“Angga!”
Mendengar namanya disebut, pemuda itu berbalik dan tersenyum mendapati si gadis yang tampaknya juga baru tiba. Dia terlihat sangat menawan di matanya.
“Maaf ya, aku terlambat.”
Angga menggeleng. “Kau tidak terlambat, Ay. Aku juga baru tiba,” ujar pemuda itu seraya bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri si gadis, kekasihnya. Tidak lupa diraihnya buket bunga di atas meja dan diserahkannya kepada sang kekasih.
“Terima kasih, Angga,” ucap gadis itu. Dia memandangi buket bunga tersebut dan tersenyum tulus. “Dan ini sangat indah.”
“Kau suka?”
“Tentu saja,” sahut gadis itu tersenyum pada Angga.
Angga lantas menarik kursi untuk gadis itu, baru kemudian dia kembali duduk di kursinya sendiri. Posisi mereka kini saling berhadapan setelah dia duduk.
“Aku jadi penasaran apa yang ada dibalik semua sikap manismu ini,” ujarnya.
“Sebentar lagi kau juga akan tahu,” jawab Angga misterius.
Tak lama pelayan datang dan mereka mulai sibuk memilih menu. Makan malam itu berjalan ringan dan menyenangkan. Angga dan kekasihnya banyak membicarakan hal-hal yang menyangkut keseharian mereka. Angga tidak sedikit pun menyinggung soal niatnya malam itu, dia berpikir untuk menyimpannya dahulu setidaknya sampai seluruh sajian di atas meja habis.
“Angga, sebenarnya ada yang ingin aku katakan,” kata sang kekasih, ekspresinya terlihat begitu serius.
“Silahkan, aku akan mendengarmu.” Satu tangan Angga masuk ke dalam saku jaket. Menggenggam kotak beludru yang rencananya akan dia perlihatkan kepada sang kekasih.
“Aku mau kita putus.”
Namun semua skenario yang ada dikepala Angga tampaknya hanya tertinggal sebatas niat, dan tidak pernah terealisasikan menjadi sebuah kenyataan karena sebelum kata-kata yang telah persiapkan meluncur dari bibirnya, dia langsung harus menerima kenyataan yang bak mimpi ini. Terus terang saja hubungannya dengan sang kekasih baik-baik saja. Lantas kenapa?
Kening Angga berkerut pertanda tidak mengerti atas kata-kata yang gadis itu ucapkan.
“Aku mau kita pisah saja. Kita akhiri hubungan kita.”
Kedua mata si pemuda langsung melebar dan tak berkedip menatap gadis yang duduk di hadapannya. Berbeda dengan dirinya gadis itu tampak tenang dan nyaman seolah dia memang telah menyiapkan segalanya untuk moment ini. Berbeda dengan Angga yang begitu gusar.
“M—maksudmu apa, Ay?”
“Kita tidak bisa bersama lagi,” jelas gadis itu lugas.
“Tapi kenapa?”
“Kita tidak cocok dalam berbagai hal, terlalu banyak perbedaan yang aku rasakan diantara kita dan seiring berjalannya waktu aku tidak bisa menemukan titik tengahnya. Selama ini aku mencoba untuk menolerir semuanya, tetapi aku rasa aku telah mencapai batasku. Aku sudah lelah dengan semuanya. Berpisah adalah jalan terbaik untuk kita. Kau tidak pernah berusaha mengubah situasi kita. Tidak ada kemajuan.”
Angga memejamkan mata berharap ketika dia membukanya semua ini bisa melebur menjadi bunga tidur. Tapi sayangnya ini adalah realita. Sebuah kenyataan yang harus dia hadapi. Kekasihnya memang meminta perpisahan.
Angga menggenggam erat kotak beludru yang dia genggam hingga siku-siku bagian bawah kotak menggores telapak tangannya sendiri. Dia tidak mempedulikan rasa sakit dan perih di tangannya karena kini justru yang lebih sakit adalah bagian lain. Ya, hatinya lebih sakit.
“Jangan bercanda, Ay.” Angga tertawa kering menutupi rasa sakit. Entah kenapa egonya berteriak nyaring pada dirinya untuk melakukan hal itu. Harga dirinya terlalu tinggi untuk hancur di depan gadis yang sudah dia pacari nyaris satu tahun.
“Maaf, tapi aku serius. Aku ingin kita putus.”
Ucapan maaf sama sekali tidak memperbaiki keadaan atau pun kenyataan pahit yang sedang dihadapi oleh Angga.
“Jadi ini hasil dari meminta waktu untuk berpikir?” Kedua mata Angga menatap padanya dengan sendu. Ada sakit yang begitu kentara disana dan dia yakin perempuan itu pasti menyadarinya.
“Maaf, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.”
Seribu kata maaf tidak akan bisa memperbaiki hatinya yang hancur. Sejuta maaf tidak akan mengobati hati yang terluka. Malam itu Angga putus cinta, dan rasanya benar-benar parah.
