Yepa hanyalah seorang gadis dari kalangan masyarakat biasa. Kedua orang tuanya sudah meninggal sekitar delapan tahun yang lalu. Ia hidup sendiri tanpa sanak saudara di sekitar. Sejak lulus sekolah, ia memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya dan hidup mandiri.
Ia tinggal di sebuah indekos khusus wanita dan menjadi pekerja kerah biru bergaji tinggi di suatu garmen. Meski penghasilannya besar, ada pajak dan asuransi di belakangnya yang tidak dapat ia hindari. Dan yah, setidaknya ia bekerja kurang dari tiga puluh jam di setiap minggunya dan ada jatah libur satu bulan penuh di setiap tahunnya.
Sungguh negara yang sangat baik.
Ia puas dengan kehidupannya yang sederhana dan mampu memenuhi segala keinginan atas kerja kerasnya sendiri. Bahkan ia lebih condong memanjakan perut daripada merawat diri. Ia memiliki beberapa teman dan banyak kenalan di sekitarnya. Baginya semua itu sempurna. Hingga pria itu muncul.
Yepa memejamkan kedua matanya sembari menarik napas dalam-dalam. Jika itu memang hanyalah sebuah mimpi belaka, maka itu terlalu realistis. "Mungkinkah itu adalah sebuah peringatan?" gumamnya ragu. Ia terdiam selama beberapa saat hingga rasa pusing dan kantuk kembali menyerang. Tiba-tiba sekelebat bayangan mengerikan melintas. Berbagai memori yang tidak biasa muncul silih berganti. Memenuhi setiap ruang kosong yang ada di dalam benaknya tanpa berbelas kasih. Sontak ia terbangun dengan napas tersengal. Sekujur tubuhnya masih terbalut keringat dingin. Matanya bergerak liar memindai seisi ruangan.
Positif. Bilik ini memang milik kekasihnya. Ia menoleh dan meraih telepon pintar yang tergeletak di atas sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Jarinya menyapu dengan kecepatan kilat. Dan tampaklah sebuah tanggal yang sudah tidak asing lagi.
Oktober, 31, tahun ….
Yepa menarik napas dalam-dalam. Seketika akal sehat dan hatinya berlomba-lomba menyinkronkan diri. Ini tepat empat tahun sebelum tragedi itu. Mungkinkah ini memang terjadi? Takut ini adalah mimpi, ia mencubit pahanya keras-keras yang membuat dirinya meringis hebat. Sakit, tetapi itu membuktikan bahwa semua ini memang nyata adanya. Sebuah keyakinan tiba-tiba muncul dari dalam dirinya.
Reinkarnasi. Inikah kelahiran kembali? Tuhan memberinya kesempatan kedua? Ia menutupi mulutnya dengan wajah memerah. Matanya memanas. Bulir-bulir bening itu menitik deras. Mengalir membasahi kedua pipinya yang pucat. Ia hidup. Ia masih bernapas tanpa kekurangan apa pun. Semua masih baik-baik saja. Baguslah.
Entah bagaimana caranya ia bisa bertemu dengan sesosok pria yang membuatnya merasa lebih istimewa dari biasanya. Deska Jahan, pengusaha muda yang tampan dan menjanjikan. Walaupun pada saat itu ia sempat menahan perasaannya lantaran status sosial yang tidak setingkat dengan sang kekasih, pada akhirnya ia luluh dan bersedia menjalin hubungan. Meski hanya bermodal ketulusan.
Satu tahun bersama, cintanya kian membengkak. Bahkan dengan polosnya ia rela melakukan apa pun agar sang kekasih bahagia hingga pria itu memperkenalkan teman lamanya yang merupakan seorang gadis menarik dan lebih muda dari dirinya, Yuvika Nirwasita.
Awalnya ia tidak merasakan apa-apa karena ia secara membabi buta percaya pada sang kekasih. Namun, setelah perjalanan bisnis itu, ada sesuatu yang berbeda. Dan kemudian berita pernikahan itu sampai ke telinganya. Mereka bertengkar hebat dan pria itu berhasil merayunya karena ia masih menyayanginya. Dengan berbekal janji dari sang kekasih, anak itu lahir ke dunia. Akan tetapi, pria itu malah membawa anaknya pergi dan membuangnya ke tengah hutan. Membiarkannya mati sebagai santapan hewan buas.
