Tangan putih pucat itu terulur, bergerak lemah menggapai udara kosong. Dalam bidang pandangnya, sesosok punggung tegap seorang pria terpantul di dalam kedua bola matanya yang muram.
"Jangan pergi!"
Langkah kaki pria itu seketika terhenti saat mendengar permohonannya. Ia berbalik dengan air muka dingin. Tatapan matanya memang tertuju ke arahnya, tetapi sosok menyedihkan itu tak tecermin di dalam indra visualnya yang acuh tak acuh.
"Apa lagi yang kau inginkan?" tanyanya tanpa emosi. "Aku sudah memberimu kehidupan yang baik. Pakaian, makanan, uang, semuanya. Kau tidak kekurangan apa pun, bukan?"
Ia tertegun saat mendengar tanggapan yang merendahkan tersebut. Ia menurunkan matanya demi menutupi rasa kecewa akibat kalimat yang terlontar dari mulut si pria.
"Bukan begitu," gumamnya seraya menarik tangannya kembali dengan hampa. "Kau tidak mengatakan tentang hal ini padaku." Ia memandangnya lagi. "Aku bersedia memberimu anak dan mau menjadi istri keduamu. Tapi kenapa malah ini yang kau lakukan padaku?"
"Aku berbohong padamu," aku si pria gamblang.
Matanya melebar dengan rasa perih yang tiba-tiba. Dengan cepat ia memaksakan senyum demi menghibur diri dan bertanya dengan bodoh, "Tidak mungkin. Kau pasti sedang bercanda, 'kan? Kau, kau sebenarnya ingin memberiku sebuah kejutan, benar?"
Si pria memandangnya dengan lurus. "Sesungguhnya aku ingin melepaskanmu. Tapi kebetulan dia tidak bisa memberiku anak. Jadi, aku memanfaatkanmu."
Aku memanfaatkanmu.
Dua kata terakhir itu seketika membuat suhu tubuhnya menurun drastis tanpa peringatan. Telinganya berdengung kencang. Tatapannya mulai tidak fokus. "Aku tidak percaya," katanya setengah berbisik. "Aku, aku yakin kau tidak akan pernah berbuat hal seperti ini padaku."
"Aku melakukannya hanya demi dia," balas si pria lebih kejam.
Menggunakannya hingga sejauh ini hanya demi wanita itu?
Ia menutupi mulutnya sembari menggeleng dengan keras kepala. Orang yang ia kasihi selama ini ternyata menipunya? Lalu masa-masa yang mereka berdua lewati itu apa?
Pria itu memutar badan dan kembali berjalan seraya berkata, "Kau memang yang melahirkan anak ini, tetapi kau tidak akan pernah menjadi ibunya. Aku juga tidak akan menjadi suamimu."
Bukan ibu dari putranya sendiri … bukan suaminya … ini tidak adil. Kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga dirinya harus mengalami semua ini? Tidak, seharusnya tidak seperti ini!
"Aku ibunya!"
Ia berusaha bangkit dari atas ranjang. Namun, usahanya gagal karena rasa sakit di area bagian bawah tubuhnya tiba-tiba menyerang. Belum lagi efek dari obat bius itu masih ada. Otaknya berputar cepat. Ia menggertakkan gigi. "Berhenti!" pekiknya sambil memohon, "biarkan aku pergi bersamanya, ya? Aku berjanji padamu. Aku tidak akan pernah mengganggumu lagi. Aku bersumpah!"
Pria itu kembali berhenti berjalan ketika ia mencapai ambang pintu. Ia menoleh tanpa emosi. "Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam kesedihan di sisa hidupmu. Aku akan mengangkat bebanmu."
Entah kenapa tubuhnya tiba-tiba mengejang setelah mendengar hal itu. Seketika kegusarannya tergantikan oleh sebuah kegelisahan yang menjadi-jadi. "Apa, apa maksudmu?" tanyanya bingung.
