"Maksudnya sih baik, tapi sayang dia bertemu dengan orang yang salah’, bathin Elang, agak menyesal juga tadi dia mengerjai Keina. Sementara itu ‘burung’nya masih menancap kokoh di liang basah milik Keina. Elang mendiamkan saja kondisi itu, sambil perlahan mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Di ciumnya bibir merah Keina yang membalas dengan lumatan hangat, lambat laun lumatan itu pun kem,bali menjadi panas kembali. “Mmfhh...mas El..langg..Keina enak lagihh..uhhss!” seru Keina sambil mulai menggoyangkan kembali pinggulnya, mengimbangi goyangan pinggul Elang di bawahnya. Elang berdiri sambil kedua tangannya mengangkat bokong Keina yang bergayut erat di belakang leher Elang. Elang membawa tubuh Keina ke atas ranjang hotel. Direbahkannya tubuh putih mulus dan kencang milik Keina di ranjang. Elang mulai menyusuri tubuh Keina dengan bibir dan lidahnya. Disedotnya kuat-kuat puncak gunung kembar Keina bergantian. Dan desahan Keina pun terdengar, dengan tubuh tersentak-sentak menahan
"Barusan Ayah Keina menelpon ya?” tanya Elang, yang baru keluar dari kamar mandi. Kini tubuhnya terasa sangat segar. “Iya Mas Elang. Mas Elang alamatnya di mana ya?” tanya Keina. “Saya tak punya tempat tinggal tetap Keina. Saya cuma seorang perantau,” sahut Elang apa adanya. “Wah, Enaknya bebas lepas Mas Elang. Keina jadi iri.” “Untuk apa iri Keina. Kehidupanmu sudah nyaman kelihatannya.” “Yang terlihat dari luar, kadang tak seperti yang dirasakan oleh hati, Mas Elang,” ucap Keina dengan wajah agak muram. “Nampaknya memang begitu Keina,” Elang membenarkan ucapan Keina. Dan diam-diam Elang mulai menerapkan aji wisik sukmanya, untuk menyelami isi hati Keina. Elang pun mulai menatap Keina. ‘Andai kau tahu Mas Elang, kehidupanku sangatlah membosankan. Ayah dan Ibuku adalah orang-orang pekerja keras. Waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup untuk mereka. Bahkan bisa makan bersama dalam satu meja saja, adalah hal yang ‘aneh’ jika bisa terjadi. Kami serumah, tapi hati kami masing-masi
"Wah, sudah pulang kuliahnya Nadya.?" tanya Elang tersenyum. “Nadya sudah tak ada kuliah kok Mas Elang. Hanya konsultasi seputar penyelesaian skripsi saja.” “Semoga cepat selesai skripsinya ya Nadya.” “Aamiin, makasih doanya Mas Elang. Masuk yuk Mas. Bi Yuli dan Nadya sedang masak rendang dan sop iga sapi Mas Elang,” ajak Nadya. “Kedengarannya sedap nih, hehe,” Elang terkekeh senang, sambil mengikuti Nadya ke dalam rumah. “Elang, kamu sudah kembali tho,” sapa Sundari tersenyum, dia tengah duduk menonton TV di ruang tengah. “Iya Bu, di suruh pulang makan dulu sama Nadya. Hehe,” Elang terkekeh bercanda, sambil mendekati Sundari dan mencium tangannya. “Huhh, kalian ini ada-ada saja. Hihi,” Sundari tersenyum geli. “Biarin, habisnya Mas Elang suka jajan makanan di jalan sembarangan sih,” balas Nadya, sambil menjebikan bibir merahnya yang menggemaskan itu. Usai makan siang bersama, Elang dan Nadya pergi mengunjungi rumah baru sang nenek di Sedayu. Nampak Nadya kini sudah bisa melu
