Share

Bab 5 Ibunya Sakit

"Ada apa, Kak?" tanya Anton. Ia mematikan pengeras suara ponselnya dan memandangku biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal perkataan kakaknya sangat menohok perasaanku.

"..........."

"Apa?" Anton berseru dengan kaget. Ia bangkit dari kursinya. "Mama sakit?"

".........."

"Iya, aku akan segera pulang."

Anton mematikan ponselnya dan segera menyambar jaket dan kunci motornya.

"Ada apa, Bang?" tanyaku ikut berdiri.

"Mama sakit." jawabnya sambil naik ke motornya. Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia bergegas melarikan motornya keluar dari pekarangan rumah kosku.

Aku kembali duduk termangu. Perkataan Kak Ana kembali terngiang di telingaku.

"Lho, Anton udah pergi?" Wina muncul dari dalam. "Barusan kudengar suara motor."

"Udah, Win," kataku merasa bersyukur lampu teras tadi kumatikan sehingga suasana teras remang-remang hanya diterangi lampu jalan yang jaraknya kira-kira 30 meter dari rumah sehingga Wina tidak melihat mataku yang sembab.

"Capek, ya," kata Wina. "Aduh, aku nggak bisa membayangkan kalau kita akhirnya jadi berkantor di sana. Jauhhhh...."

"Iya, kenapa juga pemerintah harus memilih lokasi di sana," kataku menimpali.

"Lokasi itu kan pemberian masyarakat di sana supaya daerah itu maju. Mana sanggup pemerintah membeli lahan seluas itu untuk perkantoran sedangkan kabupaten ini masih baru. Masih 4 tahun. Ibarat manusia, kita masih mau masuk pra sekolah. Lagi lucu-lucunya," kata Wina.

"Nggak ada rencana pindah ke sana, Win?"

"Pindah? Kayaknya nggak deh, Tin. Toh kita lebih banyak berurusan di sini. Pasar di sini, bank di sini, terus kalau aku pulang kampung nanti makin ribet juga," jawab Wina. "Kamu?"

"Sama." jawabku. "Lagian kabarnya kita akan disediakan transportasi umum juga."

"Semoga aja. Kalau tiap hari naik motor ke sana bisa ambruk juga badan ini," kata Wina. "Kita tetap di sini aja, Tin. Kalau busnya nggak jalan, kita bisa gantian boncengan."

"Betul." jawabku asal.

"Tuh, ponselmu nyala," Wina menunjuk saku bajuku yang bercahaya karena ponselku ada yang menghubungi. Tadi memang sengaja kubuat mode diam.

Aku mengeluarkan ponselku dan melihat nama Anton di layarnya.

"Mama di rumah sakit." katanya langsung.

"Sakit? Bibi kenapa?"

"Gulanya naik. Kamu ke sini, ya!"

Dia langsung mematikan sambungan telepon. Kebiasaan buruknya tak pernah berubah. Tapi kali ini kumaklumi karena mungkin dia sedang kalut.

Wina menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Mamanya Anton sakit dan sekarang di rumah sakit." kataku.

"Kamu mau ke sana?" Wina melihat jam tangannya. " Ini udah jam 10 lho."

"Iya. Pinjam motormu, ya, Win."

"Boleh. Aku ambilkan kuncinya dulu, ya." Wina beranjak masuk dan aku mengikutinya untuk mengganti pakaian. "Tapi aku nggak bisa menemani kamu, ya."

"Iya, nggak apa-apa."

Aku memasuki rumah sakit milik pemerintah itu dengan jantung berdebar lebih cepat. Aku memang sudah mengenal Bu Ria, mamanya Anton, dari awal kami pacaran. Beliau gemuk dan pendek, menurutku malah sudah obesitas. Dia selalu bersikap biasa saja bahkan terkesan cuek kalau kami bertemu. Entah beliau menyukaiku atau tidak.

Aku membuka pintu ruangan kelas Mawar itu. Di sana sudah ada Anton, Pak Joko, ayahnya, Kak Ana, abang sulungnya, dan Denny si anak bungsu yang masih duduk di kelas 6 SD itu menangis menggenggam tangan ibunya. Bu Ria mengelus rambut anaknya sambil berusaha tersenyum.

Aku mengangguk kikuk kepada ayahnya dan kepada semua orang yang ada di ruangan itu dan mendekati ranjang pasien. Bu Ria memandangiku.

"Udah baikan, Bi?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sungguh mati aku merasa sangat asing berada di sana. Apalagi saudara-saudara Anton menatapku tak suka.

