Beranda / Romansa / Sang Kekasih Berambut Merah / Bab 7: Pertanyaan Maria yang Tak Terjawab

Share

Bab 7: Pertanyaan Maria yang Tak Terjawab

Penulis: Elle Gobe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-31 15:08:34

"Nona?" Bisik Sophie di telepon.

Dada Maria sesak dengan gejolak emosi. Dia melihat langit sambil menahan air matanya. "Hai Sophie," suaranya sedikit bergetar.

"Apakah Anda baik-baik saja, Nona?"

Maria menyeka sudut matanya dan terpaksa tersenyum, "Ya!" Bibirnya tak lagi kelu. "Aku baik-baik saja."

"Apakah Anda makan teratur?"

Maria tertawa, mengingat omelan Sarkon kemarin.

"Nona?"

"Ya, tentu saja makanku teratur," dia menghela napas.

Mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang dalam.

Maria ingin bertanya bagaimana perasaan semua orang di rumah, tetapi dia tahu dia tidak akan berhenti menangis sesudahnya. Dia menepis ide itu dengan segera berkata, "Hati-hati, Sophie."

"Anda juga, Nona."

Maria menunggu si pelayan mengakhiri panggilan sebelum dia meletakkan kembali teleponnya.

Dia merasa agak lega berkat menerima telepon dari Sophie. Beberapa detik mendengar suara yang akrab dan hangat sudah cukup untuk menghiburnya hari itu.

Julie Gold mengerutkan kening pada gadis berpakaian udik yang duduk di bangku tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Gadis itu telah merusak pemandangan sejak mereka bertemu.

Dia telah lama mendambakan kehidupan kampus dan sangat gembira ketika berjalan-jalan di halaman kampus, memimpikan sejuta hal baik yang akan terjadi padanya. Kemudian, dia tiba di asrama dan diberi tahu bahwa permintaannya ditolak. Dia akan memiliki teman sekamar seperti setiap siswa lain di sana.

Julie mengamuk. Dia mengancam akan menelepon pihak berwenang, tetapi penjaga asrama itu hanya menatapnya dingin dan menyuruhnya keluar dari kantor.

Marah, Julie berencana mengancam teman sekamarnya itu. Dia melihat nama gadis itu dan belum pernah mendengarnya. Maria Davis. Siapa dia?

Julie tahu semua orang. Benar-benar setiap orang. Jadi, dia menyimpulkan saat itu juga bahwa si "Maria" ini bukan se-level dengannya. Dia bukan siapa-siapa.

Mengapa "si bukan siapa-siapa" mendaftar di sekolah ini?

Julie panik. Dia berharap Maria bukan putri kerajaan yang memakai identitas palsu untuk belajar di sini. Oh, jangan sampai!. Julie bertekad untuk menyandang gelar gadis paling populer — ratu — di kampus.

Selang beberapa saat, seorang gadis berperawakan kurus pucat memakai blus katun biru pudar berdiri di depannya. Julie terperanjat sekaligus jijik. Jaman sekarang masih ada gadis yang memakai katun? Dia tidak percaya bahwa sekolah ini telah memilihkan seorang gadis desa untuk menjadi teman sekamarnya. Apa yang mereka pikirkan...

Gadis desa dengan jeans ketat biru pudar itu membuat Julie terkaget-kaget. Ada apa dengan gadis dan pakaian biru pudar ini? Kenapa dia datang ke sekolah paling bergengsi di Lenmont dengan pakaian kampungan seperti itu? Apakah dia gila?!

"Kamu baik-baik saja, kan?"

Julie menepis tangan itu dari dahinya dan berkedip. Gadis desa itu berdiri tepat di depannya, tampak khawatir... dan benar-benar menjijikkan.

"Aku akan baik-baik saja jika kamu meninggalkan tempat ini. Kamu tidak pantas berada di sini. Lihat dirimu! Pakaianmu benar-benar udik... sekali!"

Dahi Maria berkerut. "Kamu memegangi kepalamu, jadi kupikir kamu sedang sakit."

"Aku memegangi dahiku karena kaget melihat pakaianmu yang norak, sangat mengganggu pemandangan! Pergi sana! Jangan bicara padaku lagi! Dan jangan beri tahu siapa pun bahwa kita adalah teman sekamar, paham! Ini peringatan!"

Gadis berperangai kasar itu berbalik badan lalu berjalan ke arena olahraga.

Sadar akan perlakuan yang dia dapatkan, Maria menundukkan wajahnya dan berjalan membungkuk.

*****

"Ada hal lain yang dia katakan?"

Sarkon menatap layar laptopnya saat Sophie menggelengkan kepalanya ketakutan.

