Share

Bab 117.

Penulis: BayS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-03 00:31:38

Seth..!

Elang reflek melesat ke depan dengan sangat cepat. Lalu dia menoleh ke arah suara klakson tadi.

Dan betapa gemasnya Elang, saat mengetahui yang mengagetkannya dengan klakson adalah dua gadis yang tadi.

Reva agak geli melihat kekagetan Elang. Namun disisi lain dia juga sangat terkejut, melihat daya lesat yang di tunjukkan oleh Elang.

Reva hanya melihat kelebatan bayangan Elang, lalu tiba-tiba Elang sudah sekitar 200 meter di depannya.

‘Masih manusiakah pemuda bernama Elang ini..?!’ bathin Reva agak bergidik.

Ternyata bukan hanya Reva saja yang ngeri dan kaget. Julia juga berpikir hal yang sama seperti Reva.

'Apakah dia hantu..?!' bathin Julia ngeri.

Wajah Julia nampak pucat, saat mobil Reva akhirnya tiba di dekat Elang, yang seperti gemas menunggu mereka.

“Kalian ini mengagetkan orang saja..!” seru Elang kesal.

“M-maaf Mas Elang, kami tak sengaja. Kami cuma mau mengucapkan terimakasih,” ucap Reva agak tak enak hati, melihat wajah kesal Elang.

“Kalian kan sudah berter
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 419.

    "Uhuks..!" Elang hanya terbatuk, seraya ludahkan darah dari mulutnya. Namun melihat kondisi Ki Bangun Tapa yang agak parah. Elang pun segera melontarkan diri ke belakang, sehingga sosoknya nampak terhempas. Seth..! Wushh..! Gludugh, gludugh ... Braghk! Elang beraksi seolah jatuh bergulingan, hingga sosoknya menabrak pintu gerbang padepokkan. Sengaja tangannya menggebrak gerbang padepokkan, agar bunyi tabrakkan tubuhnya terdengar keras. Tubuh Elang terdiam agak lama, agar semua murid padepokkan mengira dirinya pingsan. Ya, Elang berbuat begitu demi menjaga nama besar Ki Bangun Tapa, di depan mata murid-muridnya. Agar para murid menyangka, jika guru besar merekalah yang lebih unggul dibanding dirinya. Segitunya Elang... Elang! Hehe.Ya, semua murid-murid padepokkan akhirnya memang berpikir, seperti yang diharapkan Elang. Namun semua 'drama' Elang itu, tentu saja tak bisa mengelabui mata 'awas' Ki Bajangkara. Ki Bajangkara hanya bisa tersenyum geli dalam hatinya. Dan dia mengakui

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 418.

    Elang melenting di udara seraya bersalto beberapa kali, sebelum akhirnya dia mendarat ringan di bumi. Pertarungan pun terhenti sementara. "Hahh..!!" seru terkejut Lokananta dan sekalian orang, yang menyaksikan pertarungan itu. Tampak pakaian Lokananta telah sobek di beberapa bagian, dari punggung hingga ke bagian betis kakinya. Terhitung ada 7 sobekkan pakaian di tubuh Lokananta. Hal yang jelas menandakan, jika Elang mau Lokananta sudah terkapar sejak tadi. Dan itu dilakukan Elang hanya dalam 2 jurus saja! "Baik Elang..! Dalam hal jurus aku mengaku kalah..! Kini mari kita beradu tenaga dalam..!" seru Lokananta, dengan wajah merah padam menahan malu dan amarah di dadanya. Martabatnya terasa hancur seketika. Dia sangat sadar, jika semua mata murid padepokkan kini tengah memperhatikan dirinya. "Hentikan Lokananta..! Mundurlah..! Biar ayah yang mencoba kemampuannya..!" sentak Ki Bangun Tapa. Dia menyadari, betapa jauh rentang kemampuan putranya itu dengan Elang. Hatinya pun menjadi

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 417.

