Share

Sang Pemburu Naga
Sang Pemburu Naga
Penulis: Hannfirda

01. Seseorang di Hutan

Pembunuhan pertama yang disaksikan oleh Muhan secara langsung ialah eksekusi suatu keluarga cendekiawan yang dituding sebagai pengkhianat negara. Muhan ingat dengan jelas, bagaimana teror yang menghinggapi tiap wajah para anggota keluarga tersebut melaut bersama dengung derita. Mengenakan pakaian berkabung, semuanya terikat di bawah gertakan para algojo yang berada di kedua sisi tubuh masing-masing kepala.

Dipertontonkan di balai kota, senagai bentuk pembelajaran serta penghakiman atas manusia yang melahap kehidupan manusia lainnya. Ratapan demi ratapan memenuhi telinga Muhan bagaikan lagu lama pengingat kehancuran. Tak melebihi banyaknya langkah dari rumah jagal ke balai kota, ratapan tersebut diakhiri oleh tebasan singkat yang mengarah pada leher 'para pengkhianat'.

Sebelas anggota keluarga beserta para pelayan dalam keluarga itu telah menghilang dari Tanah Wari dalam sekejap mata. Salah satu kepala menggelinding ke dekat kaki Muhan kecil yang berusia 5 tahun. Diam-diam, ditatapnya sepasang mata kelam kepala seorang wanita yang penutup matanya terangkat itu.

Bukannya takut, justru Muhan memandang lekat kepala tersebut. Ada sesuatu yang tidak dimengerti pada detik itu. Kemalangan akan Tanah Wari kian merajalela oleh alam dan Sang Naga, tetapi kini ditambah oleh pemerintahan yang cacat dan tak bermatabat.

"Oh! Lihatlah bocah itu! Melihat mayat saja ekspresinya datar begitu."

"Dia kan cuma bocah pungut, Nyonya. Wajar saja kalau tidak ada takut-takutnya dengan mayat sekali pun."

Muhan kecil memilih untuk berlari, membawa kayu bakar yang berada dalam gendongan dan kembali ke Perguruan.

Namun pada masa sekarang, Muhan berusia 20 tahun tengah mengamati proses eksekusi di antara rakyat biasa yang suka bergunjing itu dengan telinga yang kebal terhadap berbagai macam cercaan. Eksekusi kali ini sama saja. Pemenggalan terhadap keluarga kecil yang menentang ketentuan baru Raja untuk membayar pajak dua kali lipat lebih besar. Disinyalir kepala keluarga itu berniat memancing rakyat lain untuk turut memberontak—yang tentu saja berakhir buruk.

Kepala yang terpisah dari tiap-tiap tubuh itu tercecer, mengundang pekikan beberapa orang di sekitar. Semua masih sama. Ketidakadilan merajalela laksana tabuhan gendang yang mengikat para penari untuk menghibur para petinggi Wari.

Eksekusi berakhir dengan mengumpulkan mayat-mayat tersebut di atas gerobak. Entah ke mana para pembersih itu akan membawanya. Bisa saja ke pemakaman umum yang berada di sisi lain Bukit Batu, atau menerjunkan seluruhnya ke laut lepas sebagai makanan alami bagi makhluk hidup di dalam sana.

Muhan tak pernah tau bagaimana akhir dari kesengsaraan berupa pencabutan nyawa secara paksa itu. Hidup sebagai dirinya sendiri saja sudah penuh akan cercaan yang datang silih berganti, seolah memang diperuntukkan sebagai tontonan orang banyak. Maka tanpa keraguan sedikit pun, dia mengetahui arti dari pilunya hidup seorang sendiri.

"Dengar-dengar, anaknya Juragan Sapi yang tinggal di dekat Sungai Dun itu mau mencalonkan diri sebagai bagian dari Pasukan Pemburu Naga kan?"

"Ah, tapi kalau anaknya cuma setingkat Gyeomsabok, yang ada malah menjadi makanan naga."

"Ah, benar juga! Anaknya Nyonya Lee tidak kembali-kembali, sudah hampir genap enam bulan. Padahal anaknya sendiri merupakan Howechung, susah sekali mendapatkan pemuda dengan kemampuan Howechung beberapa tahun ini."

"Itu karena ketentuan Raja dua puluh tahun yang lalu, masa kau lupa?"

"Aduh! Tolong jangan membahasnya! Aku merinding setiap membayangkan insiden mengerikan itu. Lebih baik kita segera mengirimkan kain-kain untuk Selir Seo ini secepat mungkin."

Percakapan dua lelaki yang membawa dorongan berisikan tumpukan kain mahal tersebut mencuri fokus Muhan untuk sesaat. Keramaian di sekeliling telah meredup. Eksekusi yang sempat terjadi tadi seakan tak terendus. Berusaha mengabaikan keganjilan dunia yang dipijakinya ini, Muhan memutuskan untuk menuai langkah ke hutan seperti biasanya.