Tidak ada jawaban. Pria itu sudah menghilang di balik pintu yang tertutup. Meninggalkan ruangan tersebut bersama dengan putranya yang baru datang ke dunia.
"Kau …."
Ia meremas pakaian bagian dadanya. Rasa perih di dalam hatinya kian berdenyut-denyut. Sesuatu yang selama ini ia tanggung akhirnya terlepas. Tangis pilu pun pecah memenuhi seisi bilik.
Inikah balasan dari semua kemurahan hatinya?
Sekonyong-konyong beragam emosi bercampur menjadi satu. Berputar-putar dan menggerogoti kelemahannya. Menjadikan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya mendidih.
Ia bangkit dari atas tempat tidur. Mengabaikan semua rasa tidak nyaman dan berlari hendak menyusul. Tangannya meraih knop pintu. Akan tetapi, baru kakinya melangkah ke luar, ia malah tersandung dan terjatuh. Ketika ia mengangkat wajahnya, sosok pria itu telah kian menjauh dari pandangan. Tidak, tidak bisa. Kedua tangannya terkepal erat.
Anak itu adalah miliknya!
Ia tidak boleh membiarkan pria itu pergi bersama dengan darah dagingnya. Bagaimanapun juga … "Dia anakku! Dia keluar dari rahimku!" jeritnya tak tertahankan. "Kembalikan!" Ia berdiri dan terseok-seok. "Kau pembohong! Aku menyesal sudah mencintaimu!"
Teriakan itu bergema memenuhi koridor panjang di rumah sakit yang sepi. Namun, pria itu mengabaikannya. Menulikan kedua telinganya. Menatap lurus ke depan tanpa keinginan untuk menoleh ke belakang sekalipun.
Melihat bahwa pria itu mengabaikannya, bibirnya tersenyum putus asa. Sepertinya pria itu sudah membuang perasaannya. Kekuatannya tiba-tiba menghilang. Tubuhnya merosot. Segala pengorbanannya sia-sia. Semuanya hanyalah sampah.
Dari arah yang berlawanan, sekelompok orang mendatanginya tanpa tedeng aling-aling. Memaksanya berdiri dan menyeretnya dari lingkungan tersebut. Ia linglung sepanjang proses. Ia hanya tahu bahwa orang-orang itu membawanya pergi berkendara ke suatu wilayah yang asing. Begitu ia melihat banyak pepohonan tinggi menjulang di sekeliling, sebuah pikiran buruk sontak menghantam.
Mereka akan melenyapkannya? Mustahil. Kekasihnya, tidak, tidak mungkin ….
Belum sempat ia memberikan perlawanan, mobil itu mendadak berhenti. Seseorang membekapnya dan mengikat kedua tangannya. Menariknya ke luar dengan kasar. Menganggapnya seperti benda tak bernyawa. Langkah kakinya mengikuti ritme gerak mereka yang cepat. Rasa sakit itu mulai timbul kembali. Bahkan ia merasa ada sesuatu yang mengalir dari suatu tempat di area tertentu tubuhnya.
Pendarahan.
Semakin lama mereka berjalan, semakin dalam dan gelap kawasan yang tengah mereka tuju. Ia tidak tahu ke mana orang-orang itu akan membawanya pergi. Pikirannya tidak keruan. Dan ia tidak menyadari entah sejak kapan mereka mendorongnya hingga jatuh terjerembap dengan mulut dan tangan yang sudah terbebas dari belenggu. Ketika ia menoleh, orang-orang itu sudah menghilang dari hadapannya. Hanya menyisakan dirinya seorang di tengah-tengah hutan asing tersebut.
Udara malam nan dingin menusuk kulitnya yang berbusana tipis. Ia bangkit dan tanpa sengaja melihat ke arah tempat ia datang sebelumnya. Di atas tanah yang tertutup oleh dedaunan kering itu terdapat bercak darah. Itu pasti miliknya, pikirnya jelas. Matanya terpejam perih dengan cairan bening yang meleleh. Ia baru melahirkan seorang anak demi kekasihnya dan orang yang sama pula telah membuangnya ke tengah hutan seperti barang usang.
Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam kesedihan di sisa hidupmu. Aku akan mengangkat bebanmu.
Jadi, itu maksudnya. Sekarang ia mengerti. Pria itu ingin dirinya mati tanpa meninggalkan jejak apa pun. Ia terisak dengan suara tertahan. Sekarang ia menyadari kebodohannya. Orang-orang itu sudah menginjak-injak kebaikannya.
Sakit.
Perih.
Ia merasa ada sesuatu yang melubangi dadanya. Nyeri itu merobek-robek sanubarinya dengan rasa yang tak terlukiskan. Terpotong-potong. Menyebar ke sekujur tubuh.
Ketulusannya hanyalah sampah.
Dalam keheningan itu, samar-samar telinganya menangkap suara-suara lolongan dari para anjing liar. Langkah-langkah cakar itu kian mendekat. Tiba-tiba tubuhnya bergidik. Hatinya menggigil ketakutan. Mungkinkah … ketika ia membuka kedua matanya lebar-lebar, sepasang bola kuning keemasan yang tajam dan ganas tertangkap oleh penglihatannya. Sepertinya darah itu sudah mengundangnya. Tidak, mereka.
Anjing-anjing liar itu berdatangan satu per satu. Mereka memperlihatkan gigi-gigi runcingnya dengan air liur yang menetes-netes. Mereka bergerak mendekat dan pelan-pelan mengelilinginya dengan pandangan yang tidak sabar seolah-olah berkata, Kira-kira bagian tubuh mana yang enak dari mangsanya ini?
Ia memejamkan kedua matanya erat-erat ketika moncong salah satu dari anjing-anjing itu mengendus lehernya yang terekspos. Ia menjerit. Berteriak demi meminta bantuan. Akan tetapi … tubuhnya perlahan-lahan melunak. Mungkin inilah akhir dari perjalanan hidupnya yang terjal dan berliku. Dahinya berkerut saat sesuatu menusuk kulitnya. Ia menggertakkan gigi. Erangannya tertahan ketika gigi-gigi tajam itu menancap ke dalam dagingnya. Mengoyaknya ….
Jika ada kesempatan kedua, ia tidak boleh jatuh cinta lagi padanya.
Jika ada kesempatan kedua, ia harus membalaskan semua penderitaan ini.
Jika ada kesempatan kedua, hidupnya adalah miliknya!
Deska Jahan, aku akan membunuhmu, juga kekasihmu!
Aku, Yepa J. Hazel akan menghancurkan semua yang kau sayangi!
Sepasang mata biru benhur itu terbuka lebar penuh dengan dendam. Berbagai gejolak tersirat di dalamnya. Ketika mereka mengerjap, pandangannya menjadi linglung seketika. Eh? Langit-langit ruangan ini … bukankah tempat ini adalah kamar kekasihnya? Tanpa sadar ia meraih lehernya dalam kebingungan.
"Kenapa aku ada di sini?"