"Wah! Nenek jadi tambah cantik!” seru Wiwik senang, dia melihat keanggunan dan kharisma sang nenek lebih memancar terang. Ya, wajar saja begitu, karena dulunya Setyowati memang wanita berkelas pada jamannya.“Ibu dari dulu memang cantik kok. Terimakasih Nadya atas hadiahnya buat Ibu,” Sumiati memuji mertuanya, dan berterimakasih pada Nadya. “Ahh Bibi. Kebetulan saja Nadya menemukannya di kotak perhiasan, dan sudah lama tak terpakai. Jadi lebih baik Nadya berikan pada nenek. O iya, Nadya masih membawa sebuah gelang buat Wiwik. Coba di pakai ya Wiwik,” Nadya berkata sambil membuka sling bagnya. Dikeluarkannya sebentuk gelang emas putih yang cukup unik dan lucu, berbentuk ‘tiga kuntum bunga sedang’ yang bertaut pada kepala gelang itu. Itu adalah gelang kesayangan Nadya, pada saat dia masih bersekolah dulu. “Wahh..! Asikk..! Terimakasih tante Nadya. Gelangnya bagus banget!” seru Wiwik senang sekali, sambil mencium tangan Nadya. Agak lama mereka berbincang di rumah sang Nenek. Hing
"Jujur saja Mas Elang. Kalau Keina bukanlah tipe Mas Elang. Keina mengerti dengan kondisi Mas Elang, bahkan Keina lebih suka hidup seperti Mas Elang. Berkelana bertemu banyak orang dan tempat, yang pastinya lebih menarik daripada berdiam di satu tempat. Bosan rasanya, menjalani kehidupan yang itu-itu saja dari hari ke hari, bahkan hingga bertahun-tahun. Andai saja Mas Elang mengatakan bersedia hidup bersama Keina, Keina pasti tak pikir panjang, untuk melepas semua yang Keina miliki saat ini. Untuk mengikuti ke mana saja Mas Elang pergi,” Keina mengungkapkan perasaan terdalam di hatinya saat itu pada Elang. Elang pun terdiam kehabisan kata, menghadapi wanita cantik dan ‘smart’ yang satu ini. “Entahlah Keina. Saat ini saya sendiri masih bingung, dengan jalan hidup yang saya tempuh. Biarlah kita nikmati saja hal yang masih bisa kita nikmati, dan mensyukurinya,” kata Elang pada akhirnya. “Ayahku memiliki banyak pengawal Mas Elang. Bahkan beberapa yakuza dan ninja bayaran pun selalu
"Kejarr..! Bangsat kowe..! Asu..!!” seru Projo, pemimpin gank Streets Bat, pada rombongan motor ganknya yang turun malam itu. Bagai serombongan ‘nyamuk gila’, maka ke-14 motor gank Streets Bat mengejar motor Elang, yang telah agak jauh di depan mereka. Mobil dan motor yang melalui jalan Parang Tritis saat itu, serentak mereka menepikan kendaraannya. Mereka merasa lebih baik mengalah, daripada jadi bulan-bulanan gank Streets Bat yang terkenal ganas itu. Di sebuah pertigaan agak besar, Elang melihat ada jalur kekiri (Tegalsari-Donotirto). Jalur yang merupakan area persawahan dan perkebunan, yang masih asri dan agak gelap. Elang menghentikan motornya, di tengah jalan yang belum sepenuhnya di aspal itu, “Keina, tetaplah di dalam lingkaran yang saya buat ya. Tenanglah kamu akan aman di dalamnya,” ucap Elang sambil, menerapkan aji ‘Perisai Sukma’ miliknya. Perlahan sosok Elang di selimuti cahaya kehijauan. Lalu Elang berkelebat memutari Keina dan motornya, sebanyak 7 kali putaran. Na
Padahal dahulunya, Bimo adalah putra dari orang berkecukupan di kota Jogja. Hingga akhirnya kedua orangtuanya sering cekcok dan bercerai, lantaran ayah si Bimo yang mulai senang berjudi. Ayah Bimo yang tadinya adalah seorang pegawai swasta, di sebuah perusahaan bonafide. Tiba-tiba saja dia dipecat dari perusahaannya. Karena ayah Bimo terlibat dalam menggelapkan uang perusahaan, demi memuaskan kegemarannya berjudi. Bimo baru berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas 3 SD saat itu. Sedangkan kakaknya Nina, berusia 11 tahun dan duduk di kelas 5 SD. Akibat perceraian kedua orangtua mereka, maka Bimo dan Nina pun terpisah. Bimo ikut sang ayah, sedangkan Nina ikut ibunya kembali ke rumah neneknya di Madiun. Kegemaran berjudi sang ayah tidak berhenti sampai di situ. Sejak perceraiannya dengan sang Ibu. Maka kegemaran berjudi sang Ayah malah semakin menggila.! Ayahnya menjual semua harta berharga yang ada di rumah, untuk melanjutkan hobinya berjudi. Bimolah yang akhirnya harus mengal
