Share

Bab 4 Marah

Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan.

"Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu.

"Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia.

"Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan."

"Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung menyahut. Aku perlu mendinginkan otakku yang panas ini.

"Ok, Tina satu. Yang lain?" Pak John menunggu kesediaan teman-temanku.

Tak ada yang menjawab. Kami saling memandang.

"Ok, biar saya yang tentukan," kata Pak John. "Diana, Yuli, kalian ikut dengan Tina ke sana. Dari bidang lain ada juga yang ikut. Masing-masing mengurus ruangannya sendiri."

Tak ada lagi yang bisa membantah. Walaupun Pak John sangat baik tapi dia juga bisa bersifat tegas tanpa membedakan siapa pun, PNS atau THL.

"Bu Amalia dan Ditha, kalian tinggal di sini. Saya yakin kalian bisa menghandle segala urusan di sini sementara kami di sana. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya."

"Baik, Pak!" jawab Bu Amalia dan Ditha serentak.

Tapi sesampainya di sana aku tidak melakukan apa-apa. Berkali-kali teman-temanku memergoki aku melamun dan menegurku.

"Kamu kenapa?" Wina yang juga ikut dengan kami bertanya. "Kok lesu amat wajah kamu?"

"Nggak apa-apa kok," aku berusaha tersenyum.

"Nggak apa-apa tapi dari tadi kamu melamun terus. Kamu malah nggak ada mengerjakan apa-apa dari tadi," tegur Wina. "Tuh, teman-teman kamu udah ngomongin kamu dari tadi."

Aku tahu. Tapi aku sangat tidak bertenaga membantu mereka.

"Kamu ada masalah?" tanya Wina.

"Nggak," aku menggeleng lambat-lambat.

"Ok, yuk kita bantu mereka," ajak Wina. "Gorden ruangan kami udah terpasang lho. Ruangan kalian belum ada apa-apa."

Aku bangkit perlahan. Aku mencari ponselku di saku saat merasakan getarannya. Anton menelepon.

"Kamu di mana?"

"Di gedung baru," jawabku.

"Ngapain kamu ke sana?"

"Disuruh sama atasanku."

"Masalah kemarin, udah kamu kerjakan belum?"

Bukannya bertanya apa kabarku, dia malah mengingatkan tentang rencana gilanya.

"Nggak! Aku nggak akan melakukan itu!" seruku marah.

Wina yang berjalan di depanku menoleh ke belakang dan mengernyitkan keningnya. Darahku berdesir cepat. Apakah dia mendengarnya? batinku. Aku segera menyingkir ke belakang gedung untuk menghindari teman-temanku.

"Kamu mau melawanku?" suara Anton menggelegar di seberang sana.

"Iya, emangnya Abang mau apa?" aku juga berseru.

"Kamu udah siap kalau..."

"Kalau apa?" aku memotong ucapannya. "Abang mau ngasih tahu ke semua orang tentang kita? Silahkan. Bukankah Abang juga sebagai pelakunya? Bagaimana cara Abang mengumumkan perbuatan bejat kita?"

"Aku nggak hanya membeberkan itu tapi aku juga akan meninggalkan kamu!" ancamnya.

"Silakan. Abang pikir aku nggak tahu caranya supaya Abang bertanggung jawab?" aku tidak mengindahkan ancamannya.

"Kamu mau apa?" kudengar suaranya melemah.

"Aku akan ke rumah Abang!"

"Apa? Apa kamu bilang?" nada suaranya terkejut.

"Ya, aku akan ke rumah kalian dan akan kuberi tahu semua tentang kita kepada kedua orang tuamu. Aku yakin mereka akan shock."

"Jangan pernah kamu berani melakukan itu!" geramnya marah.

"Aku bisa melakukan apa pun!" kataku tegas.

"Kamu mengancam aku?"

"Aku bertindak sesuai dengan perbuatan Abang," balasku sengit.

"Ok...ok...stop! Kamu jangan pernah datang ke rumah kami. Aku janji aku tidak akan mendesak kamu." Anton menyerah.

"Abang jangan hanya berjanji nggak akan mendesakku. Pikirkan bagaimana caranya mengatasi ini." kataku.

"Ok, baik," suaranya melunak. "Kamu jangan bertindak nekad!"

"Seperti yang aku bilang, Abang jual, aku beli."

Pembicaraan kami berakhir. Aku menarik nafas berat. Tiba-tiba Diana muncul dari balik semak-semak. Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Apakah dia mendengar pembicaraan kami? Sampai sejauh mana dia mendengarnya? Aku menduga-duga dalam hati.

