Share

Bab 5 Ibunya Sakit

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-08-31 08:35:56

"Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku.

"..........."

"Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?"

".........."

"Iya, aku akan segera pulang."

Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya.

"Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri.

"Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.

Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku.

"Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor."

"Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab.

"Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa membayangkan kalau kita akhirnya jadi berkantor di sana. Jauhhhh...."

"Iya, kenapa juga pemerintah harus memilih lokasi di sana," kataku menimpali.

"Lokasi itu kan pemberian masyarakat di sana supaya daerah itu maju. Mana sanggup pemerintah membeli lahan seluas itu untuk perkantoran sedangkan kabupaten ini masih baru. Masih 4 tahun. Ibarat manusia, kita masih mau masuk pra sekolah. Lagi lucu-lucunya," kata Wina.

"Nggak ada rencana pindah ke sana, Win?"

"Pindah? Kayaknya nggak deh, Tin. Toh kita lebih banyak berurusan di sini. Pasar di sini, bank di sini, terus kalau aku pulang kampung nanti makin ribet juga," jawab Wina. "Kamu?"

"Sama." jawabku. "Lagian kabarnya kita akan disediakan transportasi umum juga."

"Semoga aja. Kalau tiap hari naik motor ke sana bisa ambruk juga badan ini," kata Wina. "Kita tetap di sini aja, Tin. Kalau busnya nggak jalan, kita bisa gantian boncengan."

"Betul." jawabku asal.

"Tuh, ponselmu nyala," Wina menunjuk saku bajuku yang bercahaya karena ponselku ada yang menghubungi. Tadi memang sengaja kubuat mode diam.

Aku mengeluarkan ponselku dan melihat nama Anton di layarnya.

"Mama di rumah sakit." katanya langsung.

"Sakit? Bibi kenapa?"

"Gulanya naik. Kamu ke sini, ya!"

Dia langsung mematikan sambungan telepon. Kebiasaan buruknya tak pernah berubah. Tapi kali ini kumaklumi karena mungkin dia sedang kalut.

Wina menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Mamanya Anton sakit dan sekarang di rumah sakit." kataku.

"Kamu mau ke sana?" Wina melihat jam tangannya. " Ini udah jam 10 lho."

"Iya. Pinjam motormu, ya, Win."

"Boleh. Aku ambilkan kuncinya dulu, ya." Wina beranjak masuk dan aku mengikutinya untuk mengganti pakaian. "Tapi aku nggak bisa menemani kamu, ya."

"Iya, nggak apa-apa."

Aku memasuki rumah sakit milik pemerintah itu dengan jantung berdebar lebih cepat. Aku memang sudah mengenal Bu Ria, mamanya Anton, dari awal kami pacaran. Beliau gemuk dan pendek, menurutku malah sudah obesitas. Dia selalu bersikap biasa saja bahkan terkesan cuek kalau kami bertemu. Entah beliau menyukaiku atau tidak.

Aku membuka pintu ruangan kelas Mawar itu. Di sana sudah ada Anton, Pak Joko, ayahnya, Kak Ana, abang sulungnya, dan Denny si anak bungsu yang masih duduk di kelas 6 SD itu menangis menggenggam tangan ibunya. Bu Ria mengelus rambut anaknya sambil berusaha tersenyum.

Aku mengangguk kikuk kepada ayahnya dan kepada semua orang yang ada di ruangan itu dan mendekati ranjang pasien. Bu Ria memandangiku.

"Udah baikan, Bi?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sungguh mati aku merasa sangat asing berada di sana. Apalagi saudara-saudara Anton menatapku tak suka.

Bu Ria mengangguk. Nafasnya agak berat.

"Maaf, ya, bapak-ibu keluarga pasien," seorang perawat masuk membuatku menghela nafas lega. "Yang bisa jaga ibu ini di sini maksimal 2 orang, ya. Yang lain boleh pulang."

"Berarti yang jaga Anton dan kamu Ana," terdengar suara bass Pak Joko, ayahnya.