"Ok honey," sahut Keina, sambil menutup pintu kamar mandi. Tepat jam 7:55 Keina checkout dari hotel dan langsung menuju stasiun Tugu Yogyakarta, yang berada di jalan Pasar Kembang yang tak jauh dari Hotel Asri. Tak sampai 10 menit mereka sudah sampai di stasiun Tugu Yogyakarta. Elang tak ikut masuk ke dalam peron, dia hanya memberikan tas dorong Keina pada seorang porter yang agak sepuh. Porter itu pun dengan senang hati menerima order jasanya pagi itu. Keina menatap Elang lama sekali, sebelum masuk ke dalam stasiun. Tiba-tiba saja Keina memeluk Elang erat sekali. Keina membenamkan wajahnya di dada Elang, mata indahnya terlihat beriak basah. “Berjanjilah kau akan datang ke negaraku Mas Elang,” Keina berkata serak. “Iya Keina, saya akan menyempatkan waktu membuat pasport nantinya,” sahut Elang meyakinkan Keina. Di kecupnya kening Keina, yang nampak resah di saat perpisahan mereka ini. “Aku menunggumu Mas Elang, selalu menunggumu..” Keina pun membalikkan badannya, memasuki sta
"Aduhhs..!" Braghk..! Teriak sang Ibu mengaduh, sosoknya terhuyung menabrak dinding kamar. Akibat tendangan pria kasar itu. Namun dia tetap keukeuh tak mau keluar dari kamarnya. "Hei perempuan keras kepala! Keluar dari kamar, atau kugorok batang leher suamimu ini..!" ucap lelaki berpakaian hitam yang satu lagi dari luar kamar. Rupanya suami wanita itu telah ditelikung, dengan leher berkalungkan golok tajam yang berkeredepan. Golok itu siap ditarik, untuk menggorok leher sang suami. Sementara sang suami sendiri terlihat pasrah tak berdaya, dalam telikungan orang berpakaian hitam tersebut. "Kangmas..! Aduhh..! Ja-jangan bunuh suamiku Paman..! Aduh..! Bagaimana ini..?! Huhuhuu..!" seru panik sang wanita, dirinya menjadi bingung memilih, di antara pilihan yang sama beratnya. "Ibu..! Cepat Ibu keluar saja, biarkan Paman jahat itu memperkosaku. Selamatkan Bopo, Ibu..! Tsk, tsk..!" seru putrinya yang masih berusia 14 tahun itu, seraya terisak pedih. Ya, dia merasa sudah tak ada harap
'Baik Elang! Aku percaya padamu! Aku akan tetap setia pada kerajaan Kalpataru, hingga tetes darah terakhirku..!' tegas bathin Suralaga. Dia merasa yakin, jika pemuda utusan dari Maharaja Kalpataru benama Elang itu, pasti bukanlah orang sembarangan. "Tuan Putri, aku ingin bicara denganmu sebentar," ucap Elang, saat dia melihat Ratih langsung saja ingin memasuki kamarnya. "Katakan saja yang ingin kau bicarakan Elang," sahut Ratih seraya menahan langkahnya, dia pun berbalik menuju ke ruang tengah rumah. Nampak satu set meja kursi ukir dari kayu jati telah tersedia di sana. Lalu Ratih pun duduk, diikuti oleh Elang yang juga ikut duduk di seberang Ratih. "Tuan Putri, sebaiknya kita tidak bermalam di sini. Aku merasa Kademangan ini sudah dikuasai oleh pasukan Panglima Api," ujar Elang membuka percakapannya. "Elang..! Aku peringatkan kau..! Jangan menduga sembarangan tanpa bukti..! Apa buktinya, kalau kademangan ini sudah dikuasai oleh Panglima Api?!" seru Ratih, yang langsung emosi m
