LOGINRiri melempar selimut yang menutup tubuhnya, kedua matanya memang seperti sudah otomatis terbangun ketika pagi telah tiba. Wanita itu kemudian menuju lemari pakaian untuk mengambil handuk dan pakaian ganti lalu beranjak ke kamar mandi.
Lima belas menit kemudian wanita itu keluar dari kamar mandi dengan memakai sebuah gaun tipis berwarna ungu berlengan pendek sebatas lutut. Riri beranjak mengambil tas yang dia gunakan semalam untuk kemudian memeriksa ponsel yang dari semalam belum dia keluarkan dari sana.
Tapi ada satu hal yang membuat dia tertegun. Sebuah benda asing ada di dalam sana. Benda itu terasa asing lantaran dia tidak pernah membeli atau memilikinya. Sebuah kotak beludru. Penasaran, Riri mengambil benda itu dan membuka isinya. Seketika ingatan kejadian berputar kembali.
Tentang bagaimana caranya dia mendapatkan kotak berisi cincin yang tiba-tiba saja diberikan kepadanya oleh seorang pemuda berkacamata. Pria itu tampak muram, tetapi walau begitu tidak menghilangkan ketampanannya.
“Jangan memikirkannya!” Riri menghalau bayangan pria tak bernama yang ditemuinya tadi malam.
“Tapi ini cantik sekali,” gumam Riri sambil mengeluarkan cincin tersebut dari dalam kotak. “Sayangnya aku mendapatkannya dengan cara aneh seperti itu.” Riri kemudian menyematkan cincin itu di jari manisnya dan mendapati bahwa cincin itu terlalu besar untuk ukuran jarinya. “Cincin ini memang bukan punyaku, wajar saja ukurannya tidak pas,” sahutnya sambil menghela napas. “Kalau ada kesempatan aku ingin mengembalikan ini kepada pemiliknya. Meski dia bilang memberikannya padaku tapi aku tidak bisa menerimanya begitu saja kan? yang jadi masalah sekarang adalah dimana aku bisa menemukan pemiliknya?”
Saat sedang sibuk memperhatikan cincin tersebut tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.
“Ya, ada apa?” sahut wanita itu ketus.
“Kau dimana?” tanya seseorang dibalik sambungan telepon.
“Di rumah,” jawab Riri meski agak bingung dengan maksud pertanyaan orang itu.
“Hari ini kau sibuk tidak?”
Mendengar hal itu Riri tiba-tiba mendapatkan firasat.
“To the point saja, ada apa?”
“Baguslah kalau kau mengerti. Hari ini aku tidak bisa ke toko, jadi aku minta kau jaga tokoku ya. Itung-itung biar ada kegiatan.”
Nah kan, dugaan Riri tidak pernah salah. Orang itu selalu saja cepat tanggap kalau masalah memanfaatkan sumber dayanya sebagai manusia.
“Doni…,” Riri mendecak, menyebut namanya. Orang yang paling tidak ingin dia sebut sebetulnya. Tapi karena dia adalah sang sepupu dan rumahnya tidak jauh dari toko orang itu. Maka mau tidak mau, Riri kerap kebagian getahnya untuk sesekali membantu persoalan orang itu.
“Kau harus membayarku dengan mahal kali ini,” timpal Riri.
“Iya, iya. Aku tahu. Tapi sekarang bisnisku sedang tidak berjalan terlalu lancar. Nanti kalau sudah berjalan aku akan membayarmu kok, tenang saja. okay?”
"Kau kan tahu sendiri kalau—"
“Iya, aku tahu. Tidak usah diulang lagi. Kepalaku rasanya mau pecah kalau kau mengomel terus. Oh… aku juga punya sesuatu di toko yang waktu itu kau pesan. Aku sudah siapkan jadi sekalian bisa kau ambil juga,” potong Doni cepat sebelum Riri sempat menyelesaikan kalimatnya.
Mendengar ‘sesuatu’ di toko sepupunya Riri akhirnya memilih untuk menyerah. “Baiklah, tapi aku ingatkan kalau benda itu tidak cocok dengan permintaanku maka kau akan aku bunuh.”
“Hehe… dicoba saja dulu siapa tahu cocok. Sampai jumpa lagi, sepupu. Kali ini baik-baiklah pada mereka,” pesan Doni sebelum hubungan telepon di matikan.
“Selalu saja seenaknya.”
***
“Halo?”
“Yo, Angga! Selamat siang oh? Kurasa sudah sore sih sekarang,” kata seseorang di balik telepon. Dia terkekeh dan Angga melirik ke arah jam dinding di ruangan tersebut. Memang sudah pukul tiga sore saat itu. Dari suaranya yang sangat familiar Angga bisa menebak siapa orang iseng yang menghubunginya dengan nomor baru kepadanya saat ini. Tidak lain tidak bukan, temannya yang dulu pernah satu kerjaan meski mereka kemudian berpisah karena keduanya memutuskan resign dan melanjutkan hidup masing-masing.
“Doni, ada apa menelepon?” Meski Angga sebetulnya malas untuk berbasa-basi dengan orang itu, tetapi dia menahan keinginannya untuk menutup telepon dan justru malah menanyakan keperluan pemuda itu kepadanya.
“Masih menganggurkan kau? Aku butuh sedikit bantuan,” kata Doni lagi.
“Bantuan apa? kalau pinjam uang tidak ada.”
“Hei kau sensitif sekali, kenapa kau ini? putus cinta ya? hahaha…” Tawa renyah terdengar dari sana dan seketika Angga mengerutkan keningnya. Dia tampak seperti sedang diolok-olok oleh lelaki yang usianya lebih tua dari Angga.
“Mau mati, kau bangsat!”
“Hei… santai bro, oh? Jangan-jangan betulan.”
“Jangan dibahas.”
“Sorry, aku tidak tahu kalau itu betulan terjadi. Katakan padaku, apa yang terjadi? Kau bertengkar lagi dengan pacarmu?”
Angga menggeleng, meski seseorang di balik telepon tidak akan mengetahuinya. “Aku dicampakan bahkan sebelum aku sempat melamarnya.”
“Kau—apa? hei bung, bukankah itu langkah yang besar? Maksudku kau kan—”
“Aku tahu, aku pengangguran tidak punya masa depan. Dan sekalinya punya uang dari hasil kerja serabutan. Aku tahu. Tidak usah di perjelas,” ungkap Angga sarkas.
“Dengar, putus cinta bukanlah akhir dunia kau tahu. Kau boleh bersedih tapi jangan berlarut-larut. Hidupmu masih panjang dan ada banyak perempuan yang kurasa bersedia menggantikan posisi mantanmu itu. Siapa tahu kau sudah bertemu dengannya belum lama ini.”
“Bicara apa sih kau bangsat. Langsung saja bantuan apa?”
“Sepupuku sedikit resek hari ini. Dia kusuruh menjaga toko-ku, tapi setelahnya dia terus-terusan menerorku. Aku jadi tidak bisa fokus. Karena itu aku meneleponmu supaya kau membantu dia.”
Angga menarik telepon yang beberapa saat lalu menempel di telinganya dan menatap benda itu lekat-lekat seolah-olah dia betulan sedang menatap lurus ke arah orang yang sedang meneleponnya. “Memangnya apa yang bisa aku lakukan untuk membantu dia? Kenal saja tidak.”
“Tidak tahu, pokoknya kau pergi sajalah ke toko dan lakukan Sesutu. Aku sedang diluar sekarang dan tidak memungkinkan untuk pulang. Intinya kau akan tahu apa yang bisa kau lakukan kalau kau sudah bertemu dia secara langsung. Kalau kau belum kenal yang kenalan saja sekalian. Sekilas info saja dia juga baru putus dengan pacarnya lho,” Setelah menjelaskan sesuatu seperti itu Doni langsung menutup teleponnya. Bahkan tanpa merasa perlu mendengar jawaban dari Angga.
