Share

Bab 7 Sedih

Author: Hans Yunata
last update Last Updated: 2022-09-06 17:57:41

Aku segera berlari ke taman. Aku muntah-muntah di dekat tong sampah sambil memegangi perutku. Aku sedih. Bahkan Anton sama sekali tidak menyusulku. Aku menatap nanar ke belakang. Berharap dia muncul tapi halaman rumah sakit sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor terparkir di sana.

Setelah perutku lega, aku berdiri. Aku memutuskan berjalan kaki ke rumah karena jaraknya yang memang dekat. Hanya butuh 10 menit berjalan kaki. Aku sengaja berjalan lambat-lambat sambil menghirup udara malam yang berdebu.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti mendadak di depanku sampai bannya berdecit nyaring. Ternyata Anton. Dia membuka helmnya dan menatapku marah.

"Apa maksudmu tadi, hah?" bentaknya garang. "Kamu mau bikin mama sakit lagi?"

"Aku hanya ingin membantu Abang mengatakan yang sebenarnya," kataku.

"Sama aja kamu membunuh mama." serunya marah.

"Abang berlebihan." kataku. "Tak ada sedikit pun niatku untuk membunuh mama Abang dan Abang pasti tahu itu."

"Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit? Aku tadi udah berusaha ngomong sama mama. Berusaha membujuk mama."

"Nggak, Abang nggak ada usaha apa-apa. Saat Bibi bilang Kak Ana harus duluan, Abang langsung manggut-manggut."

"Jadi aku harus bagaimana? Aku harus bilang kalau kamu hamil makanya kita harus menikah?"

"Iya. Seharusnya Abang bilang begitu," aku juga berseru. Tak peduli beberapa pasang mata memandang kami bertengkar di pinggir jalan.

"Kamu memang benar-benar egois." tudingnya. "Kalau tadi terjadi sesuatu sama mama, kamu harus tanggung jawab!"

"Memangnya aku melakukan apa?" sentakku tak terima dituduh seperti itu.

"Jaga mulut kamu kalau kamu masih ingin bersama aku!" setelah mengucapkan kata-kata itu, Anton segera melarikan motornya kencang dengan suara knalpotnya yang memekakkan telinga.

Ya, Tuhan, aku harus bagaimana. Ponselku berdering. Dengan mata berembun kulihat layarnya. Aku semakin sedih melihat bahwa ayahku yang memanggil.

"Hallo, Yah." aku menahan getaran suaraku karena menangis.

"Kamu di mana, Nak? Kok berisik?" tanya Ayahku dari seberang.

"Ini lagi di jalan, Yah. Ayah dan Ibu sehat kan?"

"Sehat, Nak. Kamu sendiri juga sehat kan?"

"Sehat, Yah."

"Sabtu besok kamu pulang kan? Udah 3 minggu, lho, kamu nggak pulang." kata Ayah.

Benar. Sejak aku tahu aku hamil, aku belum pernah pulang. Aku malu. Apalagi sekarang lagi gencar-gencarnya rasa mual menyerang. Aku tidak mau menambah beban pikiran mereka. Nanti saja kalau Anton sudah memberi tahu orang tuanya, aku juga akan memberitahu orang tuaku.

"Belum tahu, Yah. Kalau nggak ada kerjaan, mungkin aku akan pulang."

"Kerjaan apa sih, Nak. Nggak biasanya kamu sibuk di akhir pekan."

"Kan kami sibuk pindahan, Yah. Minggu depan kami udah di kantor baru." akhirnya aku menemukan alasan yang masuk akal.

"Ooh..." Ayahku mendesah. "Ya, udahlah. Tadinya Ayah mau minta tolong bawakan obat rematik yang biasa kamu beli."

"Rematik Ayah kambuh lagi?" aku kaget.

"Iya, Nak. Udah 3 hari."

Astaga. Ibunya Anton sakit aku jenguk tiap hari. Ayah kandungku sendiri sedang sakit aku tidak tahu. Bahkan dalam sebulan ini aku tidak pernah menelepon mereka. Merekalah yang selalu menelepon aku.

"Ya, udah. Nanti aku usahakan pulang, Yah." kataku.

"Eh, jangan kalau memang kamu ada kerjaan. Ayah nggak mau menyusahkan kamu. Biar Ayah ke puskesmas aja besok."

Betapa baiknya ayahku memikirkan pekerjaanku, sedangkan aku hanya bisa membuat aib dan menyusahkan mereka. Tenggorokanku tercekat.

"Kamu kenapa, Nak? Kamu menangis?" tanya Ayah tiba-tiba.

"Nggak, Yah. Aku hanya kangen sama Ayah dan Ibu." aku berkilah.

"Oh ya, Anton bagaimana kabarnya?"

"Dia baik, Yah."

