Part 3
Elora terjaga lebih awal pagi itu. Langit masih gelap, dan suasana di sekitar klub yang hingar-bingar itu terasa sepi. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Semalam, setelah ia selesai bekerja, perasaan yang datang padanya bukan lagi rasa kosong atau perasaan terperangkap. Ada kekuatan yang tumbuh, meskipun ia tak sepenuhnya tahu darimana datangnya. Ia menatap bayangan dirinya di kaca, wajahnya tampak letih dan hampa, namun ada sorot baru di matanya. Seperti ada secercah harapan yang perlahan muncul.
Namun, realitasnya segera datang menghampiri. Pagi yang sepi itu tak lebih dari waktu yang singkat. Elora tahu bahwa malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia harus kembali ke tempat itu, ke dunia yang tak memberinya banyak pilihan. Ke dunia yang menjadikannya sekadar komoditas. Sebelum kembali ke sana, ia memutuskan untuk menyendiri sejenak, duduk di balkon kecil yang menghadap ke jalanan kota. Udara pagi terasa dingin, membawa bau aspal dan debu yang menyengat. Di sana, ia mencoba memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Sebenarnya, apa yang aku cari?" pikirnya. "Apa yang aku inginkan selain keluar dari sini?"
Jawaban itu masih jauh, tersembunyi di dalam dirinya. Namun, Elora tahu bahwa ia sudah tak bisa hidup dengan perasaan seperti ini selamanya. Ia harus melakukan sesuatu, meskipun ia tidak tahu apa itu. Bahkan jika itu berarti ia harus melawan dirinya sendiri dan dunia di sekelilingnya.
Hari itu berjalan dengan lambat. Elora menghabiskan waktunya dengan melayani beberapa klien yang datang, merasa semakin terasing setiap kali tubuhnya disentuh, setiap kali matanya bertemu dengan mata mereka yang hanya melihatnya sebagai objek. Meskipun ia mencoba menutupinya dengan senyum, hatinya semakin terjerat dalam kebingungan. Ada perasaan hampa yang semakin menggerogoti. Ia mulai merasakan bahwa dunia ini hanya mengurasnya, tanpa memberi apa-apa kembali.
Malam itu, setelah melayani seorang klien yang berulang kali menuntut lebih, Elora kembali ke ruang belakang, tempat ia sering kali berada setelah setiap sesi. Di sana, Madam menunggunya seperti biasa. Wajah wanita itu tampak serius, dan Elora tahu bahwa ada sesuatu yang sedang dipersiapkan.
“Kamu sudah mulai berubah, Elora,” kata Madam sambil menatapnya dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. “Kamu tidak lagi sama seperti dulu. Ada sesuatu yang berbeda di mata kamu.”
Elora hanya terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud Madam. Ia tak lagi bisa menyembunyikan perasaan yang berkembang dalam dirinya. Ada kekuatan yang tumbuh, namun di saat yang bersamaan, ada rasa takut akan perubahan itu. Perubahan yang bisa memisahkannya dari dunia ini, namun juga mengancamnya.
“Apa yang akan aku lakukan selanjutnya, Madam?” tanya Elora dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
Madam menghela napas dan melangkah mendekat. “Malam ini, aku akan mengatur sesuatu untukmu. Ada orang yang mungkin bisa membantumu keluar dari sini,” jawabnya dengan nada serius. “Tapi kamu harus siap. Ini bukan jalan yang mudah.”
Elora menatapnya dengan curiga. "Siapa orang itu?"
Madam menggelengkan kepala, seolah enggan memberi jawaban. "Kamu akan bertemu dengan mereka nanti. Tapi ingat, Elora... jalan yang akan kamu tempuh akan penuh dengan risiko. Dunia ini tidak mudah untuk dilupakan. Jika kamu benar-benar ingin keluar, kamu harus siap kehilangan lebih banyak daripada yang kamu bayangkan.”