"Ok, Pak," jawab Kak Ana cepat.

"Iya, Pak." jawaban Anton juga sama.

"Sekarang kondisi pasien sudah stabil, jadi keluarga boleh pulang kecuali yang menjaga." kata perawat itu lagi.

"Ton, kamu aja yang pulang mengambil selimut dan yang lainnya ke rumah," kata Kak Ana.

"Ok, Kak." jawab Anton.

"Semoga lekas sembuh, ya, Bi." kataku sebelum pulang.

Bu Ria mengangguk. Kami beriringan keluar dari rumah sakit menuju parkiran.

"Kamu naik apa tadi?" tanya Anton.

"Pinjam motornya si Wina." jawabku.

Pak Joko, Daniel, abang sulung Anton, dan Denny pulang dengan mobil mereka. Aku dan Anton berkendara beriringan. Setelah melewati simpang rumah mereka, Anton masih tetap mengikutiku.

"Abang langsung pulang aja," kataku agak keras mengatasi suara ribut motor kami dan juga kendaraan lain yang masih berseliweran.

Anton tidak menjawab. Ada sedikit rasa bahagia di hatiku. Mungkinkah dia khawatir dengan kondisiku sehingga dia mengantarku pulang? Apalagi ini sudah hampir jam 12 malam. Aku tersenyum kecil dalam keremangan malam. Tapi senyumku langsung pudar saat kami sampai di kosku.

"Aku pinjam dulu uang kamu."

"Aku pinjam dulu uang kamu," katanya.

Ooh... jadi dia mengikutiku untuk minta uang? Aku malu sendiri sempat berpikir dia perhatian padaku. Pinjam katanya? Sejak dulu kata itu yang selalu dipakainya untuk meminta uangku tapi tak pernah dikembalikannya.

"Buat apa?" tanyaku basa basi.

"Untuk jaga-jagalah."

"Jaga-jaga buat apa?" tanyaku lagi.

"Nggak usah banyak tanyalah. Kamu kan lihat mama lagi sakit? Tentu butuh uanglah."

"Emangnya Abang yang bayar? Kan masih ada Paman. Uang Bibi juga pasti ada."

"Kalau nanti ada sesuatu apa aku harus minta sama Bapak? Misalnya dokter menyuruh mengambil obat ke apotek?"

"Setahuku, semua biaya akan dibayar pada saat pasien mau pulang." aku masih bertahan. "Lagian ada Kak Ana. Dia pasti ada uang juga."

"Kamu kok gitu sih? Perhitungan amat? Itu mamaku yang sakit. Calon mertua kamu."

Mendengar kata 'calon mertua' darahku tersirap sejenak. Apa Anton sudah ngomong ke orang tuanya? Tapi tidak mungkin mengingat pertengkaran kami tadi sore sebelum dia ke rumah sakit.

"Tapi aku nggak ada uang, Bang."

"Masa nggak ada? Kan baru gajian." katanya.

"Terus gaji Abang ke mana?" kubalikkan kata-katanya.

"Kita beda. Aku perlu beli rokok, beli tuak sekali-sekali," katanya enteng. "Kadang-kadang mentraktir teman minum."

"Abang nggak dipaksa membeli itu semua. Itu bukan kebutuhan utama." kataku ketus.

"Ada nggak nih?" dia mulai menggeber motornya. Hal yang sering dilakukannya kalau sedang marah atau kesal. Karena takut mengganggu tetangga, biasanya aku selalu mengalah. Kali ini juga karena aku takut tetangga akan keluar dan memarahi kami. Aku melangkah ke rumah dan mengambil dompetku.

"Nih!" aku memberikan tiga lembar uang seratus ribu rupiah ke tangannya.

"Mana cukup ini?" katanya enteng.

"Aku hanya punya itu. Kalau Abang nggak mau, sini!" aku mengambil uangku lagi tapi segera dimasukkannya ke saku bajunya

"Ya, udah. Aku pergi dulu."

Aku menghela nafas berat berusaha menebah dada. Selalu saja begitu.

bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status