Ia gagal menjadi seorang ibu.
Ia gagal menjadi seorang istri.
Ia tidak bisa ….
Yepa menghapus air matanya. Setiap kenangan menyakitkan itu masih segar dalam ingatan. Tangannya bergerak meraba perutnya yang rata tanpa sadar. Bagaimana pria itu membujuknya agar melahirkan anak dan menjadi istri keduanya. Ia menggertakkan gigi. Menahan semua emosi yang hampir meluap. Baguslah. Ia kembali ke masa masih belum ditebuk tikus¹.
Cepat-cepat ia bangkit dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah dengan sapuan kasar. Ia memegangi sisi wastafel, menenangkan diri sembari menggali lagi semua ingatan selama periode najis tersebut. Tatapannya jatuh ke arah rambut lurus cokelat kemerahannya yang terurai sepinggang. Ia tersenyum, tetapi tidak dengan matanya.
"Kau menyukai wanita dengan rambut panjang, bukan?" gumamnya. Ia terkekeh singkat. "Kau telah memberiku sebuah kejutan yang sangat luar biasa dalam hidupku, maka aku pun akan menyerahkan sebuah hadiah yang sangat tak terduga untukmu."
Yepa membasuh kembali wajahnya. Ia merogoh saku celana, mengambil sebuah selampai dan membasahinya. Ia menengadah sembari memejamkan kedua matanya. Kemudian menempelkannya ke atas indra visual. Seketika rasa sejuk dari air dingin itu meresap. Menenangkan saraf netranya yang perih.
Jika ia tidak salah mengingat. Di kehidupan sebelumnya ia datang ke rumah kekasihnya karena sudah berjanji akan berkunjung. Namun, siapa sangka ia malah jatuh pingsan karena kekurangan hemoglobin, eh, lupa meminum tablet tambah darah di malam sebelumnya. Ceroboh. Namun, apa boleh buat. Dirinya terlalu buta dan bodoh karena seorang pria.
Pada saat itu cuaca mendadak berubah drastis. Hujan angin datang dan ia menginap dengan senang hati. Mengabaikan sosok tambahan yang tidak ada di mata. Malam itu ... ia mendesah. Ia melepas saputangan itu dan menatap ke arah cermin dengan wajah dingin. Sebentar lagi sore dan hujan akan turun menjelang malam. Masih ada waktu untuk menghindarinya. Seingatnya, pria itu pergi untuk menjemput seseorang. Ia menyeringai. Tentu saja calon istrinya yang terkasih.
"Dasar tamak." Ia tersenyum sarkastis. "Kita lihat, sebanyak apa perubahan yang akan kuperbuat padamu."
Ia membenahi diri seraya menghilangkan bau tidak sedap dari tubuhnya sebelum turun ke lantai dasar. Di sana ia melihat Zalka Jahan, ayah dari sang kekasih yang tengah bersantai sambil membaca buku berat.
"Selamat sore Tuan Jahan," sapanya lembut dengan wajah yang menyenangkan.
Tuan Zalka menoleh seraya menyahut, "Sudah merasa baikan?"
"Ya." Yepa mengangguk dengan senyuman tulus. "Ini berkat Anda, Tuan Jahan. Terima kasih."
Itu karena anemia sialannya!
"Tidak perlu." Matanya kembali memandang ke atas buku. "Deska sedang menjemput temannya. Tunggulah sebentar."
Teman? Ia ingin menari gila di hadapan pria tua ini!
"Terima kasih," balasnya sopan. "Maaf, tapi aku sudah ada janji dan tidak bisa membuat temanku menunggu."
"Oh?" Tuan Jahan mengangkat wajahnya, agak keheranan di dalam hati. "Tumben?"
Yepa tersenyum dan menjelaskan, "Ini sangat mendadak dan aku merasa tidak enak kalau menolaknya."
"Begitu." Tuan Jahan mengangguk ringan. "Hati-hati kalau begitu."
"Ya, terima kasih. Tolong sampaikan pesanku padanya," balasnya sembari berpamitan.