Bu Ria mengangguk. Nafasnya agak berat.

"Maaf, ya, bapak-ibu keluarga pasien," seorang perawat masuk membuatku menghela nafas lega. "Yang bisa jaga ibu ini di sini maksimal 2 orang, ya. Yang lain boleh pulang."

"Berarti yang jaga Anton dan kamu Ana," terdengar suara bass Pak Joko, ayahnya.

"Ok, Pak," jawab Kak Ana cepat.

"Iya, Pak." jawaban Anton juga sama.

"Sekarang kondisi pasien sudah stabil, jadi keluarga boleh pulang kecuali yang menjaga." kata perawat itu lagi.

"Ton, kamu aja yang pulang mengambil selimut dan yang lainnya ke rumah," kata Kak Ana.

"Ok, Kak." jawab Anton.

"Semoga lekas sembuh, ya, Bi." kataku sebelum pulang.

Bu Ria mengangguk. Kami beriringan keluar dari rumah sakit menuju parkiran.

"Kamu naik apa tadi?" tanya Anton.

"Pinjam motornya si Wina." jawabku.

Pak Joko, Daniel, abang sulung Anton, dan Denny pulang dengan mobil mereka. Aku dan Anton berkendara beriringan. Setelah melewati simpang rumah mereka, Anton masih tetap mengikutiku.

"Abang langsung pulang aja," kataku agak keras mengatasi suara ribut motor kami dan juga kendaraan lain yang masih berseliweran.

Anton tidak menjawab. Ada sedikit rasa bahagia di hatiku. Mungkinkah dia khawatir dengan kondisiku sehingga dia mengantarku pulang? Apalagi ini sudah hampir jam 12 malam. Aku tersenyum kecil dalam keremangan malam. Tapi senyumku langsung pudar saat kami sampai di kosku.

"Aku pinjam dulu uang kamu."

"Aku pinjam dulu uang kamu," katanya.

Ooh... jadi dia mengikutiku untuk minta uang? Aku malu sendiri sempat berpikir dia perhatian padaku. Pinjam katanya? Sejak dulu kata itu yang selalu dipakainya untuk meminta uangku tapi tak pernah dikembalikannya.

"Buat apa?" tanyaku basa basi.

"Untuk jaga-jagalah."

"Jaga-jaga buat apa?" tanyaku lagi.

"Nggak usah banyak tanyalah. Kamu kan lihat mama lagi sakit? Tentu butuh uanglah."

"Emangnya Abang yang bayar? Kan masih ada Paman. Uang Bibi juga pasti ada."

"Kalau nanti ada sesuatu apa aku harus minta sama Bapak? Misalnya dokter menyuruh mengambil obat ke apotek?"

"Setahuku, semua biaya akan dibayar pada saat pasien mau pulang." aku masih bertahan. "Lagian ada Kak Ana. Dia pasti ada uang juga."

"Kamu kok gitu sih? Perhitungan amat? Itu mamaku yang sakit. Calon mertua kamu."

Mendengar kata 'calon mertua' darahku tersirap sejenak. Apa Anton sudah ngomong ke orang tuanya? Tapi tidak mungkin mengingat pertengkaran kami tadi sore sebelum dia ke rumah sakit.

"Tapi aku nggak ada uang, Bang."

"Masa nggak ada? Kan baru gajian." katanya.

"Terus gaji Abang ke mana?" kubalikkan kata-katanya.

"Kita beda. Aku perlu beli rokok, beli tuak sekali-sekali," katanya enteng. "Kadang-kadang mentraktir teman minum."

"Abang nggak dipaksa membeli itu semua. Itu bukan kebutuhan utama." kataku ketus.

"Ada nggak nih?" dia mulai menggeber motornya. Hal yang sering dilakukannya kalau sedang marah atau kesal. Karena takut mengganggu tetangga, biasanya aku selalu mengalah. Kali ini juga karena aku takut tetangga akan keluar dan memarahi kami. Aku melangkah ke rumah dan mengambil dompetku.

"Nih!" aku memberikan tiga lembar uang seratus ribu rupiah ke tangannya.

"Mana cukup ini?" katanya enteng.

"Aku hanya punya itu. Kalau Abang nggak mau, sini!" aku mengambil uangku lagi tapi segera dimasukkannya ke saku bajunya

"Ya, udah. Aku pergi dulu."

Aku menghela nafas berat berusaha menebah dada. Selalu saja begitu.

bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status