Share

Bab 4 Marah

Penulis: Hans Yunata
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-29 21:43:42

Kantor kami akan pindah ke gedung baru karena gedung yang kami pakai sekarang adalah sebuah ruko yang akan habis kontraknya. Lokasi gedung baru itu jauh dari rumah kosku sekarang. Nantinya semua kantor akan berpusat di sana. Gedung kami adalah yang pertama kali selesai dibangun dan gedung yang lainnya masih dalam tahap pembangunan. Jaraknya 28 kilometer dari ibukota kabupaten walaupun masih dalam kecamatan yang sama tapi di desa yang berbeda dan bisa dijangkau kendaraan kira-kira 20-30 menit perjalanan. Kami sudah mulai berbenah. Para pegawai laki-laki hampir tiap hari ke sana melakukan pembenahan sedangkan kami para perempuan mulai mengepak barang-barang di kantor yang akan kami tinggalkan.

"Ada yang bisa ikut ke sana hari ini?" tanya Pak John, Kepala Tata Usaha, bosku, sambil memandangi kami satu per satu.

"Perempuan ikut, Pak?" tanya Bu Amalia.

"Iya, untuk memasang gorden," kata Pak John. "Perempuan kan lebih mahir hal-hal begituan."

"Saya, Pak," tanpa pikir panjang aku langsung menyahut. Aku perlu mendinginkan otakku yang panas ini.

"Ok, Tina satu. Yang lain?" Pak John menunggu kesediaan teman-temanku.

Tak ada yang menjawab. Kami saling memandang.

"Ok, biar saya yang tentukan," kata Pak John. "Diana, Yuli, kalian ikut dengan Tina ke sana. Dari bidang lain ada juga yang ikut. Masing-masing mengurus ruangannya sendiri."

Tak ada lagi yang bisa membantah. Walaupun Pak John sangat baik tapi dia juga bisa bersifat tegas tanpa membedakan siapa pun, PNS atau THL.

"Bu Amalia dan Ditha, kalian tinggal di sini. Saya yakin kalian bisa menghandle segala urusan di sini sementara kami di sana. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya."

"Baik, Pak!" jawab Bu Amalia dan Ditha serentak.

Tapi sesampainya di sana aku tidak melakukan apa-apa. Berkali-kali teman-temanku memergoki aku melamun dan menegurku.

"Kamu kenapa?" Wina yang juga ikut dengan kami bertanya. "Kok lesu amat wajah kamu?"

"Nggak apa-apa kok," aku berusaha tersenyum.

"Nggak apa-apa tapi dari tadi kamu melamun terus. Kamu malah nggak ada mengerjakan apa-apa dari tadi," tegur Wina. "Tuh, teman-teman kamu udah ngomongin kamu dari tadi."

Aku tahu. Tapi aku sangat tidak bertenaga membantu mereka.

"Kamu ada masalah?" tanya Wina.

"Nggak," aku menggeleng lambat-lambat.

"Ok, yuk kita bantu mereka," ajak Wina. "Gorden ruangan kami udah terpasang lho. Ruangan kalian belum ada apa-apa."

Aku bangkit perlahan. Aku mencari ponselku di saku saat merasakan getarannya. Anton menelepon.

"Kamu di mana?"

"Di gedung baru," jawabku.

"Ngapain kamu ke sana?"

"Disuruh sama atasanku."

"Masalah kemarin, udah kamu kerjakan belum?"

Bukannya bertanya apa kabarku, dia malah mengingatkan tentang rencana gilanya.

"Nggak! Aku nggak akan melakukan itu!" seruku marah.

Wina yang berjalan di depanku menoleh ke belakang dan mengernyitkan keningnya. Darahku berdesir cepat. Apakah dia mendengarnya? batinku. Aku segera menyingkir ke belakang gedung untuk menghindari teman-temanku.

"Kamu mau melawanku?" suara Anton menggelegar di seberang sana.

"Iya, emangnya Abang mau apa?" aku juga berseru.

"Kamu udah siap kalau..."

"Kalau apa?" aku memotong ucapannya. "Abang mau ngasih tahu ke semua orang tentang kita? Silahkan. Bukankah Abang juga sebagai pelakunya? Bagaimana cara Abang mengumumkan perbuatan bejat kita?"

"Aku nggak hanya membeberkan itu tapi aku juga akan meninggalkan kamu!" ancamnya.

"Silakan. Abang pikir aku nggak tahu caranya supaya Abang bertanggung jawab?" aku tidak mengindahkan ancamannya.

"Kamu mau apa?" kudengar suaranya melemah.

"Aku akan ke rumah Abang!"

"Apa? Apa kamu bilang?" nada suaranya terkejut.

"Ya, aku akan ke rumah kalian dan akan kuberi tahu semua tentang kita kepada kedua orang tuamu. Aku yakin mereka akan shock."

"Jangan pernah kamu berani melakukan itu!" geramnya marah.

"Aku bisa melakukan apa pun!" kataku tegas.

"Kamu mengancam aku?"

"Aku bertindak sesuai dengan perbuatan Abang," balasku sengit.

