Share

Salju Hitam di Venesia
Salju Hitam di Venesia
Author: Zhio Sansone

Mati di Mulut Hewan Buas

Tangan putih pucat itu terulur, bergerak lemah menggapai udara kosong. Dalam bidang pandangnya, sesosok punggung tegap seorang pria terpantul di dalam kedua bola matanya yang muram.

"Jangan pergi!"

Langkah kaki pria itu seketika terhenti saat mendengar permohonannya. Ia berbalik dengan air muka dingin. Tatapan matanya memang tertuju ke arahnya, tetapi sosok menyedihkan itu tak tecermin di dalam indra visualnya yang acuh tak acuh.

"Apa lagi yang kau inginkan?" tanyanya tanpa emosi. "Aku sudah memberimu kehidupan yang baik. Pakaian, makanan, uang, semuanya. Kau tidak kekurangan apa pun, bukan?"

Ia tertegun saat mendengar tanggapan yang merendahkan tersebut. Ia menurunkan matanya demi menutupi rasa kecewa akibat kalimat yang terlontar dari mulut si pria.

"Bukan begitu," gumamnya seraya menarik tangannya kembali dengan hampa. "Kau tidak mengatakan tentang hal ini padaku." Ia memandangnya lagi. "Aku bersedia memberimu anak dan mau menjadi istri keduamu. Tapi kenapa malah ini yang kau lakukan padaku?"

"Aku berbohong padamu," aku si pria gamblang.

Matanya melebar dengan rasa perih yang tiba-tiba. Dengan cepat ia memaksakan senyum demi menghibur diri dan bertanya dengan bodoh, "Tidak mungkin. Kau pasti sedang bercanda, 'kan? Kau, kau sebenarnya ingin memberiku sebuah kejutan, benar?"

Si pria memandangnya dengan lurus. "Sesungguhnya aku ingin melepaskanmu. Tapi kebetulan dia tidak bisa memberiku anak. Jadi, aku memanfaatkanmu."

Aku memanfaatkanmu.

Dua kata terakhir itu seketika membuat suhu tubuhnya menurun drastis tanpa peringatan. Telinganya berdengung kencang. Tatapannya mulai tidak fokus. "Aku tidak percaya," katanya setengah berbisik. "Aku, aku yakin kau tidak akan pernah berbuat hal seperti ini padaku."

"Aku melakukannya hanya demi dia," balas si pria lebih kejam.

Menggunakannya hingga sejauh ini hanya demi wanita itu?

Ia menutupi mulutnya sembari menggeleng dengan keras kepala. Orang yang ia kasihi selama ini ternyata menipunya? Lalu masa-masa yang mereka berdua lewati itu apa?

Pria itu memutar badan dan kembali berjalan seraya berkata, "Kau memang yang melahirkan anak ini, tetapi kau tidak akan pernah menjadi ibunya. Aku juga tidak akan menjadi suamimu."

Bukan ibu dari putranya sendiri … bukan suaminya … ini tidak adil. Kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga dirinya harus mengalami semua ini? Tidak, seharusnya tidak seperti ini!

"Aku ibunya!"

Ia berusaha bangkit dari atas ranjang. Namun, usahanya gagal karena rasa sakit di area bagian bawah tubuhnya tiba-tiba menyerang. Belum lagi efek dari obat bius itu masih ada. Otaknya berputar cepat. Ia menggertakkan gigi. "Berhenti!" pekiknya sambil memohon, "biarkan aku pergi bersamanya, ya? Aku berjanji padamu. Aku tidak akan pernah mengganggumu lagi. Aku bersumpah!"

Pria itu kembali berhenti berjalan ketika ia mencapai ambang pintu. Ia menoleh tanpa emosi. "Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam kesedihan di sisa hidupmu. Aku akan mengangkat bebanmu."

Entah kenapa tubuhnya tiba-tiba mengejang setelah mendengar hal itu. Seketika kegusarannya tergantikan oleh sebuah kegelisahan yang menjadi-jadi. "Apa, apa maksudmu?" tanyanya bingung.

Tidak ada jawaban. Pria itu sudah menghilang di balik pintu yang tertutup. Meninggalkan ruangan tersebut bersama dengan putranya yang baru datang ke dunia.

"Kau …."

Ia meremas pakaian bagian dadanya. Rasa perih di dalam hatinya kian berdenyut-denyut. Sesuatu yang selama ini ia tanggung akhirnya terlepas. Tangis pilu pun pecah memenuhi seisi bilik.

Inikah balasan dari semua kemurahan hatinya?

Sekonyong-konyong beragam emosi bercampur menjadi satu. Berputar-putar dan menggerogoti kelemahannya. Menjadikan segala sesuatu yang ada di dalam dirinya mendidih.

Ia bangkit dari atas tempat tidur. Mengabaikan semua rasa tidak nyaman dan berlari hendak menyusul. Tangannya meraih knop pintu. Akan tetapi, baru kakinya melangkah ke luar, ia malah tersandung dan terjatuh. Ketika ia mengangkat wajahnya, sosok pria itu telah kian menjauh dari pandangan. Tidak, tidak bisa. Kedua tangannya terkepal erat.

Anak itu adalah miliknya!

Ia tidak boleh membiarkan pria itu pergi bersama dengan darah dagingnya. Bagaimanapun juga … "Dia anakku! Dia keluar dari rahimku!" jeritnya tak tertahankan. "Kembalikan!" Ia berdiri dan terseok-seok. "Kau pembohong! Aku menyesal sudah mencintaimu!"

Teriakan itu bergema memenuhi koridor panjang di rumah sakit yang sepi. Namun, pria itu mengabaikannya. Menulikan kedua telinganya. Menatap lurus ke depan tanpa keinginan untuk menoleh ke belakang sekalipun.

Melihat bahwa pria itu mengabaikannya, bibirnya tersenyum putus asa. Sepertinya pria itu sudah membuang perasaannya. Kekuatannya tiba-tiba menghilang. Tubuhnya merosot. Segala pengorbanannya sia-sia. Semuanya hanyalah sampah.

Dari arah yang berlawanan, sekelompok orang mendatanginya tanpa tedeng aling-aling. Memaksanya berdiri dan menyeretnya dari lingkungan tersebut. Ia linglung sepanjang proses. Ia hanya tahu bahwa orang-orang itu membawanya pergi berkendara ke suatu wilayah yang asing. Begitu ia melihat banyak pepohonan tinggi menjulang di sekeliling, sebuah pikiran buruk sontak menghantam.

Mereka akan melenyapkannya? Mustahil. Kekasihnya, tidak, tidak mungkin ….

Belum sempat ia memberikan perlawanan, mobil itu mendadak berhenti. Seseorang membekapnya dan mengikat kedua tangannya. Menariknya ke luar dengan kasar. Menganggapnya seperti benda tak bernyawa. Langkah kakinya mengikuti ritme gerak mereka yang cepat. Rasa sakit itu mulai timbul kembali. Bahkan ia merasa ada sesuatu yang mengalir dari suatu tempat di area tertentu tubuhnya.

Pendarahan.

Semakin lama mereka berjalan, semakin dalam dan gelap kawasan yang tengah mereka tuju. Ia tidak tahu ke mana orang-orang itu akan membawanya pergi. Pikirannya tidak keruan. Dan ia tidak menyadari entah sejak kapan mereka mendorongnya hingga jatuh terjerembap dengan mulut dan tangan yang sudah terbebas dari belenggu. Ketika ia menoleh, orang-orang itu sudah menghilang dari hadapannya. Hanya menyisakan dirinya seorang di tengah-tengah hutan asing tersebut.

Udara malam nan dingin menusuk kulitnya yang berbusana tipis. Ia bangkit dan tanpa sengaja melihat ke arah tempat ia datang sebelumnya. Di atas tanah yang tertutup oleh dedaunan kering itu terdapat bercak darah. Itu pasti miliknya, pikirnya jelas. Matanya terpejam perih dengan cairan bening yang meleleh. Ia baru melahirkan seorang anak demi kekasihnya dan orang yang sama pula telah membuangnya ke tengah hutan seperti barang usang.

Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkanmu berada dalam kesedihan di sisa hidupmu. Aku akan mengangkat bebanmu.

Jadi, itu maksudnya. Sekarang ia mengerti. Pria itu ingin dirinya mati tanpa meninggalkan jejak apa pun. Ia terisak dengan suara tertahan. Sekarang ia menyadari kebodohannya. Orang-orang itu sudah menginjak-injak kebaikannya.

Sakit.

Perih.

Ia merasa ada sesuatu yang melubangi dadanya. Nyeri itu merobek-robek sanubarinya dengan rasa yang tak terlukiskan. Terpotong-potong. Menyebar ke sekujur tubuh.

Ketulusannya hanyalah sampah.

Dalam keheningan itu, samar-samar telinganya menangkap suara-suara lolongan dari para anjing liar. Langkah-langkah cakar itu kian mendekat. Tiba-tiba tubuhnya bergidik. Hatinya menggigil ketakutan. Mungkinkah … ketika ia membuka kedua matanya lebar-lebar, sepasang bola kuning keemasan yang tajam dan ganas tertangkap oleh penglihatannya. Sepertinya darah itu sudah mengundangnya. Tidak, mereka.

Anjing-anjing liar itu berdatangan satu per satu. Mereka memperlihatkan gigi-gigi runcingnya dengan air liur yang menetes-netes. Mereka bergerak mendekat dan pelan-pelan mengelilinginya dengan pandangan yang tidak sabar seolah-olah berkata, Kira-kira bagian tubuh mana yang enak dari mangsanya ini?

Ia memejamkan kedua matanya erat-erat ketika moncong salah satu dari anjing-anjing itu mengendus lehernya yang terekspos. Ia menjerit. Berteriak demi meminta bantuan. Akan tetapi … tubuhnya perlahan-lahan melunak. Mungkin inilah akhir dari perjalanan hidupnya yang terjal dan berliku. Dahinya berkerut saat sesuatu menusuk kulitnya. Ia menggertakkan gigi. Erangannya tertahan ketika gigi-gigi tajam itu menancap ke dalam dagingnya. Mengoyaknya ….

Jika ada kesempatan kedua, ia tidak boleh jatuh cinta lagi padanya.

Jika ada kesempatan kedua, ia harus membalaskan semua penderitaan ini.

Jika ada kesempatan kedua, hidupnya adalah miliknya!

Deska Jahan, aku akan membunuhmu, juga kekasihmu!

Aku, Yepa J. Hazel akan menghancurkan semua yang kau sayangi!

Sepasang mata biru benhur itu terbuka lebar penuh dengan dendam. Berbagai gejolak tersirat di dalamnya. Ketika mereka mengerjap, pandangannya menjadi linglung seketika. Eh? Langit-langit ruangan ini … bukankah tempat ini adalah kamar kekasihnya? Tanpa sadar ia meraih lehernya dalam kebingungan.

"Kenapa aku ada di sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status