Yepa hanyalah seorang gadis dari kalangan masyarakat biasa. Kedua orang tuanya sudah meninggal sekitar delapan tahun yang lalu. Ia hidup sendiri tanpa sanak saudara di sekitar. Sejak lulus sekolah, ia memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya dan hidup mandiri. Ia tinggal di sebuah indekos khusus wanita dan menjadi pekerja kerah biru bergaji tinggi di suatu garmen. Meski penghasilannya besar, ada pajak dan asuransi di belakangnya yang tidak dapat ia hindari. Dan yah, setidaknya ia bekerja kurang dari tiga puluh jam di setiap minggunya dan ada jatah libur satu bulan penuh di setiap tahunnya. Sungguh negara yang sangat baik. Ia puas dengan kehidupannya yang sederhana dan mampu memenuhi segala keinginan atas kerja kerasnya sendiri. Bahkan ia lebih condong memanjakan perut daripada merawat diri. Ia memiliki beberapa teman dan banyak kenalan di sekitarnya. Baginya semua itu sempurna. Hingga pria itu muncul. Yepa memejamkan kedua matanya sembari menarik napas dalam-dalam. Jika itu m
"Ya, Pa?" "Apa yang masih kau lakukan di sana?" Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar? "Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi." "Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana." "Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu." "Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?" "Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau h
"Ya, Pa?" "Apa yang masih kau lakukan di sana?" Kening Deska berkerut samar. Kenapa nada bicara ayahnya terdengar sangat tidak sabar? "Apa masih lama?" lanjut Zalka agak jengkel. "Pacarmu sudah pergi." "Papa bilang apa?" Ia merasa tidak percaya. Ia mengalihkan teleponnya ke telinga kiri. "Kenapa Papa tidak mencegahnya? Aku sudah mengatakannya pada Papa untuk menjaganya agar tidak pergi ke mana-mana." "Apa urusannya denganku?" Zalka mendengkus. "Aku bukan kekasihnya dan aku tidak mau terlibat dengan bisnis romantikamu yang konyol itu." "Pa." Ia mendesah. "Papa sendiri tahu. Yepa adalah satu-satunya wanita yang paling kucintai. Dan Yuvika hanyalah alat untuk memajukan perusahaanmu. Kalau bukan karena latar belakangnya, siapa yang bersedia membungkuk untuk hal ini?" "Aku tahu ini. Aku senang kau mau berkompromi, tapi kau tidak bisa lengah dalam urusan wanita. Hati mereka sangatlah tajam." Zalka menghela napas. "Aku bisa menutup mata untuk hal ini. Namun, ketika hal itu pecah, kau h
"Yepa?" "A-ah, ya?" Yepa mengerjap dan memandang Deska dengan gugup. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Deska menatapnya dalam-dalam. "Apa wajahku sangat menarik atau ada sesuatu yang mengganggumu?" "Kau tidak perlu khawatir." Yepa menurunkan matanya dengan suara serius. "Aku hanya mendapat mimpi buruk." "Benarkah?" Tangan Deska bergerak. Jari jemarinya mengelus pipi Yepa yang halus dengan penuh kasih sayang. "Apa kau mau membaginya denganku agar tidak menjadi beban pikiran?" "Tidak perlu." Yepa menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya dengan senyuman kuat. "Aku baik-baik saja." "Begitu." Deska menghela napas lega. "Kalau kau tidak apa-apa, itu bagus." Jika ini sebelumnya, Yepa pasti tidak akan menyembunyikan apa-apa dari Deska. Bahkan untuk hal yang sepele sekalipun. Namun, sekarang …. "Des, kau tenang saja." Yepa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Deska yang sempit. "Jangan terlalu banyak berpikir, oke?" "Aku tahu." Deska merengkuhnya dengan hangat. Perasaan tidak
