Share

Lidah Ular

"Ya, Pa?"

"Apa yang masih kau lakukan di sana?"

Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar?

"Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi."

"Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana."

"Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu."

"Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?"

"Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau harus punya jalan sendiri untuk memperbaikinya. Ingat? Aku pernah memberimu pilihan dan inilah jawabanmu."

Deska terdiam sejenak. " … Aku tahu, Pa. Aku tahu risikonya."

"Oke, lupakan." Zalka yakin sang putra sudah memahaminya. Ia pun melanjutkan, "Dia bilang ingin membantu temannya."

Teman? Sejak kapan kekasihnya peduli pada orang lain? Deska merasa janggal.

"Baik, aku hanya ingin menyampaikan hal itu saja," kata Zalka. "Segera kembali, tampaknya cuaca sedang buruk."

"Aku mengerti, Pa." Deska menutup telepon. Aneh. Ia mengenal Yepa dengan sangat baik. Gadis itu tidak akan pernah repot-repot berurusan dengan orang lain selain dirinya. Mungkinkah ... ia menarik napas dalam-dalam. Ia harus bisa menenangkannya sesegera mungkin.

Ketika ia berbalik, ia menemukan sesosok gadis sedang duduk di tepi tempat tidur. Tengah menantinya untuk menyelesaikan panggilan telepon.

"Des, sebenarnya kau tidak perlu seperti ini." Yuvika memandangnya dengan jujur. "Aku bukan satu-satunya cucu dari Tuan Hirawan."

"Aku tahu itu." Deska menatapnya tanpa emosi. "Tapi kau dibesarkan olehnya dan kau yang paling diakui. Semua orang bisa melihatnya."

Yuvika memaksakan senyum. "Aku sendiri sedang mencari saudaraku yang lain. Mungkin dia bisa menjadi orang yang kau kenal."

"Apa peduliku? Itu masalahmu," balas Deska ketus. "Aku sendiri tidak ingin melakukan hal ini kalau saja tidak ada perjanjian itu."

"Des, aku menyukaimu." Yuvika menatap ke dalam matanya dengan sungguh-sungguh. "Maukah kau mencobanya?"

"Aku hanya mencintai Yepa," balasnya tanpa berpikir.

"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan?" Ia menunduk. "Aku memang tidak sebaik Yepa, tapi perasaanku ini tulus. Aku pasti mampu membahagiakanmu."

"Aku bisa melihatnya."

Deska sendiri tidak buta. Ia tahu gadis ini memendam rasa suka padanya selama bertahun-tahun. Lalu apa? Ia tidak tertarik pada gadis ini.

Yuvika mengangkat wajahnya dengan penuh harap.

"Tapi kau tidak bisa memasuki hatiku," lanjutnya dengan jelas.

"Des …." Air mata Yuvika menggenang.

Deska mengernyit. "Jangan menangis," katanya dingin.

Yuvika menggigit bibir bawahnya dengan wajah memerah. Menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Ingat ini. Kau sudah beruntung bisa menikah denganku meski hanya di atas kertas."

"Ya." Yuvika mengangguk dengan enggan dan tetap bertahan di posisi yang sama dengan patuh.

Deska berbalik. Meraih gagang telepon dan menekan beberapa nomor yang familier dengan tenang.

"Halo?"

Seketika roman wajah Deska berubah menjadi lebih hangat setelah mendengar suara dari seberang sana. "Ini aku," katanya lembut.

Tubuh Yepa bergidik. Ia menjauhkan ponselnya dengan bulu kuduk meremang.

Ini Deska!

Ia menatap lekat-lekat rangkaian nomor asing yang tertera di atas layar ponselnya. Dari mana orang ini menelepon?

"O-oh, ini kau," balasnya dengan nada senatural mungkin. "Kenapa memanggilku dengan nomor lain?"

Deska tidak segera menjawab. Kenapa ia merasa suara Yepa terdengar kaku dan berjarak? Apakah ini hanya perasaannya saja? Atau … rasa krisis itu mendadak muncul dengan sendirinya. Mungkin ayahnya benar. Hati wanita itu sangatlah tajam.

"Aku menelepon dari hotel," jelasnya ringan. "Aku sedang menjemput temanku dan dia masih bersiap. Bukankah Papa sudah mengatakannya?"

Teman pantatku!

"Ah, ayahmu tadi menyebutkannya," katanya seraya memutar mata tanpa ingin mengkonfirmasinya lebih dalam.

Deska terdiam. Hanya ini tanggapannya? Sekarang ia yakin memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kekasihnya.

