Merasa ikut hanyut dalam situasi ini membuat Anin pun membalas pelukan yang diberikan oleh Ares. Anin bahkan merasakan kenyamanan ketika berada di dekapan pria yang baru dikenalnya belum lama ini.Ketika merasa sudah tenang, Anin akhirnya melepaskan pelukannya itu. Ares pun menatap Anin dengan tatapan lembut.“Jangan pernah berpikiran seperti itu lagi. Aku ikhlas kalau memang ini sudah jalan hidupku. Kita tinggal jalani saja semua scenario yang Tuhan berikan.”Anin mendongak—manatap Ares dengan tatapan tak kalah lembut dan dalam. Anin merasa beruntung sekali dipertemukan dan dikenalkan pria seperti Ares.“Makasih,” sahutnya dengan suara serak.Ares pun hanya tersenyum saja. Pria itu langsung menekan tombol untuk kembali melanjutkan ke lantai tujuan.Anin baru menyadari jika Ares tadi menghentikan lift-nya. Merasa dalam kondisi normal, Anin merasa canggung juga malu. Mereka berdua pun sama-sama terdiam—memandang kotak besi itu yang memantulkan wajah keduanya yang tampak sama-sama mal
Saking lamanya diam-diaman, akhirnya Anin mulai merasa ngantuk dan tertidur di sofa. Ares sendiri sibuk mengeceki email pekerjaannya sejak tadi.Sampai akhirnya Ares menyadari ketika suara dengkuran kecil milik Anin terdengar ke telinganya. Ares tersenyum kecil ketika melihat mulut Anin yang sedikit melongo hingga tampak terlihat begitu menggemaskan.“Maaf, Pa, Ma. Ampun, hiks!” rancau Anin, sembari kedua matanya terpejam. Yang membuat Ares semakin kaget, Anin menangis dalam tidurnya. “Ampun, Pa, Ma,” imbuhnya sembari menangis tergugu.Melihat Anin yang terus menangis dalam tidur membuat Ares merasa benar-benar tidak tega. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit luar biasa.Air mata yang berjatuhan membasahi pipi membuat Ares langsung mengusapinya dengan lembut. Dibelainya pipinya itu perlahan-lahan.Isak tangis Anin benar-benar membuat hati Ares sangat nyeri. “Kamu kenapa, Nin? Apa setiap tidur selalu menangis seperti ini?” gumam Ares, terus memandangi wajah ayu perempuan itu.Setelah
Mendengar penawaran konyol dari Ares justru membuat Anin kini langsung tertawa begitu terbahak-bahak. Bukan hanya itu saja. Tetapi air matanya ikut keluar dengan begitu deras.Ares yang melihat Anin seperti ini justru merasa sedih dan kasihan. “Kamu bilang apa? Mau jadi Bapak untuk anak ini?” Anin menuding perutnya sendiri dengan telunjuk. “Apa kamu sudah gila?! Kamu itu tampan. Sukses. Mau dapatin model perempuan kayak gimana juga bakalan dapat. Sedangkan aku hanya perempuan kotor yang hamil di luar nikah! Perempuan murahan!” imbuh Anin, mulai merancau dengan tatapan mata kosong.Ares yang mendengar ucapan caci maki Anin kepada tubuhnya sendiri membuat hatinya tergores.Tanpa banyak kata, Ares langsung memeluk Anin ke dalam pelukannya. Anin yang kaget langsung saja berontak minta dilepaskan.“Lepas.”“Enggak.”“Ares!”“Enggak, Anindya!”“Aku itu perempuan kotor!”“Kamu perempuan berharga! Kamu itu spesial buat aku!” teriak Ares, saking emosinya. “Aku nyaman sama kamu, Anin.”Anin yan
Ares merasa bingung sendiri ingin mengatakan keinginannya itu. Ares takut akan membuat Anin merasa keberatan.“Ares,” panggil Anin, lembut.“Enggak jadi,” jawabnya sembari tersenyum. Tangannya mengusapi rambut milik Anin dengan pelan dan penuh kelembutan.“Ih tuhkan!” Anin merajuk sebal jika seperti ini. Pasalnya ia sudah dibuat penasaran tetapi dengan enak dan gampangnya Ares mengatakan ‘tidak jadi’ benar-benar menjengkelkan.Ares yang melihat Anin cemberut seperti itu justru tampak lucu dan menggemaskan. Ingin rasanya terus meledek tetapi naluri dan hati kecilnya merasa tidak tega.“Aku ingin kamu manggil aku dengan panggilan Mas.” Ares mendadak jujur mengungkapkan keinginannya ini. Meski malu, tapi biarlah dari pada melihat Anin mengambek seperti itu. Lagipula ia tidak pandai merayu atau membujuk wanita mengambek.“Oh … gitu? Jadi pengin dipanggil Mas?” goda Anin, tampak meledek Ares yang langsung bersikap seolah-olah tengah sibuk menatap gawainya. “Ciye … ekhem!”Ares yang diledek