    'Waduhh, dia datang juga..!' seru kaget bathin ketiga pemuda baju merah itu. Maka semakin lemaslah tubuh mereka. Langit bagai gelap tanpa matahari, dihati mereka saat itu. "Saya guru di sini. Siapa kau anak muda?!" seru Ki Bangun Tapa, yang melihat Elang menunjuk ketiga muridnya. "Di-dia pemuda yang menghajar kami Guru," ucap gugup salah seorang murid padepokkan, yang babak belur itu. "A-apa..?!" sentak kaget dan marah Ki Bangun Tapa. Bagaimana pun juga sebagai guru, Ki Bangun Tapa merasa kurang senang dengan 'penanganan' Elang. Walau dia tahu perbuatan ketiga muridnya itu sungguh salah, dan mencemarkan nama padepokkannya. Tapi menghajar murid-muridnya..? Itu adalah perkara lain baginya. Karena dia berpendapat hanya dirinya, yang berhak menghajar sendiri murid-muridnya yang kurang ajar itu. "Saya Elang Ki. Maksud saya ke sini hendak membicarakan perilaku ketiga murid padepokkan ini," sahut Elang tenang dan sopan. Elang bisa merasakan energi yang cukup tinggi, dari guru besar

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 416.

    "Apakah Paman tak mau meminta ganti rugi, atas semua kerusakan ini pada mereka..?" tanya Elang heran. Sementara sang pelayan rumah makan terkesan hanya membiarkan, para pemuda begajulan itu pergi begitu saja. "Mana bisa begitu Tuan Pendekar. Mereka adalah murid-murid dari 'Padepokkan Awan Merah', dari lereng Malika yang terkenal. Kami juga cemas para senior-senior mereka akan datang ke sini tak lama lagi Tuan," sahut sang pemilik rumah makan. Rupanya dia datang menghampiri Elang dan pelayannya diam-diam. "Ohh begitu rupanya. Baiklah, kalau begitu terimalah ini Paman," ucap Elang seraya membuka kantung uangnya, dan memberikan dua keping emas pada pemilik rumah makan itu. "Wahh..! I-ini terlalu banyak Tuan!" seru sang pemilik rumah makan terkejut, melihat dua keping emas di tangannya. "Tak apa Paman. Anggap saja itu uang untuk bayar pesanan saya, dan mengganti kerusakkan di rumah makan ini. Jika lebih, jadikan saja modal untuk memperbesar dan memperlengkap rumah makan ini," ucap

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 415.

    "Hahahaa..! Pesanan yang sesuai dengan umurnya, karena sudah tak memiliki 'bumbu' kehidupan lagi..!" seru seorang pemuda berbaju merah terbahak mengejek sepuh itu. "Hahahaa..!!" dua temannya pun ikut terbahak keras, mendengar ejekkan teman mereka pada si orangtua itu. Namun si orangtua tetap tenang. Dia sama sekali tak menghiraukan ucapan brengsek, dari pemuda berbaju merah itu. 'Dasar para pemuda kurang ajar. !' maki Elang dalam hatinya, seraya terus menikmati pesanannya yang tinggal separuhnya itu. Tak lama masuklah dua wanita cantik ke dalam rumah makan itu. Aroma melati segera menguar di dalam rumah makan itu. Nampak kedua wanita cantik itu langsung duduk, di meja depan rumah makan itu. 'Ahh, kedua wanita semalam', bathin Elang, teringat pada kedua wanita cantik yang baru masuk itu. "Nahh..! Ini baru pemandangan indah..! Semoga harga mereka tak terlalu mahal..! Hahahaa..!" seru seorang, di antara tiga pemuda berbaju merah itu. "Cocok..!" seru kedua temannya. Nampak sekal

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 414.

    "Ahh! Itu pakaian kita!" Seth! Jadalpa berseru melihat pakaiannya teronggok di tepi jalan, dia pun segera melesat menyambar pakaiannya. Seth! Balongga ikut melesat menyusul temannya menyambar pakaiannya. "Larii..! Mereka mau mengamuk!" teriak anak-anak, yang sejak tadi bersorak mengiringi di belakang keduanya. Sontak mereka semua lari tunggang langgang, saat melihat dua serigala polos itu melesat. Balongga dan Jadalpa segera keluar dari desa tersebut, dengan wajah merah padam menahan rasa malu dan juga dendam pada Elang. Ya, setelah sadar. Rupanya mereka kini bisa mengingat kembali sosok Elang, dalam benak mereka. *** Padepokan Awan Merah berdiri megah di lereng bukit Malika, tak jauh dari desa Kemitir. Padepokan ini dipimpin oleh seorang tokoh sepuh bernama Ki Bangun Tapa, yang di dunia persilatan berjuluk 'Pendekar Walet Merah'. Setelah puluhan tahun malang melintang, di dunia persilatan tlatah Palapa. Akhirnya Ki Bangun Tapa pun mendirikan Padepokkan Awan Merah, di leren

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status