Selesai makan malam bersama tadi, Nadia masih saja terus mendesak dan menatap sinis sang kakak.
Bahkan ketika sudah masuk ke rumahnya, Nadia terus membuntuti Ares yang memang tengah berjalan ke kamar Nadia sembari menggendong Kalla untuk ditaruh di atas tempat tidur karena dalam perjalanan pulang keponakannya tertidur.
“Mas.”
“Kalau mau bicara di luar aja. Kasihan Kalla sama Ghaisan.”
Nadia mengangguk setuju. Bahkan Nadia pun melakukan hal yang sama—menaruh Ghaisan di atas tempat tidur—di samping Kalla. Nadia bahkan menepuk-nepuk sebentar agar anak laki-lakinya tidak bangun.
Setelah merasa sudah pulas, Nadia segera keluar kamar dan menemui kakaknya itu di teras samping rumah.
“Mas kenapa masih ketemuan sama Anin, sih? Mas tahu sendiri dia lagi banyak masalah sama pacarnya itu!” tembak Nadia menerocos panjang lebar. “Aku mohon jauhi Anin,” pinta Nadia, memelas.
“Kenapa M
Anin yang tengah melihat berita tentang dirinya di tv dan media sosial lambe murah merasa geram sendiri. Bisa-bisanya Rayyan membuat statement seperti itu.“Berengsek!” umpat Anin, emosi.“Mending kita ajak ketemuan aja itu cowok berengsek!” sambar Regas, ikut kesal jika artisnya dibuat skandal seperti ini. Untuk mendapatkan job memang baik, tapi reputasinya menjadi jelek di mata netizen. “Ada acara talk show ngundang nih. Mau ambil enggak?” imbuh Regas menanyakan ketersediaan Anin.“Enggak!”“Lumayan cuannya lho, Nin.”“Lo masih mikirin cuan, Bang? Kondisi gue lagi begini. Gue enggak mau orang lain tahu kondisi gue sekarang yang berbadan dua.”“Tapikan belum kelihatan. Bisa ditutupi pakai jaket. Itung-itung lo bisa balas dendam ke Rayyan atas berita yang dikonfirmasikan dia itu salah.”Anin hanya menggelengkan kepala-nya saja. Tidak menyangka jika man
Ares yang sudah masuk ke dalam apartemen merasa canggung. Ini pertama kali dirinya mendatangi apartemen seseorang. Terlebih ini lawan jenis. Ares biasanya lebih suka bertemu di luar apartemen atau lebih memilih ke rumah ibunya—Sekar.Maka dari itu Nadia merasa murka ketika tahu jika ia membawa Anin ke dalam apartemen yang dianggap suci oleh Sekar sekaligus adiknya itu. Karena bagi mereka berdua tidak ada perempuan yang dibawa Ares ke dalam sana, terkecuali Anin kemarin malam.“Silakan duduk. Mau minum apa?” tanya Anin, santai.“Apa saja.”“Kalau begitu air putih aja, mau?” ledek Anin, mencoba mencairkan suasana yang canggung. Anin tahu jika Ares tampak tidak nyaman berada di tempatnya ini. “Kopi aja kali, ya.”“Boleh.”Anin akhirnya pamit ke dapur. Perempuan itu langsung membuatkan secangkir kopi untuk Ares. Saat sudah selesai, Anin menaruh di atas meja—di depan Ares.
Setelah mendapatkan telepon dari Regas, Anin langsung menyalakan tv di apartemennya. Bahkan ia tadi tidak sempat mengucapkan salam sebelum menutup telepon bersama managernya.Anin benar-benar tidak menyangka jika kebersamaan dirinya bersama Ares sampai terciduk oleh media.“Sial! Tadi ada wartawan yang menguntit ke sini!” umpat Anin, murka.Parahnya posisi yang diambil benar-benar sangat dipahami oleh Anin. Orang itu mengambil foto dan video dirinya bersama Ares barusan di dekat pot besar milik tetangga. Herannya Anin kurang peka ada orang di sana.Buru-buru Anin langsung berjalan keluar unit apartemennya. Mencoba mengecek posisi orang yang sudah kurang ajar menyusup ke gedung apartemen ini.“Pak, tadi lihat siapa orang yang datang ke sini?” tanya Anin kepada petugas kebersihan yang tengah menyapu lorong.“Tidak tahu Mbak Anin. Saya baru tugas soalnya.”“Oke, makasih banyak, Pak.”