Kata-kata itu menggema di kepala Elora sepanjang malam. Ia berbaring di kasurnya, memandangi langit-langit yang gelap, memikirkan apa yang baru saja dikatakan Madam. Apakah ini kesempatan untuk keluar? Ataukah ini hanya jebakan lagi? Semua pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. Elora merasa tidak tahu harus percaya pada siapa. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak bisa terus hidup seperti ini selamanya.
Pagi berikutnya, seperti biasa, Elora bersiap untuk kembali bekerja. Namun, ada perasaan aneh dalam dirinya—perasaan yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi. Sebuah keputusan besar yang akan mengubah hidupnya.
Di tengah keramaian klub, di ruang yang penuh dengan asap rokok dan suara musik yang menggema, Elora melihat seorang pria yang berbeda dari yang lainnya. Ia mengenakan jas hitam yang rapi, rambutnya terurai dengan gaya yang terkesan serius. Ia duduk di salah satu sudut bar, memandang sekitar dengan perhatian yang tajam.
Saat pandangan mereka bertemu, Elora merasakan sesuatu yang berbeda. Pria itu menatapnya dengan mata yang penuh teka-teki, seolah-olah ia sudah mengetahui siapa Elora sebenarnya, lebih dari sekadar tubuh yang ada di depannya. Ada ketenangan dalam dirinya yang membuat Elora merasa sedikit terkejut. Ia merasa seperti tidak terjebak dalam dunia ini untuk pertama kalinya.
Elora berjalan menuju pria itu dengan langkah hati-hati. Begitu mendekat, pria itu tersenyum tipis, memberi isyarat agar Elora duduk.
“Apakah kamu Elora?” tanyanya dengan suara lembut.
Elora mengangguk, sedikit bingung. “Ya, saya Elora. Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu mengamati wajahnya lebih lama, seakan sedang membaca pikirannya. “Madam mengatakan padaku bahwa kamu ingin keluar dari sini. Benar begitu?”
Elora terdiam sejenak. Ia merasa terkejut dan bingung. Bagaimana pria ini bisa tahu? Siapa dia? Dan mengapa Madam membicarakan hal ini padanya?
“Siapa kamu?” tanya Elora akhirnya, suaranya sedikit lebih tegas dari yang ia inginkan.
Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangan. “Nama saya Arman. Saya di sini untuk membantu kamu. Tetapi kamu harus membuat keputusan, Elora. Keputusan yang akan menentukan apakah kamu bisa keluar atau tidak.”
Elora menatap tangannya sejenak, ragu-ragu. Ini bisa menjadi kesempatan untuk keluar dari dunia ini, namun juga bisa menjadi langkah yang salah. Tetapi, entah kenapa, hatinya berkata bahwa ini adalah jalan yang harus ia coba.
Malam itu, Elora dan Arman berjalan pulang dengan langkah pelan. Tidak ada kata yang diucapkan di antara mereka. Elora masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Konfrontasi dengan Madam terasa seperti membuka luka lama, tetapi juga seperti langkah pertama menuju kebebasan yang sebenarnya.Sesampainya di apartemen, Elora langsung duduk di sofa, tubuhnya terasa lemas. Arman duduk di sebelahnya, diam-diam memperhatikan wajah Elora yang terlihat lelah.“Kamu baik-baik saja?” tanya Arman akhirnya, suaranya lembut namun penuh perhatian.Elora mengangguk pelan, tetapi matanya tetap kosong. “Aku tidak tahu. Aku lega karena aku akhirnya berbicara langsung dengannya. Tapi aku juga takut, Arman. Kata-katanya… aku tahu dia tidak akan membiarkan ini begitu saja.”Arman meraih tangan Elora, menggenggamnya erat. “Aku ada di sini. Apapun yang dia rencanakan, kita akan hadapi bersama. Kamu tidak perlu merasa sendirian lagi.”Mata Elora mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya. “Terima kasi