"Kudengar kau pulang," lanjutnya mengubah topik. "Apa kau sudah merasa lebih baik? Kenapa terburu-buru? Ada apa? Apa sesuatu terjadi?"

Yepa meremas ponselnya dengan dengan tidak sabar. Rasanya ia ingin sekali melempar benda ini ke laut dan membiarkannya jatuh tenggelam ke dasar bumi.

"Ah, ini temanku yang sangat baik mendapat masalah dan dia sangat membutuhkan bantuanku," balasnya berlebihan. "Aku tidak bisa menolaknya. Kasihan."

Deska memikirkannya sejenak. Lingkaran pertemanan kekasihnya sangatlah sempit. Tiba-tiba ia mengingat sesosok pria yang menyedihkan dan jujur. Dan ia memilih untuk tidak mengungkitnya.

"Apa itu akan lama?"

"Yah, sepertinya."

"Kalau sempat, bisakah kau kembali? Kau sudah berjanji padaku, 'kan?"

Aku bukan pembantumu!

"Nah, aku tidak tahu," katanya dengan enggan. "Coba lihat cuaca di luar. Sangat tidak bersahabat. Kalau aku sakit bagaimana? Maaf, gajiku tidak boleh mengalir ke kantong rumah sakit mana pun." Dan ia tidak mau bertemu dengan dokter!

"Begitu." Deska merasa agak kecewa sekaligus lucu. Kekasihnya ini tetap perhitungan. "Eh, tapi kalau kau bebas nanti malam dan cuaca baik-baik saja, bolehkah aku menjemputmu?"

Wajah Yepa sontak berubah menjadi lebih serius.

Sialan!

Kenapa ia baru menyadari kalau pria ini sangatlah lengket? Untuk apa dirinya pergi kalau pada akhirnya ia akan tetap kembali ke lintasannya?

"Uh, aku tidak tahu … oh, bagaimana kalau nanti kuhubungi lagi jika urusannya sudah selesai, oke?" balasnya dengan nada setengah memohon.

Deska tersenyum puas. "Baiklah. Aku akan menjemputmu. Sampai jumpa, Sayang."

"Sampai jumpa!"

Tubuh Yepa menggigil. Cepat-cepat ia mematikan ponselnya. Kebencian di dalam matanya timbul kembali.

Ini pasti Zalka!

Kenapa pria tua itu menghubungi putranya? Ia mendecakkan lidahnya kesal. Kalau ia memikirkannya lagi, rasanya memang aneh. Bukankah seharusnya pria tua itu membencinya? Ia menatap pintu tempat tinggalnya dalam keheningan. Tidak bisakah ia menghindari pria itu agar tidak terlalu menderita banyak kerugian?

Dari awal hingga akhir Deska tidak mendengar Yepa menyebut namanya. Apa kekasihnya kesal karena ia pergi tanpa berpamitan? Ya. Pasti itu. Ia melirik Yuvika yang masih duduk dalam posisinya.

"Cepat bersiap. Malam ini aku harus menjemput Yepa," katanya tidak sabar. "Kalian akan bertemu. Jaga sikapmu di hadapannya."

Yuvika mengepalkan kedua tangannya. "Aku mengerti," gumamnya seraya bergerak mengemasi barang-barangnya dengan patuh.

Ia menyadari nilainya sendiri. Di hadapan pasangan ayah dan anak Jahan ini, dirinya hanyalah sebuah alat. Batu loncatan untuk meraih keagungan dari keluarga Hirawan. Belum lagi sikap Zalka yang tak pernah terprediksi padanya. Ia hanya punya latar belakang yang bisa dirinya perjuangkan. Benar. Setidaknya ada kesempatan untuk berdiri di sisi Deska meski hanya sekadar nama.

Yepa. Ia sudah melihat rupa wanita itu meski hanya lewat sebuah foto. Penampilannya sangat luar biasa. Pantas Deska mengejarnya tanpa melihat status. Namun, peluang untuk meluluhkan hati pria itu tetap selalu ada. Ia pasti bisa menggantikan posisi wanita itu. Ia hanya perlu bersabar.

"Selesai?"

Yuvika mengangguk. "Sudah."

Deska memandang sekilas penampilannya yang patuh. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan berbalik. Membiarkan Yuvika mengikutinya dari belakang, meninggalkan hotel dengan emosi yang terkontrol rapi.

"Apa hujan akan turun?" tanya Yuvika tanpa sadar saat ia melihat langit yang mendung.

Entah kenapa Deska teringat akan obrolannya dengan Yepa yang mengatakan bahwa "cuaca tidak bersahabat". Begitu pula dengan ayahnya yang berkata demikian.

"Mungkin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status