Nadia yang melihat berita infotaiment di televisi langsung merasa terkejut luar biasa. Mulutnya bahkan menganga saking kagetnya. Kakaknya—Antares sudah mulai terekspose di media yang membuat Nadia merasa sedih juga khawatir jika semua orang akan berlomba-lomba mencari tahu seluk beluk soal keluarganya ini.“Bagaimana kalau Ibu tahu. Tidak mungkin ditutupi terus. Teman-teman Ibu pasti ada yang tahu dan nanti memberikan informasi,” gumam Nadia, memikirkan perasaan Ibu-nya itu.Pikirannya yang kusut membuat Nadia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Buru-buru Nadia langsung berkemas—membereskan semua keperluan Kalla juga Ghaisan. Nadia akan menginap kembali di rumah Ibu-nya jika seperti ini.“Jam segini biasanya Ibu suka nonton tv lagi,” cicit Nadia, cemas.Selesai membereskan segala keperluan kedua anaknya, Nadia segera menggendong Ghaisan dan menuntun Kalla keluar dari dalam rumahnya.Sembari menunggu taksi online
Nadia tidak mungkin langsung melabrak Anin sendirian. Tentu saja ia akan mencari dukungan dan koalisi untuk menjatuhkan Anin.“Lo yakin, Wid?” tanya Nadia, memastikan.“Gue yakin, Nad. Anin pasti akan kewalahan dengan berita ini.”“Tapi ini jahat banget enggak, sih? Takutnya orang ngira kalau cowoknya itu Mas Ares lagi!”“Enggak bakalan! Kita edit muka ceweknya menjadi wajah itu jalang.”Nadia pun akhirnya menurut saja dengan ide gila Widi. Perempuan itu memberikan ide gila dengan membuat editan video syur dengan wajah yang dibuat semirip Anin.Setelah menelepon seseorang yang bisa dipercaya, kedua perempuan itu langsung pergi ke salah satu kafe—tempat yang akan dijadikan pertemuan untuk melakukan sebuah projek jebakan untuk Anin.“Apa ini enggak terlalu jahat, Wid?” tanya Nadia, masih takut-takut.“Udahlah. Lagian kalau video ini viral pasti Anin akan malu dan lebih dihujat lagi seluruh Indonesia.”Tak lama datang dua orang pria yang akan menjalankan aksi perintah Widi juga Nadia. Me
Ares keluar dari ruangan meeting dengan ekspresi wajah yang sangat sulit dijabarkan. Datar. Tak berekspresi. Pria itu berjalan begitu fokus menuju ke dalam ruangan kerjanya. Sampai akhirnya ketika melewati meja kerja milik Bayu, Ares terhenti sejenak karena ucapan Bayu yang membuatnya berhenti.“Pak, tadi Ibu Sekar telepon,” kata Bayu, memberitahukan.“Oh, oke!”“Suruh telepon balik, Pak.”“Hm.”Ares kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke dalam ruangan kerja. Pria itu tampak memijat kedua pelipis yang terasa pening. Terlebih meeting barusan begitu menguras perasaan hatinya karena selalu saja sang klien tampak sengaja ingin memancing emosinya saja. Tidak benar-benar ingin menjalin kerjasama dengan baik.Sampai akhirnya Ares memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak kerjasama-nya karena pihak klien tampak tidak serius. Ares tidak mau membuang dana sekaligus waktunya dengan begitu si
Ares yang sudah mulai membelah jalanan kota Jakarta langsung merasa resah sendiri. Pria itu takut kalau kondisi Anin saat ini terguncang. Terlebih Ares pernah memergoki Anin ingin bunuh diri waktu itu.“Oh … shit!” umpat Ares ketika mobilnya terjebak macet. Pria itu memukul setirnya karena merasa kesal. “Sial!”Tin!Ketika menekan klakson mobil pun terasa seperti sia-sia saja. Karena mobil yang berada di depannya tidak bisa jalan sama sekali.Ares pun menatap kaca spion untuk melihat ke arah belakang yang sudah begitu penuh—hingga ia tidak bisa memutar balik mobilnya. Hal inilah yang membuat Ares semakin merasa gregetan sendiri.Pria itu langsung menghubungi media sosial milik Anin, akan tetapi media sosial itu sedang tidak online.“Shit!” umpat Ares merasa kesal sendiri dengan keadaan seperti ini. “Anin, apa kamu baik-baik saja?” gumam Ares, mengkhawatirkan Anin,Setelah mobil mulai bisa berjalan pelan-pelan, Ares merasa lega. Pria itu akan menuju ke apartemen milik Anin.Untung saja
Tak berapa lama, pintu apartemen itu terbuka dan Ares terkejut ketika Anin menariknya masuk dengan cepat.“Kamu ngapain ke sini? Kamu memangnya enggak lihat kalau banyak wartawan di bawah sana?!” cerocos Anin, mengomel.Ares hanya diam saja ketika Anin terus menatapnya dengan khawatir. Bahkan Ares tersenyum kecil dan tipis ketika Anin tampak kesal kepadanya karena terlalu nekat menemui perempuan itu.“Gimana ceritanya kamu bisa lolos ke sini? Sedangkan wajah kamu lagi dicari-cari banget sama mereka buat nongol di tv dan akun gosip di media sosial!”“Tentu saja aku mengubah penampilanku menjadi seperti ini. Memangnya kamu tidak melihat kalau penampilanku begitu santai?”Anin baru sadar kalau Ares menemui dirinya dengan pakaian santai. Kemeja kotak-kotak berbahan flannel dan celana bahan. Yang lebih membuat Anin kaget ingin tertawa karena sandal yang digunakan Ares seperti sandal perempuan.“Kamu pakai sandal siapa? Bukannya itu sandal perem—““Ini punya Nadia! Adik aku suka sekali meni