Malam itu berlalu dalam ketegangan yang tidak mudah hilang. Setelah pria itu pergi, Arman membawa Elora masuk ke dalam apartemen, menutup pintu dengan tegas dan memeriksa semua pengunci. Ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya berdiri diam, punggungnya menghadap Elora, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.“Elora,” akhirnya ia berkata, suaranya rendah dan tegas, “kita harus mengambil langkah lebih besar. Ini bukan hanya tentang meninggalkan masa lalu; ini tentang memastikan masa depanmu aman.”Elora menatapnya, wajahnya memancarkan kebingungan. “Langkah lebih besar? Apa maksudmu, Arman?”Arman menoleh, mata cokelatnya yang hangat kini dipenuhi kekhawatiran. “Madam bukan orang sembarangan. Dia punya koneksi, orang-orang yang siap melakukan apa saja untuk menuruti perintahnya. Kalau kita terus seperti ini—hanya bertahan dan menunggu mereka pergi—aku takut situasi akan semakin buruk. Kita harus melawan, atau setidaknya memutuskan hubunganmu dengan mereka secara resm
Hari-hari berikutnya penuh dengan gejolak dalam hati Elora. Meskipun ia merasa semakin jauh dari dunia lama yang begitu kelam, bayang-bayangnya terus menghantui setiap langkahnya. Setiap panggilan, setiap pesan yang datang dari masa lalunya, membuatnya terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Tapi Arman, yang selalu hadir di sisi Elora, menjadi satu-satunya alasan ia bisa terus bertahan.Suatu pagi, Elora duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Pekerjaan baru yang ia coba jalani—sebagai kasir di sebuah toko buku kecil—belum cukup menghilangkan rasa kosong yang terkadang menghantui. Keputusannya untuk meninggalkan dunia malam terasa benar, tetapi kenyataan itu sulit diterima sepenuhnya. Ia merasa seperti perempuan yang terlahir kembali, tetapi tidak tahu bagaimana cara hidup dalam dunia yang baru.Arman datang, duduk di sampingnya dengan senyuman lembut, mencoba memberi ketenangan. "Gimana hari pertama di pekerjaan baru? Ada yang sulit?" tanya Arman, mat
Part 19Hari-hari setelah kejadian itu terasa lebih berat bagi Elora. Meski Arman selalu ada untuknya, dunia yang terus berputar di sekitar kehidupannya sebagai pekerja seks komersial tidak bisa begitu saja ia lupakan. Setiap malam, saat ia melangkah ke ruang itu, ia merasa ada beban yang lebih besar yang harus ia pikul—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Arman yang kini semakin terlibat dalam hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan, dan meskipun ia mencoba untuk menolak kenyataan itu, ia tahu ia tidak bisa lari darinya.Suatu malam, setelah bekerja, Elora pulang dengan langkah lesu, merasa kelelahan fisik dan mental. Saat pintu apartemennya terbuka, ia mendapati Arman sudah menunggunya, duduk di sofa dengan ekspresi khawatir. Matanya menatap Elora dengan penuh perhatian, seolah-olah ingin mengetahui apa yang telah terjadi padanya malam ini.Elora melepaskan tasnya dengan terburu-buru, lalu duduk di samping Arman, menggenggam erat tan
Part 18Hari-hari setelah percakapan itu terasa berbeda bagi Elora dan Arman. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti ke mana arah hubungan mereka, ada perasaan yang semakin kuat dan lebih mendalam di antara mereka. Elora merasa seolah-olah untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar melihat dirinya—selain tubuh yang sering digunakan dan dilihat hanya sebagai objek. Arman, di sisi lain, merasa semakin terikat padanya, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan akan masa depan mereka. Mereka berdua tahu bahwa hidup mereka dipenuhi dengan tantangan, tetapi ada sesuatu yang mengikat mereka untuk terus berjalan bersama.Namun, meskipun kedekatan itu semakin nyata, dunia tempat Elora bekerja tidak bisa dihindari begitu saja. Malam-malamnya masih dipenuhi dengan klien yang datang dan pergi, dan meskipun ada Arman di sisinya, Elora tak bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi setiap malam. Ia merasakan perasaan yang campur aduk—antara rasa bersalah, marah pada dirinya sendiri, n
