Share

Bab 6 Tidak Boleh

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-09-03 12:45:19

Satu bulan sudah berlalu sejak aku tahu kehamilanku dari test pack itu. Aku merasa tubuhku sudah mulai berubah. Aku mulai gemuk. Perutku memang masih rata tapi ada perubahan di bagian-bagian tertentu. Aku memang merasa mual di pagi hari dan terkadang di malam hari juga. Tapi nafsu makanku meningkat di siang hari. Aku tidak tahu bagaimana kondisi kandunganku karena aku belum pernah memeriksakan diri ke dokter spesial kandungan. Aku harap janinku baik-baik saja. Sebisa mungkin kujaga pola asupan makananku dan diam-diam aku minum susu ibu hamil.

Aku harus menahan keinginanku untuk bertanya kepada Anton tentang tanggung jawabnya karena kondisi ibunya yang masih dirawat di rumah sakit. Dia terlihat tertekan. Anton memang sangat dekat dengan ibunya dan sepanjang yang kutahu dan juga cerita orang-orang, ibunya juga sangat menanjakan Anton. Dia anak kesayangan Bu Ria. Padahal Anton hanya anak ketiga dari 5 bersaudara.

Aku berusaha memenuhi keinginannya. Setiap hari dia menyuruhku ke rumah sakit menjenguk ibunya. Karena kantor kami berada di samping rumah sakit, jadi aku bisa meluangkan waktu sebentar ke sana dengan harapan Bu Ria dapat melihat ketulusan hatiku dan akan menerimaku.

Aku mengabaikan godaan dan ledekan dari teman-temanku setiap kali aku ke sana.

"Cieeee, bakalan jadi mantu kesayangan nih," kata Diana kemarin.

"Harus pandai-pandai mengambil hati mertua dong." sambung Ditha.

"Iya nih, biar disayang jadi harus curi start dari sekarang," kataku sekenanya.

Aku bersikap manis kepada Anton demi tanggung jawabnya terhadap anak ini. Padahal di kantor juga semakin sibuk karena kami sudah mulai memindahkan barang-barang ke gedung kantor yang baru. Kalau tidak ada halangan, kami akan menempati kantor baru minggu depan.

"Kak..."

Aku menoleh. Denny berlari-lari ke arahku. Aku menunggunya. Dia cukup akrab denganku.

"Kata dokter mama udah boleh pulang besok, Kak," katanya riang.

"Oh ya? Syukurlah," kataku juga ikut senang. "Siapa yang jaga Bibi sekarang?"

"Tadi ada Bapak, tapi katanya mau pulang sebentar, mau mandi dulu."

"Jadi sekarang Bibi sendirian di kamarnya?"

Denny mengangguk. "Tadi sih lagi tidur pas aku tinggal."

Saat kami sudah dekat ke kamar rawat Bu Ria, kami mendengar suara obrolan dari dalam. Ternyata Anton sedang berbicara dengan ibunya. Kami sudah hampir membuka pintu ketika aku memdengar namaku dalam pembicaraan mereka.

"Eh, Den, kayaknya aku lupa beli sesuatu deh," kataku sambil menarik tangan Denny menjauhi pintu.

"Beli apa, Kak?" tanya Denny.

"Tolong belikan air minum yang botol besar, ya." aku asal sebut saja supaya Denny cepat pergi. "Beli di kantin depan aja, ya."

"Kenapa harus ke depan? Jauh, Kak. Yang di dalam ini aja, ya."

"Jangan. Yang punya kantin di depan itu temanku, lebih baik belanja sama dia aja." kataku sambil menjejalkan uang ke tangannya. Tak sabar untuk mendengar percakapan Anton dengan ibunya.

"Ok, deh," Denny pergi.

Aku segera merapat ke pintu.

"Untuk apa kamu cepat-cepat menikah, Nak? Kok mendadak?" itu suara Bu Ria.

Deg. Jantungku berdetak cepat. Apakah Anton sedang membicarakan hubungan kami?

"Sebulan lagi aku 25 lho, Ma," kata Anton. "Itu nggak muda lagi."

"Iya, tapi kan pacarmu masih sangat muda. Baru tamat SMA kan dia?"

"Dia udah 19 kok, Ma. Bentar lagi 20," kata Anton.

