Nana mengerang hebat ketika dia mulai bergerak sesuai ritme yang sang pria buat. Wanita itu menaruh tangannya di pipi Angga, dia melengkungkan punggungnya dan memantul di atas penis Angga seperti dirinya sedang berada di trampoline. “Mmmmhhh … enak sekali! Aku merasa luar biasa!” teriak wanita itu. Pergerakan yang dia buat terlalu liar untuk dapat Angga handle.Angga mengeluarkan geraman rendah dan parau ketika Nana menungganginya. Goyangan Nana membuat penisnya semakin masuk ke dalam lubang panasnya yang mengepal erat. Kedua tangan pria itu terangkat untuk memegang pinggul sang wanita, mengarahkan gerakan wanita itu ketika dia memenuhi pergerakan Nana yang begitu antusias. Dia tentu tidak mau kalah, dan membiarkan wanita itu menjadi pemimpin selamanya.“Fuck, kurasa kau memang terlahir untuk menjadi penunggang rodeo,” kata pemuda itu terengah-engah. Kedua matanya terpaku kepada pemandangan erotis kedua payudara Nana yang bergoyang dan bagaimana vagina wanita mencengkramnya seperti se
“Nah Mari kita periksa suhu tubuhmu, Nana.”Nana tersenyum saat Angga menempelkan dahinya sehingga hidung mereka bersentuhan. Nana tidak pernah mengakuinya secara gamblang, tetapi pemuda itu memanglah tampan. Saat mengetahui bagaimana Doni merekrutnya menjadi salah satu pekerjanya untuk melayani wanita dan mendengar testimoni mereka, Nana jadi tergoda untuk mencoba sekali dan membuktikan sendiri.Sambil mencondongkan tubuhnya sedikit, Angga mencium bibir Nana. Pemuda itu juga secara perlahan meraih resleting celananya. “Sepertinya kau demam tinggi ya, Nana.” Suara Angga terdengar seperti gumaman parau, jemarinya dengan cekatan telah melepaskan kain penutup bagian pribadinya. Mengekspos penisnya yang tebal dan kaku. Di ujungnya sudah terdapat cairan pre-cum dan itu membuat Nana menjilat bibirnya sendiri.“Aku akan membiarkanmu menggunakan ‘termometer’-ku, Nana.”Nana setengah melompat dari meja dan memposisikan dirinya untuk berlutut. Hanya dengan melihat kejantanan Angga saja sudah cu
Angga berjalan memasuki toko, pemuda itu mengenakan jas putih khas dokter yang diberikan padanya oleh Doni sebelum pemuda itu melaksanakan pekerjaannya. Toko pria itu juga sudah dikosongkan, memberikan tempat kepada Angga untuk melakukan aksinya dengan santai untuk melayani klien berikutnya. Sejujurnya pemuda itu merasa gugup karena kali ini dia harus bermain peran sesuai dengan permintaan klien-nya. Pikirannya yang biasanya selalu kosong dan tanpa tuntutan (karena Angga dulunya hanya seorang pengangguran) kini jadi disibukan dengan beragam permintaan yang disesuaikan dengan keinginan klien yang menyewa jasanya.Lamuyannya buyar ketika pemuda itu telah tiba di sebuah pintu. Dia melihat ke atas dan disana telah tergantung sebuah papan kayu bertuliskan ‘Dr. Anggara Ari. MD’. Doni benar-benar all out dalam hal ini.Pemuda itu lantas membuka pintu setelah menyiapkan hati dan ketika dia masuk ke dalam ruangan saat itu pula dia melihat ‘pasiennya’ telah duduk di atas meja. Suasana di dalam
“Aku ingin mengenalmu. Bolehkah?”Angga perlu mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan pikirannya yang melanglang buana entah kemana begitu mereka tiba di tempat makan. Namun karena sesuatu yang Riri ucapkan semua hal yang membebani dirinya seolah sirna dan meleleh begitu saja.“Eh?”Riri menatap Angga dan memutuskan bahwa dia sebaiknya jujur tetapi dengan cara yang halus. “Aku baru saja memutuskan pacarku sedangkan kau pun katanya juga belum lama ini dicampakan pacarmu. Kondisi kita sempurna.”Angga terdiam.“Bagaimana kalau kita mencoba untuk saling lebih mengenal satu sama lain? maksudku aku tidak bermaksud mengajakmu berpacaran atau hal-hal seperti itu. Tapi apa salahnya menambah relasi kan?”Angga menatap wanita yang duduk dihadapannya sekarang sembari berpikir jawaban macam apa yang paling tepat untuk dia berikan. Jika saja dia belum terperosok dalam pekerjaan terlarangnya itu bisa saja dengan mudah dia mengatakan setuju dan bahkan dia mungkin bisa berpacaran dengan wanita ini
Angga mengerutkan kening ketika di pagi buta, dia tiba-tiba saja mendapati satu panggilan dari nomor yang tidak di kenal. Dia hanya berharap Doni tidak memberikan nomornya secara sembarangan kepada perempuan setelah dia memenuhi tugasnya sebagai pemuas mereka. Dia hanya setuju kalau dihubungi melalui Doni. Karena Angga bagaimana pun juga tidak ingin menghancurkan kehidupan normal dengan mencampur adukannya pada pekerjaannya. Sedikit ragu, pada akhirnya Angga menggeser tanda hijau di layar ponselnya. “Halo?” “Ini Angga benarkan?” suara feminim menyambut Angga dengan segera. “Ya, benar. Ini siapa ya?” tanya Angga dengan hati-hati. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia berharap ini bukan salah satu dari perempuan yang hendak menyewanya. “Ini aku, Riri. Sepupunya Doni. Aku dapat nomormu dari dia,” sahut si penelepon dengan lugas dan seketika kekhawatiran Angga memudar. Namun kini setelah kekhawatirannya sirna, Angga justru bertanya-tanya akan tujuan gadis itu meneleponnya. Berbagai kem
Sudah lama sekali Tia tidak merasakan berhubungan seks secara liar dengan seorang pria, dan Angga adalah orang pertama yang benar-benar merasakan adanya sulutan api gairah ketika tidur dengannya. Semua pria di kelompoknya tidak begitu memuaskan meski tubuh mereka besar dan tegap seperti preman. Tapi kalau soal stamina, mereka lemah dan kadang membuat Tia masih tetap mencari pelarian untuk mendapatkan kepuasan hakiki.Tia meremas penis Angga dengan otot-otot vaginanya yang terlatih, menggunakan seluruh pengalaman yang dia miliki untuk memancing erangan serta geraman dari si pemuda yang mustahil terdengar lantaran mereka berada di dalam air. Tia bisa merasakan milik pemuda itu memenuhi dia seutuhnya, kepala wanita itu mendongak ke belakang dan tanpa sadar membuka mulutnya menyebabkan buih-buih tercipta di dalam air. Cengkramannya pada bahu dan juga pinggang pria itu kain mengerat ketika wanita itu mulai di penuhi dengan berbagai sensasi.Di sisi lain, napas Angga tercekat ketika otot-ot