BAB : 69
Bertemunya Dua Keluarga.
***
"Kinara sekarang kegiatannya apa?" tanya Zeanna pada gadis bergaun salem tersebut.
Namanya cantik, tentulah secantik orangnya. Rambutnya yang sedikit curly dengan tergerai indah, membuat penampilannya terlihat sempurna.
"Kerja, Tante. Bantuin Ayah di kantor," jawabnya Kinara singkat.
"Setelah lulus kuliah, Kinara memang membantu Ayahnya, Jeng. Tapi ya gitu, saya sendiri sebagai Ibu was-was juga dengan Kinara yang masih sendiri. Padahal umurnya sudah hampir kepala tiga. Pusing saya, Jeng!" Mama Kinara mengeluh.
Kinara menyenggol lengan Mamanya. "Mama, ih!" tegurnya kesal. "Malu tau!" gumamnya lirih.
Kinara pun juga dapat paksaan dari orang tuanya untuk mengikuti ajakan mereka. Hanya kenalan saja, selanjutnya terserah kamu. Begitulah ucapan kedua orang tuanya sebelum berangkat tadi. Namun ia tak menemukan sosok yang akan diperkenalkan dengannya.
Mengetahui Kinara mulai gelisah, Zeanna melirik arloji yang berada di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam dua siang, namun sang anak masih belum hadir di sampingnya. Tentu saja membuat Zeanna was-was. Ia melirik sang suami yang justru asyik mengobrol dengan Papa Kinara.
"Huh," Zeanna membuang nafas kasarnya.
"Assalamualaikum, Maaf telat. Tadi sedikit macet."
Terdengar suara bariton dari arah samping membuat Zeanna dan sang Papa seketika mendongak, tak lama senyum mereka mengembang karena senang. Tak cuma mereka, Kinara beserta orang tuanya pun pandangannya kini fokus pada seseorang yang baru datang tersebut, Daffa Biantara.
"Waalaikumsalam," mereka semua serempak menjawab salam dari Daffa.
Setelah bertutur sapa sejenak, Daffa lantas duduk di samping sang Papa. Ada rasa malas menyelimuti dengan keadaannya saat ini, dimana ia menghadapi seorang perempuan yang bahkan meliriknya pun enggan. Namun sudah kepalang tanggung, Daffa pun tak bisa lari dari keadaan. Ia hanya menuruti permintaan sang Mama yang ingin makan di luar dengan alasan kangen.
"Daffa, perkenalkan ini Om Satya dan Tante Dania. Kalau yang ini namanya Kinara, semoga nanti bisa berteman dengan baik, ya." Zeanna memperkenalkan tamunya pada Daffa.
Daffa tersenyum pada rekan orang tuanya secara bergantian. Begitu juga dengan Kinara, namun hanya sekilas saja--ia lantas membuang muka. Kinara yang sudah memasang senyum termanis merasa tersinggung pada Daffa. Bagaimana tidak, berharap Daffa menatapnya lama dan penuh dengan rasa kagum atas kecantikannya, namun justru malah merasa diabaikan.
'Apa aku kurang cantik?' tanyanya di dalam hati. 'Dia sepertinya tidak tertarik padaku.' Batin Kinara yang kini sedikit bergejolak.
"Daffa ini keren lo, Mah." Pak Satya melirik istrinya sejenak. "Papanya pengusaha tapi dia justru mengambil profesi lain. Pengacara hebat yang sering mengalahkan berbagai macam kasus. Benar seperti itu kan, Pak Aksa?" tanya Pak Satya pada sang pemilik nama lengkap Aksa Biantara, tak lain adalah Papanya Daffa.
Pak Aksa tersenyum. "Sebenarnya saya pun keberatan Daffa mengambil jurusan hukum waktu masih kuliah, Pak, karena saya ingin dia nanti meneruskan usaha saya. Namun anak ini tetap kekeh jika sudah menginginkan sesuatu. Ya udah, akhirnya saya mengalah." Papar Papanya Daffa.
"Justru yang membanggakan seperti itu, Pak. Bisa mandiri tanpa embel-embel orang tuanya. Wah … Daffa ini hebat ya, Pah," Bu Dania melirik sang suami. "Beruntung sekali nanti yang menjadi pendampingnya. Iya kan, Kinara?" tanya Bu Dania pada anak semata wayangnya.
Uhuuukk!
Kinara yang sedang minum pun seketika tersedak mendengar pertanyaan sang Mama. Ia lantas sibuk mengelap air minum yang berhamburan karena terkejut ketika sang Mama menyebut namanya. Dan sialnya, Kinara tengah menikmati bulu-bulu halus di janggut serta wajah rupawan Daffa yang seketika rusak karena panggilan Mamanya.
"Aduuh, kamu itu kalau minum itu hati-hati lah, Ki. Masa minum begitu saja keselek!" Bu Dania merepet kecil seraya membantu membersihkan bekas anaknya.
"Mama juga nggak bisa pelan manggilnya. Kan Kinara kaget." Kinara yang menahan malu pun hanya menyahut sekilas.
Dan percakapan mereka terhenti ketika pelayan datang dengan membawa makanan pesanan mereka. Banyak makanan berjejer dan tertata rapi di meja. Mereka lantas memulai makan siang di jam yang hampir sore.
"Saya permisi ke belakang dulu, ya, Mah!" ucap Daffa karena ada yang mendesak menuntut untuk segera dikeluarkan.
"Mah, Pah, Kinara mau ke kamar mandi dulu, sebentar."
Kinara lantas pergi ke belakang berharap bisa bertemu dengan laki-laki yang membuat penasaran tersebut.
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin