“Jangan dilawan, Kia. Kalau mau muncrat. Muncrat saja,” bisik Angga.Suara serak pria itu membuat gairah Kia semakin naik, pegangannya pada tepi meja kian mengerat sementara kedua kakinya merapat. Tapi Angga, justru mencengkram paha Kia untuk tetap terbuka. Membuat gadis itu menjerit karena pergerakan tangan pemuda itu di vaginanya kian brutal. Bahkan Angga menambahkan satu jari lagi ke dalam vagina Kia.Suara erotis yang basah memenuhi ruangan, diselingi dengan erangan dan desahan Kia yang tampak sudah tidak malu-malu lagi untuk mengakui kenikmatan yang dia dapatkan. Angga mencondongkan tubuhnya lagi, mulutnya tepat di telinga Kia untuk membisikan kata-kata cabul padanya.“Muncrat saja Kia. Kau suka diobok-obok seperti ini kan? Lubangmu yang kau banggakan ini sudah dimasuki jari-jariku. Perempuan cabul.” Setelah mengatakan hal itu Angga mempercepat tempo. Dia melakukan fingering tanpa ampun. Ibu jarinya terus menyerang klitoris Kia tanpa henti, mengirimkan sentakan kenikmatan yang me
Angga sungguh terkejut dengan seberapa cepat Doni mampu merenovasi ruangan dalam rangka memenuhi banyaknya permintaan yang datang untuk menyewa dirinya.Kali ini sasarannya adalah kamar kosan Angga yang berhasil di sulap oleh orang itu menjadi ruangan khas tempat pijat. Ketika dia melangkah masuk ke dalam kamar kosnya sendiri, dia sudah mengenakan kostum khas terapis berwarna serba putih.Doni benar-benar mengeluarkan semua barang-barang pribadi Angga. Hanya tersisa ‘tumpukan referensi’ saja yang dibiarkan ada dan semua itu telah di simpan rapi di dalam meja. Dia akan membicarakan soal keberadaan barang-barangnya setelah ini, Angga akan mengingatnya.“Hai Angga, kulihat kau tampak sangat sehat ya. Apalagi setelah semua ‘petualangan’ yang telah kau lalui.” Seorang gadis manis menyapanya. Dia menyeringai ketika Angga berbalik melihatnya. Gadis itu adalah Kia, teman satu angkatannya waktu SMA dulu dan Angga punya masa lalu yang buruk dengannya. Sebab dimasa lalu dia kerap membully Angga.
Nana mengerang hebat ketika dia mulai bergerak sesuai ritme yang sang pria buat. Wanita itu menaruh tangannya di pipi Angga, dia melengkungkan punggungnya dan memantul di atas penis Angga seperti dirinya sedang berada di trampoline. “Mmmmhhh … enak sekali! Aku merasa luar biasa!” teriak wanita itu. Pergerakan yang dia buat terlalu liar untuk dapat Angga handle.Angga mengeluarkan geraman rendah dan parau ketika Nana menungganginya. Goyangan Nana membuat penisnya semakin masuk ke dalam lubang panasnya yang mengepal erat. Kedua tangan pria itu terangkat untuk memegang pinggul sang wanita, mengarahkan gerakan wanita itu ketika dia memenuhi pergerakan Nana yang begitu antusias. Dia tentu tidak mau kalah, dan membiarkan wanita itu menjadi pemimpin selamanya.“Fuck, kurasa kau memang terlahir untuk menjadi penunggang rodeo,” kata pemuda itu terengah-engah. Kedua matanya terpaku kepada pemandangan erotis kedua payudara Nana yang bergoyang dan bagaimana vagina wanita mencengkramnya seperti se
“Nah Mari kita periksa suhu tubuhmu, Nana.”Nana tersenyum saat Angga menempelkan dahinya sehingga hidung mereka bersentuhan. Nana tidak pernah mengakuinya secara gamblang, tetapi pemuda itu memanglah tampan. Saat mengetahui bagaimana Doni merekrutnya menjadi salah satu pekerjanya untuk melayani wanita dan mendengar testimoni mereka, Nana jadi tergoda untuk mencoba sekali dan membuktikan sendiri.Sambil mencondongkan tubuhnya sedikit, Angga mencium bibir Nana. Pemuda itu juga secara perlahan meraih resleting celananya. “Sepertinya kau demam tinggi ya, Nana.” Suara Angga terdengar seperti gumaman parau, jemarinya dengan cekatan telah melepaskan kain penutup bagian pribadinya. Mengekspos penisnya yang tebal dan kaku. Di ujungnya sudah terdapat cairan pre-cum dan itu membuat Nana menjilat bibirnya sendiri.“Aku akan membiarkanmu menggunakan ‘termometer’-ku, Nana.”Nana setengah melompat dari meja dan memposisikan dirinya untuk berlutut. Hanya dengan melihat kejantanan Angga saja sudah cu
Angga berjalan memasuki toko, pemuda itu mengenakan jas putih khas dokter yang diberikan padanya oleh Doni sebelum pemuda itu melaksanakan pekerjaannya. Toko pria itu juga sudah dikosongkan, memberikan tempat kepada Angga untuk melakukan aksinya dengan santai untuk melayani klien berikutnya. Sejujurnya pemuda itu merasa gugup karena kali ini dia harus bermain peran sesuai dengan permintaan klien-nya. Pikirannya yang biasanya selalu kosong dan tanpa tuntutan (karena Angga dulunya hanya seorang pengangguran) kini jadi disibukan dengan beragam permintaan yang disesuaikan dengan keinginan klien yang menyewa jasanya.Lamuyannya buyar ketika pemuda itu telah tiba di sebuah pintu. Dia melihat ke atas dan disana telah tergantung sebuah papan kayu bertuliskan ‘Dr. Anggara Ari. MD’. Doni benar-benar all out dalam hal ini.Pemuda itu lantas membuka pintu setelah menyiapkan hati dan ketika dia masuk ke dalam ruangan saat itu pula dia melihat ‘pasiennya’ telah duduk di atas meja. Suasana di dalam
“Aku ingin mengenalmu. Bolehkah?”Angga perlu mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan pikirannya yang melanglang buana entah kemana begitu mereka tiba di tempat makan. Namun karena sesuatu yang Riri ucapkan semua hal yang membebani dirinya seolah sirna dan meleleh begitu saja.“Eh?”Riri menatap Angga dan memutuskan bahwa dia sebaiknya jujur tetapi dengan cara yang halus. “Aku baru saja memutuskan pacarku sedangkan kau pun katanya juga belum lama ini dicampakan pacarmu. Kondisi kita sempurna.”Angga terdiam.“Bagaimana kalau kita mencoba untuk saling lebih mengenal satu sama lain? maksudku aku tidak bermaksud mengajakmu berpacaran atau hal-hal seperti itu. Tapi apa salahnya menambah relasi kan?”Angga menatap wanita yang duduk dihadapannya sekarang sembari berpikir jawaban macam apa yang paling tepat untuk dia berikan. Jika saja dia belum terperosok dalam pekerjaan terlarangnya itu bisa saja dengan mudah dia mengatakan setuju dan bahkan dia mungkin bisa berpacaran dengan wanita ini