"Jangan telepon dia lagi," suaranya berat dan pelan.

"Ba-baik, Tuan Sarkon," wanita paruh baya itu mengangguk panik. "Maafkan saya."

"Tak perlu meminta maaf," dia menjawab singkat. "Kamu tidak pernah membuat kesalahan seperti itu. Kenapa sekarang?"

Sophie tetap diam. Dia sangat berhati-hati menjaga perkataannya. Dia telah merawat gadis itu selama hampir satu dekade, jadi wajar saja dia khawatir seperti induk ayam yang jauh dari anaknya. Ini adalah pertama kalinya Maria jauh dari rumah.

"Saya tidak akan mengulanginya lagi," gumam pelayan itu meminta maaf. Dia tahu bahwa Sarkon bermaksud baik.

Mereka sadar bahwa Maria akan merasa lebih sedih jika dia mendengar kabar dari rumah begitu cepat. Gadis itu bak tak terpisahkan dengan vila dan stafnya.

"Aku percaya itu tidak akan terjadi." Sarkon menyuruh pelayan itu keluar dari ruangannya.

Sophie pergi. Setelah pintu ditutup, Sarkon akhirnya mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke pintu. Ia kemudian bersandar pada kursinya.

Pintu diketuk dan seorang pria besar pucat yang tampak seperti pria pengendara motor yang tangguh memasuki ruang kerja. Wajahnya selalu menunjukkan ekspresi mengancam. Tubuhnya seperti serigala yang mengintimidasi, langkahnya tajam seperti rubah, pria muda itu berperawakan agak ramping dan memakai setelan kemeja kerja yang mengilap.

"Sarkon," pria muda itu mendekat sambil membetulkan kacamata berbingkai emasnya. "Kita harus berangkat. Sekarang."

"Apakah kamu sudah menemukannya?" Sarkon menyilangkan tangan di perutnya yang keras. Dia melirik pria necis itu dan pria dengan bekas luka di tulang alisnya.

Pria elit, sekretaris Sarkon, mengangguk. "Belum ada yang tahu tentang itu, tetapi pemiliknya berencana untuk segera memberi tahu Archie. Begitu dealer tahu, beritanya akan tersebar, dan harga akan mulai melonjak."

Sarkon berdiri dan meraba sakunya untuk mencari logam bundar itu. "Ayo. Kita akan naik PAA. " Dia melirik sekretarisnya dan berjalan menuju pintu.

Pria paruh baya berjalan di sisi kirinya, sementara sekretarisnya mengikuti dengan cepat di sebelah kanannya.

"Ada kabar terbaru?" Sarkon melihat ke depan. Pertanyaannya ditujukan untuk pengawalnya. Sekretarisnya berbisik dengan teleponnya.

Karel menjawab, "Tidak."

Sarkon mengembuskan napas dengan hati-hati dan mengangguk pada Albert saat mereka berjalan melewatinya.

Albert membungkuk. "Semoga selamat sampai tujuan, Tuan."

"Sanders, apakah di sini?"

Sekretaris itu menjauhkan teleponnya dari telinganya dan menjawab, "Ya. Itu ada di helipad. Anda yakin tidak ingin naik jet?"

Karl membuka pintu limusin hitam, dan Sarkon masuk.

Begitu Sanders masuk dari sisi lainnya, Sarkon mengambil file darinya dan mulai membaca.

Para elit itu melirik ke luar jendela dan menghela napas, "PAA itu untuk keadaan darurat, Sarkon."

"Ini darurat, bukan?"

Pesawat sialan itu sama sekali tidak nyaman, gerutu Sanders dalam hati. Dengan mengangkat kacamatanya, dia menjawab, "Baik, bos."

*****

Pesawat menderu tinggi di atas laut.

Sanders menoleh ke arah Sarkon kemudian mengacungkan jempol ke pilot. Dengan wajah datar, dia menatap ke depan, membiarkan pikirannya menguasai otaknya.

Di sebelahnya, Sarkon menatap ke bawah ke perairan laut yang gemerlap sampai berubah menjadi gelombang buih keemasan. Tangannya merogoh sakunya, menekan arloji saku yang ada di dalamnya.

Suara mesin pesawat itu seakan memutar memori masa lampau di kepalanya seperti putaran tanpa akhir ...

Sepasang mata yang teduh tersenyum padanya. "Bukankah dia menggemaskan?"

Sarkon menatap foto seorang gadis kecil dengan dua kuncir kuda meringis lebar padanya. Dua gigi depannya ompong. Remaja enam belas tahun itu terkekeh. "Dia manis. Berapa usianya?"

Pensiunan komando pasukan khusus itu tersenyum kecil dan menundukkan pandangannya dengan rasa bersalah. "Tahun ini dia akan berulang tahun ke-8. Ini fotonya saat dia berumur tiga tahun."