Gerakan kaki Laiv yang terburu-buru seketika melambat. Perlahan ia berhenti berjalan dan menoleh dengan penuh keraguan. Hanya ada jalanan lurus dan kosong yang memasuki bidang netranya. Pemandangan di sekitarnya pun sangat tidak menyenangkan. Sepi dan temaram. Untuk sesaat, pikirannya hampa. Ia cemas dan tidak bisa membuat keputusan. Pulang atau kembali menemui Yepa. Meski sosok itu sudah tidak lagi tertangkap oleh jangkauan penglihatan, ia bisa membayangkan seperti apa suasana hati gadis itu saat ini. Bimbang. Sebagai sahabat, bukankah seharusnya ia berdiri di sampingnya? Memberinya kata-kata penghiburan. Membuatnya tertawa. Membiarkannya bangkit dengan keteguhan hati yang baru. Begitulah keinginan sejatinya. Sayang, semua itu hanyalah pemikirannya yang tidak mungkin terwujud. Jangankan membantu orang lain, menyokong dirinya saja … bahkan ia hampir tidak mampu melakukannya sendiri. Memang tidak berguna. "Yeye tidak akan dendam padaku, 'kan?" gumamnya takut-takut. Dalam kesunyian i
Sekali saja Yepa ingin memuaskan hasrat bermalas-malasannya di setiap hari Minggu. Sebelumnya hati dan pikirannya sudah terkuras. Bahkan ia sudah tidak memiliki air mata lagi. Itu kering dan membosankan. Ia membuka kedua matanya dengan sikap ogah-ogahan ketika telinganya mendengar suara ketukan pintu. Pukul berapa sekarang? Ia mengutuk dengan bersih sambil beranjak dari atas tempat tidur. Ketika ia membuka pintu, ia melihat sosok Laiv yang terlihat lebih bersinar dari biasanya. Ia mengerjap dan menatap dengan bodoh. "Halo, eh, pagi, Yeye," sapanya gugup. "Apa aku mengganggu tidurmu?" Bukankah itu sudah jelas? Namun, Yepa tetap tidak tahu harus bersikap seperti apa pada orang yang ada di hadapannya saat ini. Samar-samar ia memang mengingat bahwa pria ini akan menemuinya dan sebenarnya tidak terlalu menganggapnya serius. Ia melirik tangan Laiv yang kosong. Bukannya ia mengharapkan sesuatu dari pria ini, tetapi ada rasa tidak puas yang bergelayut kecut di dalam hatinya. "Hanya teguran
Deska memberhentikan kendaraannya di sebuah lahan parkir dari suatu gedung. Ia mematikan mesin dan melepas sabuk pengaman. Ia bergerak tanpa berpikir. Keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk sang kekasih. "Terima kasih," kata Yepa ketika ia turun dari dalam kendaraan tersebut. "Ya." Deska tersenyum seraya menarik tubuh sang kekasih ke sisinya. "Di sini tempatnya." Begitu Yepa mendongak, ia mendapati sebuah bangunan berlantai dua dengan plang kayu bergantung yang bertuliskan "Bar Lussuria" di atasnya. Ia mengerjap. Dari luar penampilan tempat ini sangatlah biasa-biasa saja. Seluruh gedung bercat putih tanpa dekorasi yang berlebih. Hampir tidak membocorkan esensi yang berkenaan dengan "nafsu" dari arti tertentu. "Bagaimana?" Deska memegangi kedua bahu sang kekasih dengan sikap yang sangat alami. "Nama tempat ini sangat menarik, bukan?" Yepa mengangguk dengan kosong. "Sangat unik," akunya. Bar macam apa ini? Tidakkah sebutan ini terlalu ambigu? Deska terkekeh pelan. Ia me
"Maaf, Anda siapa?" Orang itu tidak segera menyahut. Sikapnya justru tidak kalah bimbangnya dengan penampilan Yepa yang bermandikan keraguan. "Maaf." Ia meneguk ludahnya sendiri. Ada harapan di dalam sorot matanya. "Apa Eden adalah ibumu?" Pelukan Yepa pada kedua kantong kertas itu kian mengerat. Tidak khawatir mereka akan rusak. Pikirannya teralihkan. Dugaannya tidak keliru. Mendadak ia merasa wajahnya memanas. "Tuan … Anda, Anda kakekku?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Taveti Hirawan tidak perlu merisaukan perasaannya lagi. Tanpa pertimbangan apa pun, ia menarik Yepa ke dalam dekapannya. Membungkusnya dengan kerinduan yang kentara. "Ya, cucuku," katanya parau, "ini Kakek." Air mata pun menitik. Yepa membiarkan tubuhnya tenggelam ke dalam rengkuhan pria paruh baya itu dengan seluruh perasaannya. "Kakek, aku bertemu denganmu," bisiknya. "Ya, ya, cucuku, akhirnya kita bertemu," balasnya menegaskan. Ia pun tak kuasa menahan rasa haru yang membayangi wajahnya. "Kakek menemukan