"Nah, masih sangat muda itu. Mama aja produk zaman dulu menikah pas umur mama udah 24," kata Bu Ria. "Udah, kalian kerja aja dulu baik-baik. Bersyukur karena kalian bisa bekerja tanpa susah payah melamar ke sana ke mari. Nanti kalau ada rezeki, kalian kuliah lagi aja dulu."

"Tapi, Ma..."

"Pokoknya Mama belum mengizinkan kamu menikah secepat ini," kudengar suara tegas Bu Ria. "Kamu laki-laki, nggak apa-apa menikah sampai umur 30."

"Ma..." suara Anton memelas

"Lagian kakakmu belum menikah. Masa kamu melangkahi kakakmu? Tega kamu?" akhirnya alasan sebenarnya keluar juga. "Pantang melangkahi kakak perempuan lho."

"Tapi yang aku dengar nggak apa-apa kalau adik laki-laki yang melangkahi. Asalkan jangan adik perempuan aja, Ma," Anton masih berusaha membantah.

"Bagi Mama itu sama aja," kata Bu Ria. "Udah, jangan banyak pertanyaan lagi. Pokoknya selama kakakmu belum menikah, kamu juga tidak boleh menikah," suara tegas Bu Ria menghantam jantungku telak. "Kakakmu dulu, baru kamu dan adik-adikmu. Sesuai urutan."

"Ini, Kak," tiba-tiba Denny sudah berdiri di dekatku dan menyodorkan sebotol besar air mineral yang entah kenapa hanya itu yang terpikirkan tadi.

"Ah, Denny, kamu bikin kaget aja," aku mengelus dada.

"Lagian kenapa juga Kakak masih di luar? Kenapa nggak langsung masuk aja?"

"Abangmu dan Bibi masih bicara, jadi aku nungguin kamu biar kita sama-sama masuk. Aku segan masuk sendirian." kataku beralasan.

"Ya, udah. Yuk!" Denny menarik tanganku masuk.

"Selamat sore, Bi," aku menyapa dengan tenang seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Aku dan Anton berpandangan.

"Baru pulang kerja?" tanya Bu Ria melihat aku masih memakai seragam kerjaku.

"Iya, Bi." aku meletakkan bawaanku di meja.

"Kamu nggak usah repot-repot bawa apa-apa sama Bibi." kata Bu Ria.

"Nggak repot kok, Bi. Hanya buah kok." kataku.

"Lihatlah pacarmu ini, Tin. Masa tiba-tiba dia minta izin menikah?" Bu Ria sambil tertawa kecil mengajukan pertanyaan itu membuatku tergagap.

"Eh... eh..."

"Kalian masih muda. Selagi ada waktu, pergunakanlah untuk mengembangkan potensi diri. Apalagi kamu, Tin. Jangan kayak perempuan zaman dulu. Kita hidup di zaman sekarang harus melek teknologi. Bibi aja yang sudah tua berusaha keras mengimbangi kemajuan zaman ini."

"Iya, Bi," ludahku kelu. Kupandangi Anton, tapi dia malah mengalihkan tatapannya ke taman di luar jendela.

"Kalian sekarang masih THL. Berdoa aja semoga kalian bisa diangkat jadi PNS. Nah, sembari menunggu kalian kan bisa kuliah. Banyak kok perguruan tinggi yang membuka kelas jauh." lanjut Bu Ria. "Kalau udah tamat, bisa ikut tes CPNS."

"Iya, Bi," kataku perih.

Masalahnya bukan itu, Bi, jerit hatiku. Kubulatkan tekadku. Inilah saatnya, pikirku. Tapi saat aku hendak membuka mulut, tangan Anton yang besar dan kuat mencengkeram tanganku erat-erat sampai sakit. Aku memandangnya. Ia menggeleng kuat-kuat dengan mata melotot dan bibir mengatup rapat.

Kenapa? tanyaku melalui sorot mataku. Dia tetap menggeleng

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kak Ana masuk bersama Lola, kakak angkat Anton.

"Gimana, Ma? Udah sehat kan?" Kak Ana memeluk ibunya.

"Udah, Nak." jawab Bu Ria.

"Jadi besok pulang, Ma?" tanya Lola.

Bu Ria mengangguk. Aku langsung menyingkir ke belakang menjauhi ranjang pasien.

"Kalau begitu saya pulang dulu, Bi" aku yang merasa kehadiranku tidak dianggap pamit undur diri.