“Tidak jelas si bangsat itu. Apa pula tiba-tiba menyuruhku datang ke tokonya segala,” sungut Angga tetapi meski begitu dia tetapi beranjak dari posisinya segera. Kalau dipikir memang dia juga tidak punya kegiatan, jadi sekalian saja kalau dia ke toko si Doni kemungkinan dia jadi bisa sedikit mengeluarkan pemikiran yang tidak perlu dari kepala.
Kalau sudah seperti ini tidak ada pilihan lain selain melihat sendiri apa yang terjadi. Dan orang itu mungkin ada benarnya. Berkenalan dengan orang baru mungkin akan membuat Angga bisa sedikit melupakan kejadian menyakitkan semalam.
Tubuh Riri gemetar sekaligus menggigil hebat tatkala diberi overstimulasi dengan puncak dadanya yang diberi servis tanpa ampun oleh Angga juga vaginanya yang tak luput pula dari jamahan tangannya membuat wanita itu pusing tujuh keliling. Dirinya dibuat mabuk, rasanya dia berada di awang-awang saking enaknya.“Kenapa jangan? Tapi badan kamu sepertinya meminta lebih tuh,” sahut Angga sembari terkekeh. “Kan dari awal kamu sendiri yang memasang vibrator itu disini, kenapa setelah aku mainkan malah jangan?”Riri menggelengkan kepala, dirinya masih belum bisa berpikir jernih dengan pinggul yang bergerak sendiri, membuat Angga makin senang saja.“Mmhhh… Fuck… Anggahhhh,” desah Riri.“Iya, apa?”“Nghhhh… ahhh!”“Apa sayang?” Angga mengangkat dagu Riri, dicengkramnya dagu si cantik itu lalu menatapnya dengan jahil. “Mau apa?”Riri tidak kuasa lagi menahan segalanya, akhirnya dengan mata yang berair dan ekspresi memohon wanita itu berusaha untuk berkata. “Pleaseeee… aku sudah tidak tahan lagi,
“Berani ya, sayang nantang aku begini. Aku tidak akan memberimu waktu istirahat ya sehabis ini,” kata Angga seraya menggeram.Tubuhnya kontan langsung menunduk mempertemukannya pada bibir milik kekasihnya yang telah dihiasi oleh cream strawberry yang menambah kesan manis dibibir tersebut. Kecupan manis berubah menjadi lumatan yang dihiasi oleh desahan halus tatkala gigi Angga menggigit bibir bawah milik kekasihnya, meminta izin untuk bertindak lebih guna dapat menginvasi bibir cantik milik kekasihnya.Riri sendiri, yang bibirnya sedang dikerjai oleh sang adam mulai menggeliatkan tubuhnya. Bibirnya diobrak-abrik oleh sang kekasih, membuatnya langsung secara refleks mengalungkan tangannya pada leher jenjang milik Angga. Riri mendadak merasa pening. Ciuman yang dilakukan oleh sang kekasih kepadanya selalu memberinya efek pening. Rasanya Riri tidak pernah merasa cukup hanya dicium sekali oleh Angga. Dia ingin lagi, ingin lagi, terus menerus tanpa henti sampai pria itu puas dan Riri mendes
Haiii Angga sayanggg! Aku baru selesai pemotretanPesan masuk yang Angga baca lamat-lamat yang saat itu masih berada di singgasananya meskipun sudah menunjukan pukul dua belas siang yang tandanya sudah masuk waktu makan siang. Namun disini, ada yang lebih penting dari pada sekadar mengisi perut. Pesan dari sang kekasih yang sedang menjalani aktivitas pemotretan di salah satu studio foto ternama di kota, membuat senyum terpatri sempurna di wajah si pria. Ya, dia berakhir senyum-senyum sendiri sekarang hanya karena dapat sebuah pesan.Tidak menunggu lama, Angga ketikan balasan untuk pesan yang Riri kirimkan kepadanya.Di tempat lain, wajah Riri sedang dirias ulang karena konsep photoshoot yang akan dilakukan berganti. Hari ini dia di brief untuk melakukan dua kali sesi pemotretan dengan dua konsep berbeda. Sesi pemotretan pertama Riri didandani sedemikian rupa dengan konsep fairytail yang dreamy. Tetapi untuk konsep yang kedua ini, mereka mengusung konsep yang edgy chic bold glam. Diman