Part 17Beberapa minggu berlalu, dan kehidupan Elora dan Arman mulai terbentuk dalam pola yang tidak lagi sepenuhnya dipenuhi dengan keraguan. Meskipun mereka belum sepenuhnya mengerti bagaimana hubungan ini akan berkembang, keduanya mulai merasa bahwa mereka saling melengkapi dalam cara yang tak terduga. Tidak ada kepastian tentang masa depan mereka, tetapi ada ketenangan dalam kebersamaan yang tumbuh di antara mereka, meskipun di dunia yang penuh dengan bayang-bayang.Elora kini lebih sering menghabiskan waktu di luar tempat kerjanya, mencoba mencari ruang untuk dirinya sendiri. Keberadaan Arman membuatnya merasa seolah ada harapan, sebuah rasa aman yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Namun, ada saat-saat di mana ia merasa takut, terjebak dalam bayangan masa lalunya yang kelam. Semua keputusan yang ia buat, termasuk menerima hubungan ini, selalu datang dengan rasa takut akan kehilangan kendali atas hidupnya.Arman, di sisi lain, semakin tenggelam dalam perasaan yang tak dapat ia
Part 16Hari-hari setelah itu terasa seperti perjalanan yang penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Meskipun Elora dan Arman berusaha untuk melanjutkan hidup mereka, setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang belum mereka pahami tentang satu sama lain, namun di tengah kebingungan itu, ada satu hal yang jelas—hubungan mereka telah berubah. Entah itu menjadi lebih kuat atau lebih rapuh, hanya waktu yang akan menjawabnya.Di siang hari, Elora mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, berusaha menenggelamkan diri dalam rutinitas yang biasa ia jalani. Namun, pikirannya selalu kembali pada Arman. Setiap kali ia melihat pria itu, ia merasa seolah ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa nyaman yang aneh setiap kali mereka berbicara, namun juga ada ketegangan yang terus menguar di udara di antara mereka.Sementara itu, Arman juga berjuang dengan perasaannya sendiri. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia me
Part 15Keesokan harinya, Elora terbangun dengan kepala yang berat dan perasaan campur aduk. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela kecil ruangan tempat ia tidur terasa begitu asing. Matanya terpejam beberapa saat, mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Segera, ingatan itu kembali—momen yang hangat, yang penuh dengan ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan. Dan di balik semuanya, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: apa arti dari malam itu?Ia bangkit dari tempat tidur, perlahan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya lebih lelah daripada itu. Ada pertanyaan yang menghinggapi benaknya—apakah ia melakukan hal yang benar? Apa yang sebenarnya ia cari dalam hubungan ini dengan Arman?Sementara itu, di luar, suara kehidupan kota sudah mulai kembali. Orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka, dan Elora tahu bahwa hidupnya tidak bisa berhenti begitu saja hanya karena kejadian semalam. Namun, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Meskipun ia berusaha
Part 14Malam itu terasa panjang, penuh dengan keheningan yang dipenuhi dengan ketegangan. Elora dan Arman berjalan keluar dari rumah Madam setelah percakapan yang penuh tekanan. Di luar, udara malam terasa dingin, tetapi keduanya merasa lebih terperangkap oleh perasaan mereka yang bertabrakan di dalam hati. Mereka tidak mengatakan apa-apa saat berjalan, hanya mendengarkan suara langkah kaki mereka yang bergema di jalan sepi.Suasana di sekitar mereka begitu hampa, seperti mereka berjalan di tengah kekosongan yang tak terucapkan. Elora bisa merasakan ketegangan di udara. Arman tampaknya tidak jauh berbeda. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, meski matanya sesekali menatap ke arah Elora.“Kenapa kamu tidak berkata apa-apa?” tanya Elora, suaranya pelan, seperti mencoba memecah keheningan yang menekan.Arman berhenti sejenak, memutar tubuhnya menghadap Elora. “Aku… aku hanya bingung, Elora. Semua ini begitu cepat, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin melindungimu, tapi aku juga