Share

Bab 3 Gugurkan

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-08-25 22:16:12

"Aku HAMIL!" Kataku tanpa berpikir panjang karena aku sudah dikuasai amarah.

Mendadak hening. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Anton di sana. Terkejut? Shock? Kenapa dia diam?

"Bang..." Aku mengecek ponselku. Masih menyala. Aku pikir dia sudah mematikannya seperti biasa kalau dia marah.

"Apa kamu bilang?" Akhirnya aku mendengar suaranya lagi. "Ha... Hamil?"

"Iya, Bang. Aku hamil," jawabku.

"Kok bisa?"

"Maksudnya apa kok bisa?" Aku mulai marah lagi tapi aku tetap menjaga suaraku tetap stabil. Bisa saja Wina mendengar dari kamar sebelah.

"Maksudku... Eh..." Dia tergagap. "Kamu tahu dari mana?"

"Ya, aku pake test pack lah," seruku tertahan. "Jadi bagaimana ini?"

"Bagaimana apa?" Tanya Anton balik.

"Hamilku ini, Bang," aku menahan marah.

"Gugurkan aja," katanya enteng.

"APA?" Kali ini suaraku menggelegar.

"Kenapa, Tin?" Wina menegur dari kamarnya. Aku kaget. Ternyata dia masih bangun padahal sudah hampir jam 12 malam.

"Eh, nggak, Win, biasa lagi nelpon sama Anton," jawabku.

"Apa maksud Abang gugurkan?" Bisikku setelah tak terdengar lagi suara Wina.

"Ya, janinmu gugurkan aja," ulangnya masih dengan nada enteng.

"Astaga, Bang," aku ternganga. Janinku katanya?

"Besok aja kita bicarakan lagi. Aku capek. Dengar kabar kayak gini malah bikin kepalaku rasanya mau pecah."

Aku menggeram marah. Gugurkan katanya? Enteng benar dia ngomong begitu. Dan apa katanya tadi? Capek? Kepalanya mau pecah? Memangnya ini perbuatanku seorang diri. Aku menangis tersedu-sedu di atas bantal. Rasanya berlipat-lipat kali menyiksa karena aku nggak bisa melampiaskannya dengan menangis keras-keras. Aku tidak tahu sampai jam berapa aku terjaga dan menangis. Tapi saat aku bangun, mataku sudah bengkak dan memerah.

"Kamu berantem sama Anton?" Tanya Wina saat melihat mataku bengkak.

Aku diam saja. Wina pasti juga sudah tahu dari kondisiku.

"Kamu pasti menangis tadi malam, ya. Tuh, lihat mata kamu bengkak kayak mata kodok," kata Wina. "Kompres sana pake es."

"Iya, ntar lagi aja," jawabku. Suaraku sedikit sengau.

Dan sekuat tenaga kutahan rasa mual yang muncul saat mencium bau masakan Wina. Aku segera ke kamar mandi dan menghidupkan air keras-keras. Aku muntah.

"Kamu udah langsung mandi aja, Tin? Nggak bikin sarapan? Tanya Wina.

"Nggak dengar!" Aku pura-pura berteriak. Padahal suara Wina terdengar jelas kok. Dia malah yang tidak bisa mendengar suaraku. Aku menekan suara muntah-muntahku.

"Masuk angin lagi?" Tanya Wina saat aku keluar dari kamar mandi. "Makanya jangan begadang sampai larut malam. Kayaknya kamu lebih banyak berantemnya deh sama Anton daripada rukunnya."

Aku tidak menjawabnya. Aku melewatinya dan masuk ke kamar. Wina benar. Baru tujuh bulan kami pacaran, kami memang lebih banyak ribut. Aku tidak mengerti sifat Anton. Moodnya bisa berubah sangat cepat. Sebentar masih baik-baik saja, masih bercanda, eh tiba-tiba dia bisa sangat marah. Dia bahkan pernah hampir memukul aku karena aku terlambat membeli rokoknya.

Aku bertahan selama ini karena aku tidak mau dia meninggalkan aku setelah dia mengambil semua hal berharga yang kumiliki. Aku tidak mau dia merasakan enaknya saja. Dia harus bertanggung jawab.

***

"Kamu serius lagi hamil?" Tanya Anton saat sore harinya kami akhirnya bertemu. Dia membawaku ke sebuah taman di pinggir danau. Kami duduk di bangku panjang yang tersedia di taman itu.

"Abang pikir aku bohong?" Aku balik bertanya.

"Kamu bilang kamu tahu dari test pack. Emangnya itu valid? Tanya Anton ragu.

"Nih!" Aku meletakkan ketujuh test pack bergaris dua itu ke hadapannya. Aku sengaja membawanya. "Kalau cuma 1 atau 2 kali tes, mungkin bisa terjadi kekeliruan. Tapi ini 7, Bang. Aku mengetesnya tiap hari dalam seminggu ini. Dan kemarin aku sengaja membeli yang paling mahal karena katanya hasilnya 99 % akurat. Dan tetap aja hasilnya garis dua."

Anton segera meraup semua test pack itu tanpa melihatnya dan menyodorkannya ke tanganku. Matanya sibuk melihat sekeliling seakan takut ada yang melihat. "Simpan lagi!"

"Bisa aja kita masih punya kemungkinan 1%," katanya masih berusaha menyangkal.

"Kalau begitu, kita ke dokter aja," aku menantangnya.

"Gila kamu!" Kata Anton tanpa pikir panjang.

"Kenapa? Kita kan butuh kepastian," kataku.