Angga menurut, pinggulnya bergerak dengan kekuatan yang nyaris tak terkendali lagi. Tangannya meraih payudara Riri yang bergoyang dan meremasnya kasar, menikmati seberapa lembut dan kencangnya payudara itu di tangannya. Ranjang bergetar hebat, meskipun rangkanya kokoh. Angga bahkan tidak tahu kapan terakhir kali dia berhubungan seks yang seliar dan seintens ini sebelumnya, tetapi kali ini dia sungguh ingin melakukannya sampai dia tidak bisa merasakan apapun lagi.Riri sudah tak sanggup lagi menahan diri. Penis Angga telah memasuki rahimnya dan dia sudah meleleh dalam pelukan Angga. Pergerakannya membuat tubuh Riri melengkung ke dada Angga ketika dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. “ANGGAAAAA!” jeritnya, dan dari vaginanya menyembur cairan cinta yang membasahi penis Angga yang masih menyumpalnya. “NGGGGHHHHH! KELUAR!”Tak mampu lagi menahan godaan yang berasal dari ketatnya dinding-dinding vagina si wanita yang menegang, Angga segera melepaskan diri dari Riri dan mencengkram pinggulny
Riri tersipu ketika Angga mulai menciumi lehernya sementara tangannya sendiri mulai menjelajahi punggung telanjangnya. Keringat mulai membasahi tubuh Riri, lantaran tubuhnya memanas seiring dengan sentuhan yang Angga berikan untuknya. Angga menciumi bagian depan Riri hingga wajah pria itu menempel di dadanya. Riri mengerang keras ketika lidah Angga menjilati puncak dadanya yang sudah mengeras, menggodanya dengan cara yang luar biasa membagi basah dari lidahnya.“Angga… rasanya nikmat sekali…” Riri mengerang ketika pria yang dia cintai itu memanjakan payudaranya dengan lidahnya yang terampil. “Ahhh! Angga!” serunya merasakan Angga melingkarkan penuh bibirnya disekitar puncak payudara Riri, menghisapnya seolah-olah ada ASI di dalamnya.Tangan Angga menyelinap ke bawah Riri untuk menyentuh punggungnya yang melengkung karena sentuhan lembutnya. Dia menghisap payudara Riri dengan penuh perasaan, berniat memberikan Riri kenikmatan sebanyak yang dia bisa. Merasa bosan dengan yang satu, Angga
Satu pukulan menderat di pipi Angga, dan kejadiannya begitu cepat sehingga dia bahkan tidak sempat untuk menghindar. Angga langsung menyentuh pipinya yang dipukul dan berusaha untuk berdiri tegak saat wanita itu memperlihatkan sebuah kertas kusut padanya. “Apa maksudnya ini? Doni bilang padaku kalau kau…” Dia tampak begitu putus asa dan seolah dia tidak tahu bagaimana caranya memproses semua emosi di dalam diri. “Angga, kau menjual dirimu pada perempuan?” katanya lagi yang pada akhirnya membuat Angga memahami alasan dibalik pukulan sang wanita terhadapnya.Sangat wajar sih sebetulnya dia marah, apalagi setelah semua hal yang telah mereka jalani hingga hari ini. Dan lagi Angga pun belum memberikan kepastian bahkan membicarakan soal ini saja padanya tidak. Karena terakhir kali mereka bicara adalah dua bulan lalu saat mereka beradu argument dan tidak mendapati kesepakatan apa-apa soal hubungan diantara mereka.Jadi Angga pun kini hanya bisa menatap wanita yang sedang marah padanya sekara