공유

Bab 0002

Angin menderu lebih kencang dari biasanya, tapi udara dingin yang terpancar dari tubuh Andrew jauh lebih menggentarkan seorang Tom Abellard.

‘Dia sudah mulai tak waras rupanya!’ batin Tom sambil melangkah masuk menemui Dylan yang sudah menunggunya.

“Di mana Celline?” tanya Tim mendadak mencemaskan putrinya.

“Dia di kamarnya, bersama empat kurcaci menyebalkannya itu,” jawab Mathia.

Sementara Dylan, tersenyum penuh kemenangan menikmati semua ini. Dalam benaknya, pernikahan dengan Celline yang sudah di depan mata akan menjadi jalan pintasnya mendapatkan semua aset Abellard yang masih terpendam di dalam tanah.

Andrew yang baru saja keluar dari halaman rumah sang mertua. Ketika sebuah Buggati Noire menepi dan segera membawanya pergi.

Bob yang turun langsung menyimbutkan jubah kebesaran bertahtakan berlian merah di pundaknya Andrew.

"Siapa dia?" gumam Dylan yang sekilas melihat sebuah mobil mewah itu menepi lalu kembali pergi.

Pria itu mengintip dari balik celah jendela dengan rasa heran yang menggunung setelahnya.

"Pasti hanya settingan demi mendapatkan kesan! Sudah kere masih juga banyak gaya!" batin Dylan menghina.

***

“Tuan, kita mau kemana?” tanya Bob tanpa berani menatap Andrew sedikit pun. Terlihat kemarahan pada wajah tampan Andrew saat ini yang membuat Bob harus berhati-hati.

Tidak ada jawaban.

Andrew sangat kalut kali ini. Bahkan konsentrasinya benar-benar terpecah karena sebuah undangan yang masih digenggamnya.

‘Celline, siapa lelaki itu?’ batin Andrew kembali mengingat wajah sang bidadari yang tadi berada sangat dekat di hadapannya tapi entah kenapa mendadak terasa sangat jauh untuk bisa digapainya.

Kehampaan membuat keruh hatinya, Andrew terlihat seperti dewa kematian yang siap membinasakan siapapun yang mencuilnya kali ini. Hal itu bisa dirasakan dengan sangat langsung oleh Bob, yang memilih bungkam sedari tadi.

“Ayo kita pulang,” ucap Andrew kemudian.

Bob tak membantah sedikit pun, dia segera mengarahkan mobil yang dikemudikannya ini ke arah Hotel.

Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya Andrew hingga mereka sampai di dalam ruangan pribadi Andrew yang merupakan sebuah griya tawang megah di lantai paling atas gedung hotel bintang tujuh ini.

“Aku akan menemui Maghda malam ini,” ucap Andrew sambil melepaskan jubahnya.

Dengan sigap Bob meraih jubah tersebut lalu menggantungnya pada tempat yang telah di desain khusus yang berada di sudut ruangan ini.

“Anda baru mengambil peluru ke-5 dua hari yang lalu, apakah Anda yakin akan melakukannya lagi?” tanya Bob dengan raut wajah yang menyiratkan kecemasan.

“Iya, aku ingin segera membebaskan semua peluru ini dari tubuhku,” jawab Andrew sambil melangkah ke balkon dan menikmati sisa derasnya hujan yang kembali mengguyur kota Muloz ini dengan ditemani secangkir kopi hitam di mejanya.

Bob tak menjawab lagi, asistennya itu segera menghubungi wanita bernama Maghda untuk menyiapkan proses pencabutan peluru di dalam tubuh Andrew malam nanti.

Bagaimana tidak, dua puluh sembilan butir peluru hingga detik ini masih bersarang di tubuhnya Andrew. Jika seorang manusia biasa, saat ini dia pasti sudah menjerit meminta kematian menjemputnya. Tapi Andrew, dia sedikit pun tidak terlihat kesakitan.

Malam pun beranjak naik.

Andrew turun dari dalam mobilnya, dia masuk ke dalam sebuah gedung tua bekas pabrik dengan berjalan kaki.

“Tuan,” sambut seorang dokter wanita yang sudah berusia senja itu kepadanya.

“Halo Maghda, senang masih bisa menemuimu,” ucap Andrew seraya melangkah masuk ke dalam ruangan khusus yang sudah sangat dikenalnya ini.

