!" pekiknya. "Jangan egois, Arjun! Bayangkan juga bagaimana perasaan Mas Reza. Kamu pernah bilang kepadaku, ini tidak mudah juga buat Mas