Sarkon tidak tahu harus berkata apa, jadi pengawal pribadi ayahnya melanjutkan dengan nada antusias, "Dia sangat berbakat. Suka menggambar. Ini." Sebuah potret keluarga diperlihatkan kepada remaja itu. Pria tua itu menambahkan, "Aku tidak tahu banyak tentang seni, tetapi aku yakin bahwa seorang anak berusia delapan tahun mustahil melakukan ini."

Sarkon mendengar ada perasaan bangga dalam suara pria itu dan mempelajari gambar itu dengan mata seorang dealer karya seni. "Tapi warnanya aneh."

Mata pensiunan yang teduh itu berubah datar. "Kenapa kamu..."

Sebelum Sarkon bereaksi, lengan besar melingkari lehernya. Dia membungkuk seperti bunga layu. "Ayo, kamu bocah kecil." Sebuah tinju melayang ke atas kepalanya.

"Heh!" Sarkon berteriak protes dan kemudian terkikik. "Hentikan, Alfred!"

Ayah Maria ikut tertawa...

"Sarkon."

Guncangan di bahunya menyadarkannya kembali. Bunyi khas mesin memenuhi telinganya lagi. Mata biru Sarkon mengamati dataran di bawah seperti elang dan kemudian mengembara lebih jauh. Pikirannya menghitung jumlah ruang dan merekam pengamatan apa pun di sekitarnya.

Dia menoleh ke sekretarisnya dan berteriak di tengah kebisingan, "Kita akan mengambil ini!"

Sanders mengangguk dan mengetik di tabletnya.

Pengusaha bengis dan investor yang tegas itu kembali memandangi tebing di dataran itu dan membiarkan pikirannya melayang kembali ke ingatannya dengan ayah Maria.

Dia lebih seperti figur ayah bagi Sarkon daripada ayah kandungnya. Dalam banyak kesempatan, Sarkon telah melihat sendiri betapa berdedikasinya pria itu pada pekerjaannya dalam melindungi dia dan ayahnya yang mata keranjang dan suka membuat masalah.

DUAR!!!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 173: Alfred dan Rose

    Perasaan ngeri terlintas di benak Sarkon saat melihat mobil yang ditunggangi Claude dan Maria berputar kencang di tengah jalan.Ban mobil Sarkon berdecit saat dia menginjak rem mendadak. Sarkon melesat keluar dan menyaksikan detik-detik mendebarkan ketika mobil hitam yang dikejarnya itu tergelincir.Tepat sebelum menabrak trotoar, mobil hitam itu berhenti.Seolah-olah Tuhan melindungi mobil itu dan menghentikannya.Tanpa membuang waktu, Sarkon berlari ke mobil tersebut dan menghampiri kursi penumpang. Maria tampak tidak sadarkan diri.Dia menggedor jendela mobil tanpa henti. "Maria! Maria!!" Sarkon meraih pegangan pintu dan menariknya beberapa kali dengan kencang, tetapi pintu itu tidak bisa dibuka. Sarkon kembali menggedor kaca mobil. "Maria! Bangun!"Akhirnya Maria siuman."Maria!" teriak Sarkon sambil menggedor jendela beberapa kali lagi untuk mendapatkan perhatian Maria.Mata zamrud wanita itu perlahan terbuka dan seketika terbelalak karena k

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 172: Pemburuan Terakhir

    Maria merasa seperti ada yang menusuk dadanya.Sarkon baru saja memberitahu Maria bahwa dia juga menjalin hubungan dengan saudara perempuan Claude dan ibu tiri Paris demi keuntungan bisnis. Tetapi Sarkon tidak pernah tidur dengan mereka.Maria tidak mau mendengar sepatah kata pun dari Sarkon. Dia tidak mampu berpikir jernih, dia hanya ingin pergi. Dia tidak dapat mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa semua ini terjadi?Bagaimana bisa Sarkon bertindak begitu egois?Maria menatap pria yang berdiri di depannya itu. Alis tebal Sarkon berkerut, mata birunya terlihat marah dan putus asa. Bibirnya bergerak tetapi Maria tidak mampu mendengar apa yang dia katakan.Sarkon terdengar bergumam seperti sedang berbicara di dalam air."Maria?"Mata zamrud Maria memandang mata biru pria yang terlihat khawatir itu.Maria mencoba memikirkan alasan yang masuk akal mengapa Sarkon memilih untuk bertindak seperti itu. Sayangnya, dia tidak bisa menemukan alasan yang

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 171: Es Hancur dari Binatang