Berada di area industri ibukota Muloz, keberadaan tempat praktek Maghda tidak banyak diketahui khalayak mengingat dia bukanlah dokter bedah biasa.

“Anda yakin akan melakukannya sekarang, Tuan?” tanya Maghda sambil mengenakan sarung tangannya.

Sementara Andrew, dia sudah duduk tegap di sebuah kursi yang menghadap ke arah jendela dimana pemandangan Kota Muloz terlihat sangat jelas dari tempat yang berada di lantai empat bangunan pabrik suku cadang mobil ini.

“Bob, temukan data semua penghuni rumah itu,” ucapnya.

“Baik Tuan,” jawab Bob sambil beranjak pergi setelahnya.

Dia menghubungi seseorang menggunakan teleponnya.

Andrew kemudian melepaskan kaos oblongnya.

Maghda tak berani lagi bicara, melihat Andrew sudah duduk saja, itu adalah sebuah perintah untuknya. Dia mulai membuat sobekan dengan menggunakan pisau bedahnya, mengiris lapisan epidermis di punggung kiri Andrew. Sesuai dengan tingkat kesulitannya, Andrew ternyata sangat mengingat jelas urutan peluru mana saja yang harus dikeluarkan terlebih dahulu.

Tanpa obat bius, Maghda mulai menyeset kulit Andrew.

Mulut Sang Dewa Perang, disumpal menggunakan handuk yang telah disterilkan sebelumnya.

Bukan tidak mau, Andrew menjalani operasi pengangkatan peluru di Rumah Sakit legal yang jelas akan sesuai dengan prosedur dan juga memenuhi standar lainnya.

Andrew lebih memilih Maghda menjadi dokternya, demi menjaga kerahasiaan dirinya.

Heningnya malam, yang masih diguyur hujan membenamkan Andrew dalam rasa sakit tak terkira saat setiap serat di punggungnya mulai tersentuh ujung pisau bedah Maghda.

Hanya butuh dua jam, dua butir peluru telah berhasil dikeluarkan Maghda.

Keringat dingin kini memenuhi sekujur tubuh Andrew, lelaki itu tak menjerit kesakitan sedikitpun meski semua mengetahui jika rasa sakitnya sangat luar biasa.

“Ayo Bob, kita akan menemui seseorang di klub Mountana, aku yakin dia ada di sana,” ucap Andrew sambil mengenakan kembali kaosnya setelah Maghda selesai membalutkan perban pada dua luka di punggungnya.

“Tuan, apa tidak sebaiknya Anda beristirahat?” Bob mencoba mengingatkan.

“Aku bisa melakukannya nanti, tidak sekarang,” ucap Andrew sambil mengelap wajahnya yang dipenuhi peluh menggunakan handuk lain yang diberikan Maghda kepadanya.

“Peluru berikutnya, sebaiknya setelah semua luka Anda mengering, Tuan,” ucap Maghda sambil menunduk di depan Andrew.

“Baiklah Maghda, terima kasih atas kerja kerasmu dan beristirahatlah. Jangan lupa, jus seledrinya harus tetap kau minum ya,” ucap Andrew seraya menepuk pundak dokter tersebut lalu melangang pergi setelahnya.

“Tentu Tuan,” jawab Maghda dengan sangat bangga.

Kini Bob kembali melajukan mobilnya di jalanan kota Muloz yang tetap ramai meski sudah sangat larut malam.

“Kau sudah mendapatkan data yang aku minta?” tanya Andrew kepada sang asisten.

“Kita akan segera mendapatkanya Tuan,” ucap Bob sambil terus mengemudi.

Tak berselang lama, Bob menepikan mobilnya. Lalu seorang pengendara motor berhenti di belakang mobil mereka.

Dari motor itu, turun seorang pria dengan codet di kiri wajahnya.

“Bullock?” ucap Andrew sambil terus mengawasi.

Bob kemudian mengambil sebuah dokumen dari Bullock dan menyerahkannya kepada Andrew.

Dia segera membuka dan membacanya.

Foto tiga anak perempuan yang memiliki wajahnya, dengan seorang anak lelaki yang sangat mirip dengan Celline memiliki usia yang sepertinya sebaya itu membuat tangan Andrew gemetaran.

Jantungnya mendadak berdegup dengan sangat kencang, nafasnya tersengal menyadari kenyataan jika Celline benar-benar telah memiliki anak.

“Apakah Celine mengkhianatiku?”

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status