Pasukan Pemburu Naga. Betapa besar keinginan Muhan untuk turut berada dalam pasukan tersebut. Namun dia bisa apa? Dibuang saat dilahirkan, tak mempunyai asal-usul yang jelas, serta tak menguasai Him apa pun, sehingga orang-orang selalu memandang rendah dirinya tanpa henti.

Meniti jalanan terjal menuju kedalaman hutan, Muhan memikirkan akan nasibnya yang tidak mempunyai secercah harapan barang sekali ini. Di saat pemuda seusianya mulai menggapai cita-cita sebagai cendekiawan atau personil Pasukan Pemburu Naga, dia harus bergelut dengan pekerjaan bersih-bersih dan menuruti semua perintah yang dilayangkan.

Dibesarkan di Perguruan dan bekerja sebagai kacung sejuta umat—untuk penebusan atas kehidupan yang terjamah hingga detik ini, membuat Muhan melunturkan segala harapan dan keinginan terpendam yang selamanya tak bertuan.

Pagi tadi saja, beberapa anak yang tinggal di Perguruan sengaja menjailinya. Mulai dari mengganjal pintu kamarnya dengan meja dan kursi, lalu membawa pergi pakaian kumalnya yang masih dipakai itu di tempat sampah. Tentu saja, Muhan tidak bisa melawan. Dia lemah. Muhan menyadari kekurangannya yang satu. Sangat ingin melawan, tetapi semesta menjatuhkan kehampaan terhadap kehidupannya yang penuh derita ini.

Bila Muhan memberontak, dapat dipastikan mereka akan membalas dua kali lipat dengan kekuatan masing-masing. Entah itu dengan fisik yang kelewat kuat, atau sihir tiada banding, Muhan tetap kalah—seakan-akan kata tersebut terpatri dengan jelas pada keningnya sejak lahir.

Setelah membersihkan sepenjuru Perguruan, Muhan ditugaskan untuk mencari beberapa akar tanaman yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Tabib Shu di Perguruan memerintahkan tugas semacam itu sejak Muhan menguasai berbagai jenis tanaman yang diajarkan oleh pria tua tersebut.

Sekarang adalah waktunya. Ketika matahari meninggi tepat di atas kepala, itulah saat yang cocok untuk berburu ke hutan—dengan catatan; semua pekerjaannya sudah selesai.

Melewati lembah yang berhadapan dengan sisi lain bukit, Muhan berhenti sejenak. Dipandanginya keindahan alam yang menakjubkan itu selama lima degup jantung. Begitu indah dan menenangkan. Satu-satunya hal yang Muhan sukai saat harus pergi keluar Perguruan ialah memintal sedikit ketenangan di atas lembah. Jiwanya seperti mendapat amunisi bertajuk; lari dari dunia walau sekejap saja.

Duduk bersila, embusan angin mengangsir permukaan kulitnya. Jika ada yang mengatakan bahwa bumi merupakan perwujudan seorang Ibu para dewa bernama Gaia, maka dia akan memercayai. Sebab alam benar-benar membelainya seolah seorang ibu tengah membersamainya pada detik yang sama.

Di tengah ketenangan tersebut, Muhan mendengar derap langkah bercampur erangan tertahan dalam jarak seratus meter. Pemuda itu refleks menoleh, mulai sigap dengan mengambil pisau dapur kecil yang menjadi senjata satu-satunya.

"To-tolong ...."

Terkesiap, Muhan mencari sumber suara. Pemilik napas berat penuh beban itu bertemu dengan Muhan pada sisi lain hutan. Bersimbahkan darah, Muhan terkejut lalu menghampiri seorang pria muda berpakaian serba biru dengan salur keperakan bersimbolkan Pasukan Pemburu Naga.

"Tuan? Apa yang terjadi? Kenapa Tuan bisa seperti ini?" tanya Muhan, khawatir dan panik menjadi satu.

Pria muda itu berwajah pucat dengan kening yang dibanjiri oleh keringat dingin. Menggelengkan kepala secara perlahan, tangan kanan pria muda itu mengambil sesuatu dari balik bukaan pakaiannya.

Saat itu pula, Muhan memergoki tiga luka tusukan yang terlihat dalam dan menyakitkan bersarang pada perut si pria muda. "Tuan? Anda harus segera diobati. Mari! Biar saya bawa Anda menemui Tabib Shu."

"Ti ... dak ...."

"Apa? Kenapa?"

"Ini ...." pria muda itu mengulurkan sebuah belati dan pecahan permata berkilauan yang sejernih air mata seorang Dewi Air. "Jagalah benda ini, Nak! Kelak kau akan membutuhkannya."

Belum genap membuka suara untuk bertanya, si pria muda mengembuskan napas terakhirnya serta menanggalkan balutan tanda tanya besar.

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status