    Maria tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan yang menggemaskan itu. "Ya, boleh.""Pesanan segera datang." Laki-laki bertubuh besar itu menyeret dirinya turun dari tempat tidur.*****Maria mengiris sekotak wafel hangat yang renyah dan lembut, mencelupkannya ke dalam saus stroberi, dan memasukkannya ke dalam mulut.Rasa asin dari mentega dan rasa manis stroberi yang tajam adalah kombinasi yang menakjubkan."Mmmm... Enak."Sarkon memperhatikan dengan tenang sambil bertopang dagu santai dan bibirnya tersenyum kecil.Maria balas menatapnya sambil berseri-seri saat dia mengunyah. Dia mengerutkan kening dan menelan. "Kenapa kau tidak makan?""Aku suka melihatmu makan."Maria berhenti mengunyah. "Jadi maksudmu aku rakus?"Sarkon langsung tertawa. "Aku tidak pernah berkata begitu." Maria sama seperti wanita lainnya. Sangat sensitif citranya. 'Baiklah, baiklah. Aku akan makan sekarang."Sambil cemberut dengan muka masam, Maria kembali k

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 170: Sarkon Adalah Putra Raja Mafia

    "Pantas saja staf harus mengikuti kode etik," pikir Maria sambil terus terpana menatap pria menarik yang berdiri di depannya."Aku tidak pernah memberitahumu karena...." Sarkon berhenti dan menundukkan pandangannya. "Ini adalah masa lalu yang ingin aku hapus."Maria menelan ludah dengan susah payah."Kau benar." Mata biru itu kembali mendongak menatap mata Maria. "Aku malu karenanya. Aku... membencinya. Jadi aku mengubah semuanya.""Kau melegalkan seluruh bisnis keluargamu." Maria meremas tangan yang memegang tangannya.Maria melihat ekspresi terkejut Sarkon dan menjelaskan sambil tersenyum. "Aku tidak sengaja mendengarnya ketika Paman Karl dan Albert berdebat di taman."Sarkon membuang muka dengan tatapan tajam. "Dasar mereka berdua...." dia mengerang dalam hati. "Mereka sudah pantas jadi kakek-kakek, tapi masih saja bertengkar seperti anak TK."Sarkon terkejut lagi ketika Maria tiba-tiba melingkarkan lengan di pinggangnya dan memeluknya erat.S

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 169: Maria Ingin Tahu Semua Bekas Luka Sarkon

    Waktu seolah berhenti.Dunia tiba-tiba menjadi sunyi.Walau hanya sebuah gerakan yang sederhana, tapi itu telah memenangkan hatinya Sarkon. Walau sebenarnya, dari awalpun hatinya memang sudah menjadi milik Maria.Sarkon dengan cepat mengembalikan fokusnya ke jalan. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi atau harus berkata apa. Ingatan ketika Maria mencium tangannya Sarkon yang penuh bekas luka dengan penuh kasih seolah Sarkon adalah hal terbaik yang terjadi padanya sudah melekat pada benaknya."Terima kasih," bisik Maria penuh kasih sayang.Si Pria Beringas itu menelan ludah. "Apa yang kamu katakan?" Dia berusaha terlihat tidak terpengaruh, tetapi suaranya serak karena emosi.Maria terkekeh. Suara itu bagai cahaya yang bersinar dengan murah hati ke kedalaman gelap hatinya Sarkon."Apakah kamu tahu bahwa kamu terlihat menggemaskan sekarang?" Suara manisnya menggoda.Sarkon berdeham dan bergumam, "Ti

  • Sang Kekasih Berambut Merah   Bab 168: Bekas Luka Sarkon yang Dalam

    Sarkon kembali ada di kamar tidurnya, dan hari sudah hampir siang. Dia menatap langit-langit kamar yang putih dan berkedip beberapa kali untuk menghilangkan kabut di pandangannya. Dia mulai merasakan napasnya lagi.Itu adalah mimpi buruk. Lagi.Mengambil tegukan besar dengan pelan, dia memaksa detak jantungnya yang liar untuk sedikit melambat. Dia menoleh ke kiri dan menangkap pemandangan mempesona dari wajah damai tunangannya yang tertidur.Sambil tersenyum hangat, Sarkon mengulurkan sebuah jari untuk menyelipkan ikal-ikal berwarna api yang longgar ke belakang telinga tunangannya yang lembut. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan menempelkan bibirnya ke dahinya.'Aku mencintaimu.'Tiga kata itu adalah kutukan. Alisnya yang tebal berkerut tanda tidak setuju."Mmm..." Maria mengerang dengan manis dan meringkuk lebih dekat padanya. Matanya masih terpejam, dan dia masih tertidur lelap.Sarkon terkekeh ringan dan m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status