"Ok...ok...stop! Kamu jangan pernah datang ke rumah kami. Aku janji aku tidak akan mendesak kamu." Anton menyerah.

"Abang jangan hanya berjanji nggak akan mendesakku. Pikirkan bagaimana caranya mengatasi ini." kataku.

"Ok, baik," suaranya melunak. "Kamu jangan bertindak nekad!"

"Seperti yang aku bilang, Abang jual, aku beli."

Pembicaraan kami berakhir. Aku menarik nafas berat. Tiba-tiba Diana muncul dari balik semak-semak. Aku merasa jantungku berhenti berdetak. Apakah dia mendengar pembicaraan kami? Sampai sejauh mana dia mendengarnya? Aku menduga-duga dalam hati.

"Ngapain, kak?" tanyaku akhirnya.

"Panggilan alam. Lega rasanya," ia tersenyum. Dari gelagatnya ia tidak mendengar apa-apa, atau ia tidak memperhatikan, atau ia pura-pura tidak mendengar.

"Pantasan bau," aku mencoba bercanda.

"Hahahaha... kamu bisa aja," Diana terbahak. "Entah kapan air tersambung ke sini. Padahal kita udah mau di sini ngantornya. Ya, kali kita buang air terus di semak ini? Kalau buang air kecil, okelah. Nah, buang air besar?"

Aku tidak menanggapinya. Kumasukkan ponselku ke dalam saku bajuku.

"Masuk, yuk!" ajak Diana.

Aku mengikutinya. Dalam hati masih bertanya-tanya sejauh mana dia mendengar obrolanku di telepon tadi? Apa tadi dia pura-pura acuh tak acuh supaya aku tidak curiga? Tapi Diana yang kukenal selama ini adalah orang yang polos dan apa adanya. Dengan sikapnya tadi, aku yakin ia tidak mendengar dengan jelas apa yang kubicarakan dengan Anton.

Tapi semenjak kehamilan ini, aku jadi gampang curiga dan was was kalau orang lain mengetahuinya.

***

"Apa maksud kamu ngomong begitu tadi siang?" Anton mendatangiku malam harinya. Suara dan tatapan matanya tajam menusuk hatiku. Aku bergidik takut. Kami duduk di teras rumah kosku.

"Kalau Abang masih memaksaku untuk melakukan itu, jelas aku nggak mau," kataku.

"Tapi aku juga nggak mau menikahi kamu secepat itu," bantahnya.

"Pikirkan bagaimana caranya," seruku. "Aku nggak mau menunggu-nunggu lagi. Makin hari perutku akan semakin membesar."

"Aku nggak menyangka ternyata kamu begitu egois," seru Anton. "Atau jangan-jangan kamu sengaja menjebakku, ya?"

"Menjebak bagaimana?" kataku kaget. "Abang yang selalu memaksa aku melakukan itu dan Abang pernah tidak memakai pengaman. Abang pikir ini kemauanku?"

"Bisa aja makanya kamu nggak mau menggugurkannya," tudingnya kejam.

"Bang!" seruku. Aku menangis. "Selama ini kita cukup beruntung bahwa aku tidak hamil setiap kali kita melakukan dosa itu. Tapi aku yakin Tuhan..." bulu kudukku meremang saat menyebut nama yang mulia itu. "Makanya Dia mengizinkan ini terjadi supaya kita berhenti berbuat dosa. Dan sekarang Abang menyuruh aku menggugurkannya?. Kita akan semakin berdosa, Bang."

"Alahhhh... kamu jangan ngomongin dosa sekarang," Anton mengibaskan tangannya di hadapanku. "Sok alim kamu. Munafik!"

Hatiku sakit sekali mendengar omongannya. Dia yang membuat aku jadi begini. Aku dikenal orang sebagai orang yang taat beragama. Aku aktif di gereja, aktif membantu mengajar anak-anak sekolah minggu, juga aktif di kepemudaan gereja. Dan ayahku? Astaga! Ayahku adalah penatua gereja yang sangat disegani di kampungku. Oh, Tuhan, kenapa aku sampai melupakan itu? Air mataku mengalir deras mengingat semua itu.

"Kamu nggak usah menangis. Emangnya menangis menyelesaikan masalah?"

"Terus Abang bisa bikin solusi apa selain menghina aku?" aku mengusap air mataku dengan ujung lengan bajuku.

"Aku pusing..." dia meremas rambutnya dengan kasar.

Tiba-tiba ponselnya yang terletak di atas meja berbunyi. Kak Ana, nama yang tertera di layar kaca benda pipih itu. Anton menekan tombol speaker.

"Kamu di mana?" Kak Ana langsung bertanya tanpa basa-basi.

"Di kosan Tina." jawab Anton.

"Ngapain aja kamu di sana, hah?" suara Kak Ana terdengar marah. "Kenapa kamu harus selalu ke sana? Dia yang nyuruh kamu datang? Belum jadi istri udah posesif sama kamu."

Aku terkejut mendengar omelan kakaknya. Separah itukah aku di matanya? Aku tak pernah menyuruh Anton datang. Bahkan akhir-akhir ini aku lebih senang kalau dia tidak datang sana sekali.

bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status