Ketika sampai di sebuah Villa, Anin merasa canggung dan tidak enak sendiri. Ares pun memahami perasaan wanita-nya itu yang pasti masih merasa tidak nyaman.“Di sini aman. Ayo turun,” ajak Ares, lembut. Tetap terus menyakinkan Anin agar mau turun dari dalam mobil. “Kamu pasti butuh istirahat dan makan, kan?”Anin hanya menoleh saja—menatap Ares dengan ragu. Tapi melihat pria itu tampak menyakinkan membuat Anin pun akhirnya luluh.Ares memilih turun dari mobil terlebih dahulu. Pria itu membukakan pintu mobil penumpang yang terdapat Anin.“Makasih,” ucap Anin, tersenyum malu-malu.Ares sendiri membalas senyuman milik Anin dengan senyuman menggoda. Sampai akhirnya Ares menuju ke bagasi mobil untuk mengambil tas dan barang bawaan Anin di sana.Setelah semua sudah diturunkan dari mobil, tak lama keluar seorang pria dan wanita paruh baya yang menyambut Ares begitu ramah. Bahkan seperti menyambut kedatangan anak sendiri yang sudah lama tidak pulang ke rumah.“Ares,” sambut Nengsih—wanita paru
Hari ini Nadia dan Sekar mendatangi kediaman rumah Anin. Niatnya ingin melabrak dan menyemprot berbagai kata sumpah serapah kepada perempuan gatal itu karena sudah mengganggu putranya.Namun, baru sampai di depan gerbang halaman rumah justru Sekar dan Nadia dibuat tercengang dengan aksi berantem antara pasangan suami istri yang wajahnya sering muncul di berita politik.“Bu, itu orangtuanya Anin,” gumam Nadia, menunjuk ke arah Rosa dan Budi. “Pantas saja anaknya liar! Orangtuanya aja begitu!” lanjutnya menilai.“Hussttt, diam aja kamu, Nad.” Sekar melerai dan terus melihat aksi perdebatan soal kampanye. Sampai akhirnya Sekar mulai berani turun ketika salah satu dari mereka telah masuk mobil dan pergi keluar dari halaman rumah. “Ayo kita turun, Nad,” ajak Sekar, menoel bahu Nadia.Nadia sendiri menurut untuk turun. Perempuan itu terus setia mendampingi ibu-nya. Soal anak sudah Nadia titipkan sama ART di rumah. Sedangkan Kalla sudah aman di sekolah.“Permisi,” seru Sekar, yang membuat Ro
Di lain tempat Anin dan Ares baru saja selesai makan pagi. Ares sengaja hari ini tidak berangkat ke kantor karena ingin menemani Anin di hari pertama tinggal di Villa. Ares takut kalau ditinggal nantinya Anin merasa resah.“Kamu enggak kerja, Mas?” tanya Anin, semakin menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik Ares. Menikmati perlakuan romantis dari pria matang ini yang membuat Anin terasa nyaman.“Enggak. Mau nemenin kamu.”Jujur saja Anin langsung merasa ge’er dengan ucapan yang dilontarkan oleh Ares. Akan tetapi sebisa mungkin Anin menutupi perasaan bahagianya.Sebelum membalas ucapan dari Ares, Anin mencoba berdeham terlebih dahulu agar saluran tenggorokannya ini terasa lega.“Enggak perlu ditemenin juga gapapa kok. Lagian mana ada yang mau nyulik aku.”“Aku yang bakalan nyulik kamu nanti ke depan penghulu.”Anin benar-benar tersipu malu saat ini. Bibirnya yang sejak tadi mencoba mengulum senyum kini akhirnya tersungging dengan lebar.Ares yang melihat ekspresi Anin merasa begi
Nadia yang sudah mengetahui keberadaan Anin langsung segera menghubungi Rosa—mama dari perempuan laknat itu.Tentu saja Nadia melaporkan ini tanpa sepengetahuan dari Ares. Nadia memberikan kode kepada Sekar untuk berkongkalingkong untuk mengalihkan perhatian Ares—Kakaknya.Ketika merasa sudah aman, Nadia pun mengeluarkan ponsel dan segera memencet nomor Rosa. Setelah tersambung, panggilan telepon Nadia langsung diangkat.“Halo.”“Halo, Bu Rosa.”“Ini—““Ini Nadia adiknya Ares. Maaf menghubungi Ibu Rosa mendadak seperti ini. Saya ingin menyampaikan kabar kepada Ibu soal keberadaan Anin.”“Keberadaan Anin? Di mana dia?”“Dia sekarang berada di Villa milik Kakak saya.”“Villa? Kamu yakin?”“Tentu saja sangat yakin! Pasalnya sekarang Kakak saya sudah berada di rumah karena sudah kami jebak! Sebaiknya Ibu Rosa segera menjemput Anin dan membawanya pergi!” tekan Nadia, penuh kebencian.“Kalau begitu kirimkan alamatnya biar nanti saya menyuruh anak buah untuk menjemput Anin.”“Baik! Saya akan