Sebenarnya Tuan Jahan merasa ada yang janggal dengan perilakunya. Namun, ia tidak terlalu memedulikannya. Dari namanya saja sudah jelas. Hanya rangkaian kata tidak jelas tanpa nama keluarga di belakangnya.
Yepa J. Hazel. Gadis yatim piatu.
Senyum di wajah Yepa menghilang ketika ia meninggalkan kediaman tersebut. Sikap imitasi suam-suam kuku dari Zalka Jahan bukanlah berasal dari sikap matang seorang ayah. Melainkan pria itu hanya menganggapnya sebagai keberadaan yang tidak penting.
Bodoh!
Kenapa waktu itu ia bisa bertahan dan rela merendahkan diri di depan mereka?
Sial!
Ia berbalik. Sorot matanya memandang ke arah bangunan megah itu tanpa emosi. Tiga puluh tahun lebih ia menyia-nyiakan kehidupannya hanya demi kasih sayang yang semu. Cinta berengsek itu sudah membuat level IQ-nya turun drastis hingga ke tingkat tiarap! Kedua tangannya terkepal erat.
Yepa yang murah hati sudah mati.
Yepa yang baru akan menghancurkan mereka hingga luluh lantak!
===========
¹ditebuk tikus: sudah hilang kegadisannya.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Enzi tidak suka berbasa-basi dan tatapannya sangat menusuk. "Kau datang menemuiku, pasti ada sesuatu, 'kan?"Laiv belum menyampaikan maksudnya, tetapi Enzi sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa aku tidak boleh mengobrol denganmu?" Sebenarnya ia bisa langsung saja ke inti tujuan, tetapi ia tidak melakukannya karena berpikir mungkin ia bisa mengorek satu-dua hal darinya sekaligus mengenang masa lalu.Melihat Laiv bersikeras, Enzi tidak menolak. "Baiklah." Ia bukan tipe orang yang suka merobek topeng lawannya. Juga bukan individu yang sok sibuk. Lagi pula dirinya punya waktu senggang saat ia menginginkannya. Ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. "Kau keberatan?"Laiv menggeleng, tetapi tidak menolak. "Aku bisa menemanimu," katanya. Lagi pula ia sudah lama tidak merokok."Bagus."Enzi membuat isyarat agar Laiv mengikutinya dan pergi ke sebuah area yang tidak jauh dari tempat semula. Lokasi tersebut adalah sebuah area terbuka yang pernah menjadi la
"Apa ada yang kau inginkan?"Deska menggeleng lemah saat ayahnya bertanya. Ia pun menjawab dengan samar-samar, "Tidak ada." Ia merasa cukup dan tidak menginginkan apa pun.Zalka menghela napas. Sejak putranya bangun, perilakunya sudah seperti itu. Entah apa yang salah, tetapi ia merasa ada yang berubah."Kalau begitu istirahatlah. Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lagi," katanya mengingatkan."Aku tahu." Deska mengangguk. Ia memaksakan sebuah senyum. "Papa juga sebaiknya beristirahat." Ia tahu ayahnya tidak terlihat santai setelah dirinya bangun tadi malam.Di depan putranya sendiri, ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Bagaimanapun juga, ia masih merasa cemas akan kondisi Deska yang belum pulih benar."Jangan khawatirkan aku," katanya dengan alami. "Aku baik-baik saja."Karena ayahnya berkata seperti demikian, Deska tidak akan repot-repot lagi memperingatkannya. Ia pun menutup mata sambil menunggu dokter datang.Ruangan itu menjadi hening. Kemudian setelah beberapa s