"Syukurlah."

Anton sangat baik dan sopan kepada orang tuaku. Dia selalu ramah kalau mengantarku pulang setiap minggu. Awalnya aku tersanjung dengan perlakuannya. Orang tuaku tidak tahu bahwa di balik keramahannya, Anton sudah merusak masa depanku.

"Udah dulu, Yah. Semoga Ayah dan Ibu sehat di sana, ya."

"Kamu juga, ya, Nak."

Telepon ditutup tepat saat aku sampai di depan rumah kosku. Aku duduk si teras dan memandang lalu lalang kendaraan yang melintas di depan rumah.

"Kamu dari mana baru pulang?" tanya Bu Sari.

"Eh, Bu," aku sedikit kaget dengan kehadirannya. "Barusan dari rumah sakit."

"Belum pulang mamanya si Anton?"

"Belum. Besok katanya, Bu."

Bu Sari memang mengenal dekat keluarga Anton. Mungkin mereka juga masih ada hubungan keluarga meskipun sudah agak jauh

"Kamu kayak gemukan sekarang, ya." Bu Sari mengamati penampilanku.

Darahku tersirap. Spontan aku meletakkan tas di atas perutku dan memajukan badanku merapat ke meja.

"Ah, masa sih, Bu?" kurasakan wajahku memanas. Mungkin sudah memerah.

"Iya, benar. Tapi cantik kok. Kamu lebih cantik dengan tubuh agak berisi begini." komentar Bu Sari. "Jangan terlalu kurus kayak sebelumnya."

"Iya, Bu."

Belum tahu saja beliau kalau nafsu makanku dua minggu terakhir ini menggila. Bahkan saat terbangun tengah malam aku harus menyeduh sereal atau susu sambil makan cemilan untuk mengatasi rasa laparku.

bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 63 Keluargalah Tempatmu Pulang

    Sehari sudah berlalu sejak kejadian itu. Aku sudah kembali ke rumah kontrakanku ditemani oleh Wina. Kemarin saat aku keluar dari rumah mertuaku, aku mendatangi Wina ke kosnya. Di sana, dalam pelukan sahabatku itu, tanpa dapat kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya. Kalau di rumah mertuaku, aku tidak bisa menangis dan aku pun tidak tahu kenapa. Rasa marah, dongkol, kesal, kecewa dan entah rasa apa lagi yang menumpuk di rongga dadaku, seakan tersalurkan lewat tangisanku."Menangislah, keluarkan semua bebanmu," kata Wina sambil memeluk aku sangat erat. Dia pun ikut menangis sesenggukan. "Ada apa?" tanya Bu Sari heran mendapati kami berdua berpelukan sambil menangis di kamar Wina. Suara tangisku yang keras membuat beliau mendatangi kamar Wina."Nggak apa-apa, Bu. Nanti juga ibu akan tahu," jawab Wina.Bu Sari keluar dan menutup kembali pintu kamar. Aku yakin hatinya sekarang penuh tanda tanya dan kebingungan. Tapi seperti kata Wina, beliau juga bakalan segera tahu penyebabnya.Wina me

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 62

    Setelah selesai merekam perbuatan bejat suamiku dengan Lola memakai ponsel Anton, aku segera mengirimnya ke ponselku juga ke grup keluarga kami. Tidak main-main, aku tidak mengirimnya ke grup keluarga kecil kami tapi aku mengirimnya ke 2 grup besar atas nama nenek Anton dari pihak ayah mertuaku yang anggotanya ada 30 orang lebih dan atas nama kakek dari pihak ibu mertuaku, mulai dari anak SD sampai orang tua ada di sana sebagai anggota."Silakan dinikmati pertunjukan gratis ini!" Itu caption yang kutulis sebagai pengantar pesan itu."Aku nggak menyangka kalau kamu bersikap kasar kepadaku dan selalu membela Lola, itu karena ternyata kalian menjalin hubungan?" kataku pelan seolah kepada diriku sendiri. "Betapa bodohnya aku.""Aku memang tidak mencintaimu lagi, Ton. Aku sudah mati rasa sejak menjadi istrimu. Aku bertahan demi anak ini tapi semua sia-sia. Aku memang menuntut cerai dari kamu. Tapi aku tak menyangka akan menyertakan bukti perselingkuhanmu ini juga ke pengadilan. Tadinya ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 61 Zinah