"Paman Suralaga. Aku ditugaskan Ayahanda Prabu Mahendra Wijaya, untuk mengawasi adanya gerakan pemberontakkan. Pemberontakkan yang dihembuskan oleh 5 Panglima Petaka, murid dari Resi Mahapala. Kelima Panglima Petaka itu diduga telah menyusup ke wilayah 5 kerajaan bawahan Kalpataru. Sekarang harap Paman Suralaga berkata jujur. Apakah memang ada salah satu pasukan pemberontak, dari kelima Panglima Petaka itu di kerajaan Dhaka ini..?" Ratih menjelaskan, sekaligus bertanya penuh selidik pada Suralaga. "Ampun Gusti Putri, hamba sama sekali tidak mengerti mengenai masalah itu. Kiranya hanya Prabu Samaradewa di istana, yang punya pengetahuan soal itu. Karena sang Prabu pasti memiliki para telik sandi, yang tersebar di seluruh wilayah kerajaan Dhaka ini," sahut Suralaga, seraya menundukkan wajahnya. 'Degh!' "Hmm. Ada yang tak jujur dalam perkataan Suralaga ini', bathin Elang berdesir seketika. Dia mengetahui dan bisa menangkap sinyal 'kedustaan', dalam ucapan Suralaga itu. Namun Elang
"Hhhh..!" Elang hanya menghela nafas kesal menyaksikan kejadian itu. Dia tak menyalahkan Ratih, jika gadis itu sampai menghabisi nyawa prajurit sial, dan kurang ajar itu. Dia hanya menyesalkan kejadian itu terjadi, di hari pertama pengembaraannya di tanah masa silam ini. "Wanita keji..! Sebutkan namamu dan apa tujuanmu masuk ke wilayah kadipaten Kalimaja ini..?!" seru seorang prajurit, dengan hati bergetar ciut. Kini dia menyadari, bahwa wanita yang mereka hadapi ini bukanlah wanita sembarangan. Seth..! Plukh..! Ratih melemparkan plakat emas kerajaan pusatnya, yang jatuh tepat di hadapan para prajurit itu. "Hahh..?! P-plakat utusan dari kerajaan Kalpataru..!" seru gugup seorang prajurit, yang mengenali benda itu. Seketika bulu kuduknya meremang ngeri, tubuhnya pun langsung lemas bagai tak bertulang. Rekan prajurit lainnya yang tiga orang itu, juga terlihat gemetar dengan wajah pucat pasi. Kini mereka semua sadar, bukan tidak mungkin wanita jelita yang tampak sederhana itu adal
"Hati-hati Gusti Putri..! Hati-hati Elang..! Semoga restu para Dewa selalu bersama kalian," seru Ki Jagadnata, pada mereka berdua. "Hati-hati Gusti Putri! Mas Elang! Kembalilah dengan selamat!" seru Cendani serak. Ada perasaan kehilangan yang menggigit hatinya, saat melihat Elang mulai menghela kudanya menjauh bersama sang putri. Ya, sebuah rasa yang tak pernah dia pahami, kini mulai meraja di hati Cendni. Pada siapa..?! Tentu saja pada pemuda asing bernama Elang itu! Setelah membetulkan letak buntalan kain perbekalannya, Elang pun memancal si 'Keling', untuk mengejar sang Putri yang telah agak jauh di depannya. "Hsaahh!" si Keling kini menambah kecepatan larinya, mengejar kuda Ratih Kencana. Gadis itu bahkan tak pernah menoleh sekalipun ke arah Elang, yang berada di belakangnya. Hanya terkadang saja sang putri melambatkan lari kudanya. Untuk menunggu Elang sejajar dengannya, lalu memberitahukan arah yang akan mereka lalui. Setelah itu kembali sang Putri mendahului, dengan 'mem
"Hiyaahh..!" Byaarsh..!Seketika muncul cahaya hijau terang menyelimuti sosok Elang, tepat saat dua larik cahaya hitam lontaran Singayudha menghantam. Blaarsh..! Spraath..! Dua larik cahaya hitam ambyar seketika. Tak mampu menembus selubung cahaya hijau terang milik Elang. "Hah..?! Tak mempan..!" seru sekalian orang, yang menyaksikan hal itu. 'Gila si Elang ini..!' seru bathin Ratih. Ratih cukup paham dengan kekuatan aji 'Singa Putih Mencabik Langit' milik Singayudha itu. Ajian yang bahkan mampu menumbangkan seekor gajah liar sekalipun. Namun berhadapan dengan Elang, pukulan itu bagai tak ada 'taji'nya sama sekali. Hanya Ki Jagadnata saja, yang tak nampak terkejut dengan kejadian itu. Karena dia memang sudah sangat yakin dengan kemampuan Elang. Ya, Senopati Singayudha sepertinya masih harus belajar 100 tahun lagi, jika ingin setara dengan Elang. Ki Jagadnata hanya tersinyum simpul, melihat hal itu. 'Hmm. Baiklah, akan kuterapkan kekuatan baruku padanya sebagai uji coba', bath