Sebenarnya Yepa sudah mampu berinteraksi secara normal dengan Laiv. Hanya saja ia tetap merasa aneh dengan perubahan ini. Ia lebih nyaman dengan wajah bodoh itu.Sementara itu, Laiv masih sedikit takut jika Yepa tidak bisa menerima kondisinya saat ini. Belum lagi mengenai perasaannya yang terus tertunda hingga sekarang.Keduanya bertemu kembali, tetapi di lokasi yang berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi gudang tua usang yang tak terpakai, tetapi sebuah pondok.Yepa menguap lebar. "Jangan lihat aku seperti itu," katanya dengan nada bosan. "Aku tidak menerima berita apa pun dari kakek.""Bukankah seharusnya dia tahu kalau kau diculik?" Laiv mulai berpikiran buruk. "Kenapa dia tidak mencemaskanmu? Apakah orang-orangnya lalai?"Otak pria ini benar-benar sudah tersandung. Yepa memutar mata. "Kenapa tidak? Yang menculikku tidak lain kakakku sendiri. Masalah?""Tapi itu bukan kehendaknya," bantah Laiv. "Itu pekerjaan orang-orangnya. Ini kecelakaan.""Ya, kecelakaan yang membawa berkah," timpa
Jarno memasuki ruangan tempat Enzi kini berada dengan beberapa laporan di tangan. Di belakangnya Mirko menyusul, menutup pintu dan berdiri di sana. Saat ketiga pasang mata mereka bertemu, topeng kepura-puraan pun terlepas."Ada beberapa kabar," kata Jarno memulai. Ia melihat isi laporan dan membacakannya dengan jelas. Mulai dari kelompok mereka sendiri, keluarga Danapati, dan urusan Hirawan.Enzi fokus mendengarkan. Sementara Mirko menjaga pintu dengan patuh. Dan Jarno terus membacakan laporan. Setelah usai, ketiganya terdiam."Oke, kita tuntaskan dulu urusan internal," kata Enzi yang akhirnya bersuara.Jarno mengangguk. "Apa yang ingin kau lakukan?""Biarkan Dario dan kedua kawannya sibuk. Jangan beri mereka celah untuk mengorek kabar apa pun tentangku saat ini." Ia menoleh pada Mirko. "Karena orang-orang ini sangat peduli padaku, kirimkan beberapa wanita untuk mengganggu fokus mereka."Mirko mengangguk."Kali ini ambil umpan dengan jatah pekerjaan untuk jangka panjang," tambah Enzi.
Hingga detik ini, Yepa masih belum terbiasa dengan penampilan Laiv yang normal. Seharusnya itu baik-baik saja, tetapi ini justru sulit. Terasa aneh dan tidak pada tempatnya.Di ruangan yang sunyi itu Yepa dan Laiv saling menatap tanpa hendak mengutarakan apa pun. Keduanya diam seribu bahasa. Sibuk memikirkan ini dan itu tanpa kejelasan. Yang satu tidak tahu mesti berkata apa, sementara yang lain takut mengungkapkannya.Namun, pada akhirnya mereka tahu apa itu jenuh dan membuang-buang waktu. Lagi pula tidak ada artinya jika terus seperti itu. Kapan hal ini akan selesai?"Kau duluan."Mereka mengatakan hal serupa di saat yang bersamaan, keduanya terkejut.Laiv cepat-cepat mengibaskan tangan dengan panik. "Tidak, tidak, kau duluan!"Yepa memasang wajah cemberut, emosinya sedang tidak bagus. "Apa tidak terbalik?" tukasnya. "Seharusnya ini kau!""Benarkah?" Laiv meragukannya. Ia melirik ke arah lain, tidak berani menatap Yepa secara langsung seraya bergumam, "Kupikir itu kau."Sikap malu-m
Sepasang iris serigala itu menatap bosan ke arah luar jendela dari sebuah motel. Ribuan keping salju terus berjatuhan dari atas langit dan tampak tidak akan pernah berhenti turun untuk memenuhi seisi kota tersebut. Enzi menghela napas."Bos, apa kau menginginkan sesuatu?" tanya Marco dengan penuh pengertian. "Kalau ya, apa ada yang bisa kulakukan untukmu?""Tidak perlu," sahutnya singkat tanpa mengalihkan perhatian.Mendengar jawaban itu, Marco tidak terus mendesak sang bos. Tidak berarti tidak. Ia pun memilih duduk dengan tenang dan kembali menyeka pisau lipat yang masih ada di tangan.Keheningan kembali menyelimuti tempat tersebut. Satu orang duduk di dekat jendela dan sisa lainnya menempati sudut ruangan."Dia tidak memberi kabar?"Pertanyaan dadakan dalam kesunyian itu seketika menghentikan gerakan tangan Marco. Ia tahu siapa orang yang tengah sang bos singgung, Raveena Radeska."Ada," balasnya cepat. "Dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai. Tapi masih ada beberapa hal yang b