    Terdengar suara kentongan 3 kali dari pos siskamling yang tak jauh dari rumah pertanda sekarang sudah pukul 3 dini hari. Aku menutup mulutku menahan isak tangisku sambil merekam perbuatan bejat lelaki yang masih berstatus suamiku itu. Perbuatan mereka terekam dengan jelas walaupun kamar itu temaram yang hanya diterangi lampu tidur. Setelah durasinya hampir mencapai 1 menit aku berhenti dan segera mengirimnya ke ponselku. Itu sudah cukup menjadi bukti. Pesanku sudah terkirim dan kulemparkan ponsel Anton begitu saja ke lantai.Dengan sinis kupandangi aktivitas kedua manusia laknat itu dan mundur. Kuhapus air mata di pipiku dengan kasar. Tak sudi rasanya menangisi pria bejat itu. Dengan sengaja kuraih daun pintu dan kuhempaskan dengan keras. Suaranya berdentam keras di malam sunyi itu. Segera kunyalakan lampu Kedua makhluk yang sedang berbagi peluh itu terkejut dan menoleh ke belakang. Aku tak dapat menggambarkan betapa terkejutnya mereka melihatku berdiri di ambang pintu dan menatap mer

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 60 Tertangkap Basah

    "Kami pulang dulu, Pak," aku pamit kepada Pak Johan setelah berbincang lama. "Udah mulai gelap.""Silakan, Nak," Pak Johan tersenyum lalu memutar kursi roda ibu mertuaku menghadap ke arah jalan menuju rumah. "Cepat sembuh, ya, Bu. Hati-hati, Tin. Harusnya jangan kamu lagi yang mendorong mertuamu. Kasihan kamu juga lagi hamil."Aku dan ibu mertuaku tersenyum menanggapi. Aku kembali mendorong kursi roda tersebut menuju rumah. Kami tidak berbicara lagi sepanjang perjalanan. Denny menyambut kedatangan kami di halaman."Kamu dari mana, Den?" tanyaku dengan nafas sedikit ngos-ngosan."Baru pulang les, Kak," jawab Denny sambil mengambil alih kursi roda dari tanganku."Kalau lesnya udah selesai, kamu langsung pulang, Den. Mama kan perlu juga sama kamu. Aku nggak kuat kalau tiap sore bawa mama jalan padahal aku udah memandikan dan menyuapi mama," kataku. "Nggak usah kamu meniru kakak abangmu. Mereka memang nggak peduli."Denny mengangguk saja.Bu Ria melirikku. Biar saja dia menyangka yang buk

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 59 POV Lola

    Dari jauh aku melihat Tina mendorong kursi roda yang diduduki oleh ibu angkatku. Sebenarnya aku malas berpapasan dengan mereka tapi mau tidak mau aku harus bertemu dengan mereka karena aku sudah terlanjur ada di gang menuju rumah. Aku menghentikan motorku di sisi jalan dan memandang mereka. Bu Ria menatapku tajam dengan mulut komat kamit."Lagi jalan-jalan?" tanyaku basa-basi."Nggak bisa lihat?" Tina balas bertanya dengan sengit."Biasa aja kali," kataku. "Ditanya baik-baik malah ngajak berantem kamu.""Harusnya kamu bisa pulang tepat waktu supaya bisa bawa mama jalan-jalan atau memandikan mama," kata Tina sambil melihat jam tangannya. "Ini udah jam berapa baru kamu pulang?""Heh jangan rese kamu, suka- suka akulah mau pulang jam berapa atau nggak pulang sekalian," semprotku kesal. "Kamu calon janda aja belagu. Cih! Kamu pikir aku nggak tahu kamu sok baik sama mama karena berharap Anton nggak jadi menceraikan kamu?"Wajah Tina memerah. Rasain kamu. Lagian siapa suruh melawan Lola? Ak

  • Salahkah Menjadi Janda?   Bab 58 POV Anton (2)

    POV Anton"Ton, kamu di mana?"Terdengar suara manja mendayu dari arah depan. Kulirik jam. Sudah jam 6 sore. Wajah ceria Lola muncul dari balik gorden pembatas ruang depan dan ruang tamu."Kok lama amat pulangnya?" tegurku kesal."Kangen, ya?" dengan manja Lola bergelayut di lenganku tapi segera kutepis. Dia cemberut. "Kok gitu sih?""Kamu jangan macam-macam. Ini di rumah, ada Tina juga," kataku sambil melihat ke depan, siapa tahu mereka sudah kembali dari jalan-jalan."Mereka masih di luar. Tadi aku lewati di ujung jalan mereka ngobrol dengan Pak Johan," kata Lola. "Ana belum pulang kan?""Dia kan lagi dinas luar," jawabku."Berarti kita bebas dong," Lola mengedipkan sebelah mata kepadaku dan memelukku erat."Jaga sikapmu!" kataku setengah membentak."Apaan sih, Ton?" Lola duduk menjauh dengan muka ditekuk. "Toh kita akan bersama juga kan? Biar aja mereka tahu!""Iya, tapi nggak sekarang juga. Mama masih sakit," bentakku."Awas kalau kamu ingkar. Habis kamu!" ancam Lola sebelum beran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status