'Degh..!' Hati Elang bergejolak seketika, mendengar ucapan Senopati Singayudha. Dia tahu bahwa senopati muda itu menaruh hati pada Ratih Kencana. Namun cara laku dan ucapannya sungguh sudah keterlaluan. 'Hmm. Sedikit pelajaran sepertinya perlu buat Senopati mentah ini..!' seru bathin Elang. Namun begitu, Elang tetap tersenyum saja di permukaan wajahnya. Dan bagi Ratih Kencana ini adalah kesempatan baginya. Untuk melihat kemampuan Elang, yang kemarin diceritakan Ki Jagadnata telah berperan besar. Dalam mengusir pasukan pemberontak di pinggir Kotaraja. "Bagaimana Elang..? Apakah kau berani menerima pertarungan 'persahabatan', dengan Senopati Singayudha?" tanya Ratih, seraya tersenyum sinis pada Elang. Baru sekali ini Ratih menyebut nama pada Elang, itu pun dengan nada yang seperti mencemooh. Karena memang Ratih merasa tak yakin, jika Elang sehebat yang dikisahkan oleh Ki Jagadnata. Sengaja Ratih menyebutnya sebagai pertarungan 'persahabatan'. Karena dia tak ingin di antara mereka
"Mas Elang sendiri masuk tataran yang mana menurut Eyang?" tanya Cendani, yang tiba-tiba masuk dalam pembicaraan. "Wah, adik Cendani. Aku mana bisa disejajarkan dengan para tokoh langitan, masuk 'Ksatria Bumi' saja belum tentu. Hehe," sahut Elang, seraya terkekeh geli mendengar pertanyaan Cendani. "Hahaa..! Cendani, andai kamu tahu. Eyangmu ini masih keteteran, mengejar kecepatan ilmu meringankan tubuh Elang tadi siang. Elang sudah jelas berada di tataran 'Ksatria Langit' Cendani," sahut Ki Jagadnata terbahak, mendengar pengakuan Elang yang berkata masih di tataran 'Ksatria Bumi'. "Ahh, Eyang. Cucumu ini masih butuh banyak belajar dari poro sepuh di masa ini. Mohon jangan berlebihan," ucap Elang seraya menunduk hormat pada Ki Jagadnata. 'Ahh. Pemuda yang rendah hati, kau memang pantas menyandang kemampuan 'Ksatria Langit' Elang. Bahkan aku tak akan terkejut, jika kau ternyata sudah berada di tataran 'Ksatria Semesta' nantinya', bathin Ki Jagadnata, makin kagum pada kepribadian E
"Ampun Ayahanda Prabu. Rasanya telah lama Ratih tak mengetahui kehidupan di luar istana. Ini juga adalah kesempatan bagi Ratih. Untuk meluaskan pengalaman dan mengenal kondisi rakyat yang sebenarnya, di wilayah Kalpataru saat ini," sahut Ratih memperjelas keinginannya. "Baiklah Nanda Ratih, kuperintahkan kau mulai besok. Untuk ikut menemani Elang dalam pengembaraannya, mencari 5 Panglima Petaka..!" turun sudah titah dari sang Prabu, untuk putrinya Ratih Kencana. Dan Elang pun terlongong tak mampu berbuat apa-apa. Karena itu adalah perintah sang Prabu. Sesuatu yang tak mungkin ditolak atau dihindari Elang. Karena pasti akan menimbulkan 'gejolak' saat itu juga, jika dia mengemukakan penolakannya. "Baik Ayahanda Prabu. Ratih akan mengemban tugas itu sebaik-baiknya," ucap Ratih tegas, seraya memberi hormat dan mencium tangan sang Prabu. Lalu Ratih pun beranjak keluar meninggalkan istana dalem. Wajahnya nampak berseri, menuju kembali ke keputren. Ratih hendak mempersiapkan penyamaran