"Ngapain, kak?" tanyaku akhirnya.

"Panggilan alam. Lega rasanya," ia tersenyum. Dari gelagatnya ia tidak mendengar apa-apa, atau ia tidak memperhatikan, atau ia pura-pura tidak mendengar.

"Pantasan bau," aku mencoba bercanda.

"Hahahaha... kamu bisa aja," Diana terbahak. "Entah kapan air tersambung ke sini. Padahal kita udah mau di sini ngantornya. Ya, kali kita buang air terus di semak ini? Kalau buang air kecil, okelah. Nah, buang air besar?"

Aku tidak menanggapinya. Kumasukkan ponselku ke dalam saku bajuku.

"Masuk, yuk!" ajak Diana.

Aku mengikutinya. Dalam hati masih bertanya-tanya sejauh mana dia mendengar obrolanku di telepon tadi? Apa tadi dia pura-pura acuh tak acuh supaya aku tidak curiga? Tapi Diana yang kukenal selama ini adalah orang yang polos dan apa adanya. Dengan sikapnya tadi, aku yakin ia tidak mendengar dengan jelas apa yang kubicarakan dengan Anton.

Tapi semenjak kehamilan ini, aku jadi gampang curiga dan was was kalau orang lain mengetahuinya.

***

"Apa maksud kamu ngomong begitu tadi siang?" Anton mendatangiku malam harinya. Suara dan tatapan matanya tajam menusuk hatiku. Aku bergidik takut. Kami duduk di teras rumah kosku.

"Kalau Abang masih memaksaku untuk melakukan itu, jelas aku nggak mau," kataku.

"Tapi aku juga nggak mau menikahi kamu secepat itu," bantahnya.

"Pikirkan bagaimana caranya," seruku. "Aku nggak mau menunggu-nunggu lagi. Makin hari perutku akan semakin membesar."

"Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu egois," seru Anton. "Atau jangan-jangan kamu sengaja menjebakku, ya?"

"Menjebak bagaimana?" kataku kaget. "Abang yang selalu memaksa aku melakukan itu dan Abang pernah tidak memakai pengaman. Abang pikir ini kemauanku?"

"Bisa aja makanya kamu nggak mau menggugurkannya," tudingnya kejam.

"Bang!" seruku. Aku menangis. "Selama ini kita cukup beruntung bahwa aku tidak hamil setiap kali kita melakukan dosa itu. Tapi aku yakin Tuhan..." bulu kudukku meremang saat menyebut nama yang mulia itu. "Makanya Dia mengizinkan ini terjadi supaya kita berhenti berbuat dosa. Dan sekarang Abang menyuruh aku menggugurkannya?. Kita akan semakin berdosa, Bang."

"Alahhhh... kamu jangan ngomongin dosa sekarang," Anton mengibaskan tangannya di hadapanku. "Sok alim kamu. Munafik!"

Hatiku sakit sekali mendengar omongannya. Dia yang membuat aku jadi begini. Aku dikenal orang sebagai orang yang taat beragama. Aku aktif di gereja, aktif membantu mengajar anak-anak sekolah minggu, juga aktif di kepemudaan gereja. Dan ayahku? Astaga! Ayahku adalah penatua gereja yang sangat disegani di kampungku. Oh, Tuhan, kenapa aku sampai melupakan itu? Air mataku mengalir deras mengingat semua itu.

"Kamu nggak usah menangis. Emangnya menangis menyelesaikan masalah?"

"Terus Abang bisa bikin solusi apa selain menghina aku?" aku mengusap air mataku dengan ujung lengan bajuku.

"Aku pusing..." dia meremas rambutnya dengan kasar.

Tiba-tiba ponselnya yang terletak di atas meja berbunyi. Kak Ana, nama yang tertera di layar kaca benda pipih itu. Anton menekan tombol speaker.

"Kamu di mana?" Kak Ana langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Di kosan Tina." jawab Anton.

"Ngapain aja kamu di sana, hah?" suara Kak Ana terdengar marah. "Kenapa kamu harus selalu ke sana? Dia yang nyuruh kamu datang? Belum jadi istri udah posesif sama kamu."

Aku terkejut mendengar omelan kakaknya. Separah itukah aku di matanya? Aku tak pernah menyuruh Anton datang. Bahkan akhir-akhir ini aku lebih senang kalau dia tidak datang sana sekali.

bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status