Share

Bab 7 Sedih

Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.

Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah.

"Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?"

"Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku.

"Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah.

"Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu."

"Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi udah berusaha ngomong sama mama. Berusaha membujuk mama."

"Nggak, Abang nggak ada usaha apa-apa. Saat Bibi bilang Kak Ana harus duluan, Abang langsung manggut-manggut."

"Jadi aku harus bagaimana? Aku harus bilang kalau kamu hamil makanya kita harus menikah?"

"Iya. Seharusnya Abang bilang begitu," aku juga berseru. Tak peduli beberapa pasang mata memandang kami bertengkar di pinggir jalan.

"Kamu memang benar-benar egois." tudingnya. "Kalau tadi terjadi sesuatu sama mama, kamu harus tanggung jawab!"

"Memangnya aku melakukan apa?" sentakku tak terima dituduh seperti itu.

"Jaga mulut kamu kalau kamu masih ingin bersama aku!" setelah mengucapkan kata-kata itu, Anton segera melarikan motornya kencang dengan suara knalpotnya yang memekakkan telinga.

Ya, Tuhan, aku harus bagaimana. Ponselku berdering. Dengan mata berembun kulihat layarnya. Aku semakin sedih melihat bahwa ayahku yang memanggil.

"Hallo, Yah." aku menahan getaran suaraku karena menangis.

"Kamu di mana, Nak? Kok berisik?" tanya Ayahku dari seberang.

"Ini lagi di jalan, Yah. Ayah dan Ibu sehat kan?"

"Sehat, Nak. Kamu sendiri juga sehat kan?"

"Sehat, Yah."

"Sabtu besok kamu pulang kan? Udah 3 minggu, lho, kamu nggak pulang." kata Ayah.

Benar. Sejak aku tahu aku hamil, aku belum pernah pulang. Aku malu. Apalagi sekarang lagi gencar-gencarnya rasa mual menyerang. Aku tidak mau menambah beban pikiran mereka. Nanti saja kalau Anton sudah memberi tahu orang tuanya, aku juga akan memberitahu orang tuaku.

"Belum tahu, Yah. Kalau nggak ada kerjaan, mungkin aku akan pulang."

"Kerjaan apa sih, Nak. Nggak biasanya kamu sibuk di akhir pekan."

"Kan kami sibuk pindahan, Yah. Minggu depan kami udah di kantor baru." akhirnya aku menemukan alasan yang masuk akal.

"Ooh..." Ayahku mendesah. "Ya, udahlah. Tadinya Ayah mau minta tolong bawakan obat rematik yang biasa kamu beli."

"Rematik Ayah kambuh lagi?" aku kaget.

"Iya, Nak. Udah 3 hari."

Astaga. Ibunya Anton sakit aku jenguk tiap hari. Ayah kandungku sendiri sedang sakit aku tidak tahu. Bahkan dalam sebulan ini aku tidak pernah menelepon mereka. Merekalah yang selalu menelepon aku.

"Ya, udah. Nanti aku usahakan pulang, Yah." kataku.

"Eh, jangan kalau memang kamu ada kerjaan. Ayah nggak mau menyusahkan kamu. Biar Ayah ke puskesmas aja besok."

Betapa baiknya ayahku memikirkan pekerjaanku, sedangkan aku hanya bisa membuat aib dan menyusahkan mereka. Tenggorokanku tercekat.

"Kamu kenapa, Nak? Kamu menangis?" tanya Ayah tiba-tiba.

"Nggak, Yah. Aku hanya kangen sama Ayah dan Ibu." aku berkilah.

"Oh ya, Anton bagaimana kabarnya?"

"Dia baik, Yah."

"Syukurlah."

Anton sangat baik dan sopan kepada orang tuaku. Dia selalu ramah kalau mengantarku pulang setiap minggu. Awalnya aku tersanjung dengan perlakuannya. Orang tuaku tidak tahu bahwa di balik keramahannya, Anton sudah merusak masa depanku.

"Udah dulu, Yah. Semoga Ayah dan Ibu sehat di sana, ya."

"Kamu juga, ya, Nak."

Telepon ditutup tepat saat aku sampai di depan rumah kosku. Aku duduk si teras dan memandang lalu lalang kendaraan yang melintas di depan rumah.

"Kamu dari mana baru pulang?" tanya Bu Sari.

"Eh, Bu," aku sedikit kaget dengan kehadirannya. "Barusan dari rumah sakit."

"Belum pulang mamanya si Anton?"

"Belum. Besok katanya, Bu."

Bu Sari memang mengenal dekat keluarga Anton. Mungkin mereka juga masih ada hubungan keluarga meskipun sudah agak jauh

"Kamu kayak gemukan sekarang, ya." Bu Sari mengamati penampilanku.

Darahku tersirap. Spontan aku meletakkan tas di atas perutku dan memajukan badanku merapat ke meja.

"Ah, masa sih, Bu?" kurasakan wajahku memanas. Mungkin sudah memerah.

"Iya, benar. Tapi cantik kok. Kamu lebih cantik dengan tubuh agak berisi begini." komentar Bu Sari. "Jangan terlalu kurus kayak sebelumnya."

"Iya, Bu."

Belum tahu saja beliau kalau nafsu makanku dua minggu terakhir ini menggila. Bahkan saat terbangun tengah malam aku harus menyeduh sereal atau susu sambil makan cemilan untuk mengatasi rasa laparku.

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status