"Kota ini sangat kecil, Tin. Gosip apa pun akan cepat menyebar," katanya.

Benar. Tempat yang kami tinggali ini memang ibukota kabupaten tapi masih merupakan kota kecil yang baru berkembang. Hampir semua penduduk di sini saling mengenal. Bahkan antar kecamatan pun sebagian besar masih punya ikatan kekeluargaan.

"Jadi gimana? Abang tidak yakin tapi aku sendiri sudah sangat yakin kalau aku hamil. Tiap pagi dan malam aku selalu muntah-muntah karena mual," kataku sambil menyimpan test pack itu ke tasku.

"Kamu gugurkan ajalah!" Kata yang sama yang diucakannya tadi malam kembali dilontarkannya tanpa merasa bersalah. Dan aku tetap terkejut mendengarnya.

"Gampang sekali Abang ngomong gugurkan," seruku marah.

"Jadi mau kamu apa?" Dia juga marah.

"Abang harus tanggung jawab!"

"Apa? Tanggung jawab?" Anton berdiri dan bertolak pinggang. "Dengan cara apa? Menikahi kamu?"

"Iya!" Jawabku tegas.

"Hahahahaha..." Anton tertawa terbahak-bahak. "Kamu jangan bercanda. Aku belum kepikiran ke arah sana. Aku masih muda."

"Emangnya aku udah tua?" Seruku tertahan. "5 bulan lagi aku baru 20 tahun, Bang!"

"Coba kamu pikir, aku masih punya kakak yang belum menikah. Nggak mungkin aku melangkahi dia kan?" Kata Anton.

"Tapi nggak mungkin juga janin ini kamu biarkan tumbuh tanpa ikatan sah dari orang tuanya. Kita tidak hidup di negara Barat, Bang!"

"Makanya aku bilang gugurkan!" Katanya dengan suara berbisik di telingaku tapi dengan nada penuh ancaman.

"Aku nggak mau," kataku spontan.

Beberapa pengunjung taman itu menoleh kepada kami. Mungkin mereka menyadari pertengkaran kami karena mereka berbisik satu sama lain. Anton mendelik ke arah mereka membuat mereka segera mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Tina, aku sangat menghormati kakakku. Aku segan sama dia. Kamu tahu itu. Aku nggak mungkin melangkahi dia," lanjut Anton. "Kamu juga. Kakak dan abang kamu belum menikah, masa kamu mau melangkahi mereka sekali dua?"

"Aku akan kasih mereka pengertian," kataku.

" Dengan ngasih tahu kalau kamu hamil?" Apa kamu nggak malu"?

"Aku akan lebih malu kalau perutku ini makin besar."

"Makanya sebelum membesar lakukan apa yang aku bilang. Mumpung masih muda, masih gampang membuangnya."

Hatiku sakit mendengarnya. Gampang sekali dan tanpa beban dia mengatakan hal seperti itu. Membuangnya? Darah dagingnya sendiri?

"Kamu jangan egois, Tin!" Suara Anton menyentakkanku dari lamunan.

Egois? Aku menatapnya. "Aku egois? Kenapa Abang bilang aku egois?"

"Kamu nggak memikirkan perasaan kakakku. Padahal aku udah bilang alasanku kenapa belum mau menikah."

"Terus apakah Abang memikirkan perasaanku? Aku rasa kakakmu juga bisa menerima kalau kamu ngomong baik-baik!".

"Aku nggak mau membebani pikiran kakakku," katanya. "Dan kamu jangan lupa bahwa ayahku seorang kepala desa dan ibuku seorang kepala sekolah. Mereka orang terhormat! Aku nggak mau merusak rasa hormat orang-orang terhadap mereka."

Jantungku berdebar keras bagai dipalu godam mendengat penuturan Anton. Apa hubungannya status orang tuanya dengan masalah kami ini?

"Apa hubungannya dengan kita?"

"Tentu aja ada. Kalau mereka membuat hajatan, mereka harus punya persiapan yang panjang. Sama kayak abangku yang sulung saat menikah dulu."

Jadi itu persoalannya? Hanya demi gengsi dan kehormatan? Dan bisa-bisanya dia bicara tentang hajatan sekarang?

"Aku juga nggak bilang harus menikah besok," kataku. "Masih perlu persiapan juga. Dan aku juga nggak bilang harus pesta besar. Cukup acara pemberkatan aja. Kalau masalah pesta adat bisa kita pikirkan nanti."

"Belum ada sejarahnya dalam keluarga kami ada pernikahan tanpa pesta adat," kata Anton. " Aku juga mau pesta meriah kayak abangku dulu."

"Tapi ini kondisinya berbeda, Bang," aku mulai putus asa. Aku menangis.

"Udah, jangan menangis. Malu dilihat orang-orang," katanya. "Kita pulang aja. Kamu pikirkan cara yang aku bilang tadi. Yang pasti aku nggak mau menyusahkan orang tuaku. Kalau kamu nggak mau, kita putus aja!"

Aku ternganga mendengar perkataannya. Putus? Enak saja dia melenggang tanpa tanggung jawab. Sedangkan saat kesucianku direnggutnya pertama kali, sejak itu aku tidak mau melepaskannya sesakit apa pun perlakuannya. Dia harus bertanggung jawab. Apalagi sekarang ada anaknya dalam rahimku.

"Aku akan pikirkan," kataku akhirnya.

Aku pikir dia harus dihadapi dengan kepala dingin. Tapi aku bertekad untuk tidak melakukan sarannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status