"Baiklah. Hati-hati, ya." kata Bu Ria.

Tak sedikit pun Kak Ana dan Lola mau melirikku. Mereka seakan menganggap aku tidak ada. Entahlah, aku bisa merasakan bahwa mereka tidak menyukaiku. Apalagi Kak Ana.

Aku menyusuri koridor rumah sakit dengan hati pilu. Ternyata di luar sudah gelap. Air mataku tak bisa kubendung lagi. Dan seperti tahu keadaanku, perutku bergolak. Mungkinkah janinku merasakan penderitaanku?

bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 57 POV Anton (1)

    POV AntonAku berdiri di ambang pintu kamar mama dan melihat semua yang dikerjakan oleh Tina, istriku, di sana. Dia dengan telaten dan sabar menyuapi mama makan. Dia sabar menunggu sampai mama benar-benar menelan buburnya. Sisa-sisa makanan yang belepotan di mulut mama, dibersihkannya dengan tisu. Mama begitu sumringah menerima perlakuan Tina. Wajahnya berbinar dan matanya selalu menatap wajah Tina seolah-olah dia baru pertama kali mengenal Tina.Aku heran. Mama hanya mau dirawat oleh Tina. Sudah seminggu ini memang ada perawat untuk mama. Dia bekerja mulai dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Tugasnya adalah memandikan, menyuapi, pokoknya mengurus segala keperluan mama selama rentang waktu tersebut. Tapi kalau sore sudah tiba, saat Ratih, perawat itu, pulang, mama hanya mau dirawat oleh Tina. Terkadang aku kasihan melihat dia bergerak dengan lamban karena perutnya yang semakin besar.Aku berusaha membantu tapi mama selalu menolakku. Seperti tadi, Tina terlambat datang. Aku tidak tahu d

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 56 Di Rumah Sakit

    "Lebih baik jadi janda daripada hidup dengan orang jahat. Untuk apa punya suami kalau aku harus hidup sendiri dan berjuang sendiri," kataku sambil menatap Anton telak.Anton menatapku tidak suka sementara Lola juga mendelik dari belakangnya. Pak Joko menghela nafas berat. Sesekali beliau menatap ke arah tempat tidur di mana istrinya terbaring."Tin, bapak tahu ini sangat berat dan perbuatan Anton memang tidak bisa ditolerir," kata Pak Joko. "Tapi maukah kamu mempertimbangkannya setidaknya biarlah sampai cucu bapak lahir."Aku tersentak mendengar permintaan mertuaku itu. Aku memandangi Anton. Sejak pertengkaran itu bahkan sejak aku tinggal lagi di rumah mertuaku, dia sama sekali tak ada usaha untuk berdamai denganku. Dia malah semakin hari semakin kompak dengan Lola. Terlebih dalam hal menghina aku. Lihatlah, harusnya dia yang mengatakan apa yang dikatakan mertuaku tapi dia malah sikut-sikutan dengan Lola. Mungkin mereka ingin aku segera mengurus perceraian itu sehingga mereka keberata

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 55 Apa Gunanya Punya Suami Tapi...

    "Maaf, ya, Tin, aku tak pernah tahu keadaan kamu selama ini."Aku menatap Kak Reni. Selama aku menikah, baru kali ini aku berbicara sedekat ini dengan dia. Walaupun aku sempat tinggal di rumah ini di awal pernikahan dulu, tapi aku sangat jarang bertemu dengan Kak Reni. Dia tinggal di rumah kontrakan yang dekat ke sekolah tempat dia mengajar. Paling banyak kami bertemu 3 kali, itu pun hanya sekadar bertegur sapa."Aku nggak menyangka kalau Anton ternyata mengabaikan kamu," lanjut Kak Reni. "Jadi persiapan perlengkapan bayi dan kamu melahirkan udah beres?""Belum, Kak," aku menggeleng. "Aku baru membeli sebagian.""Kamu nggak usah beli banyak-banyak. Toh anak bayi sangat cepat pertumbuhannya. Kayak kain bedong dan popok, paling lama dipakai sebulan. Kamu mau nggak pakai yang bekas?" tanya Kak. Reni."Bekas?" aku mengernyitkan kening tanda tak mengerti."Maksudku, aku masih menyimpan punya anak-anak. Kamu masih bisa pakai itu," jelas Kak Reni."Boleh, Kak?" mataku berbinar. "Aku maulah,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status