Motor sport berwarna hitam merah melaju kencang di jalan raya. Beberapa kali nyaris menabrak kendaraan lain dalam upayanya mencari kecepatan. Tentu saja tingkah ugal-ugalan ini mengundang bunyi klakson dari beberapa kendaraan yang nyaris menabraknya.
Namun seberapa banyak orang yang menyumpah serapahinya di jalan tidak dia pedulikan sama sekali. Tapi bukan berarti si pengendara motor adalah si orang gila yang mengemudi untuk mencari kesenangan. Dia hanya sedang dipenuhi dengan emosi tak terkendali ketika dirinya dilanda patah hati. Ya, si pengedara itu adalah Angga. Pemuda yang baru saja dihempaskan jatuh oleh seorang gadis yang pernah berkata bahwa dia mencintainya dan tidak akan meninggalkannya.
Laju motor itu pada akhirnya melambat hingga akhirnya tidak mau melaju lagi.
“AH SIALAN!”
Angga mengumpat ketika melihat jarum penanda bahan bakar motornya mengarah di bagian merah. Dia turun dari kendaraan roda dua tersebut hanya untuk sekadar menendangnya kemudian berjalan tanpa arah.
Angga melangkah di bawah deretan lampu jalan diantara orang-orang yang tengah menikmati malam minggu mereka dengan pasangan masing-masing. Biasanya Angga adalah salah satu dari mereka yang menyukai hal-hal seperti ini. Berjalan di tengah temaram cahaya elektrik buatan manusia ditemani dengan hembusan angin malam yang sejuk. Tapi untuk sekarang dia tidak punya energi untuk menikmati malam minggu.
Bagaimana bisa dia menikmati semua itu jika saat ini saja hatinya tengah diliputi oleh rasa sakit dan amarah yang menyala?
Angga merogoh sakutnya dan mengeluarkan kotak yang berisi benda yang seharusnya kini menghias jari manis kekasihnya. Seharusnya memang begitulah jadinya bila rencana yang dia buat berhasil sukses. Tetapi kini cincin ini sudah tidak bertuan sebab pemiliknya lebih memilih meninggalkan Angga sebelum pria itu sempat menyematkan cincin tersebut di jari manisnya.
Bruk!
Sebuah bahu tidak sengaja menabrak Angga membuat kotak di tangannya jatuh dan memantul di jalan. Berhenti tepat di kaki seseorang yang bergerak cepat memungutnya dan langsung berlari ke arah Angga untuk mengembalikan benda itu.
“Hei, kurasa ini punyamu.”
Angga menunduk menatap kotak beludru yang disodorkan kepadanya tanpa merasa perlu melihat orang yang memberikannya.
“Ambil saja, aku sudah tidak butuh,” ujar Angga sambil lalu.
***
“Orang aneh,” gumam wanita itu sambil membuka kotak di tangannya. Kedua matanya langsung melebar begitu melihat isi dari kotak tersebut. Dengan cepat dia menutup kotak tersebut dan kembali mengejar si pemilik. Namun sialnya si pemuda sudah keburu menghilang dengan cepat, hingga tidak ada lagi sosok tinggi tersebut diantara orang-orang yang dilihatnya.
Wanita itu menatap kotak ditangannya. Bingung harus berbuat apa, pada akhirnya dia memilih menyimpannya ke dalam tas yang dia bawa dan meneruskan langkah sebelum dan tepukan mendarat di bahunya. "Yo Riri! aku datang menjemputmu."
"Doni! dari tadi aku menunggu, kemana saja kau ini?"
Bunyi bel dari pintu kamar hotel yang disewa Aya membuat wanita itu bangun dari sofa dan langsung melangkah menuju pintu. Sebelumnya dia menyempatkan diri untuk merapikan diri dicermin, menginginkan dirinya tampil dalam pernampilan terbaik untuk menyambut sang kekasih hati. Tanpa mengintip lubang pintu dia membukanya dan langsung terkejut mendapati tamu yang datang padanya.“Kenapa kau yang datang?”“Hai, aku dengar dari pacarmu katanya kau disini. Tadi kami bertemu, dan dia bilang dia tidak akan datang jadi dia mengutusku kemari untuk menemanimu,” kata Sinta sang sahabat kentalnya seraya menerobos masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. “Dia sangat sibuk, aku kasihan karena dia benar-benar seperti tenggelam diantara berkas-berkas itu. Dia juga berpesan padaku kalau dia meminta maaf karena tidak bisa menemanimu lagi malam ini,” jelasnya.“Aku tidak percaya.” Aya membuang muka.“Buktinya aku yang disini, bukan pacarmu.”Selepas putus dari Angga, Aya dikenalkan oleh Sinta pada sepupuny
Riri melangkah masuk ke dalam kedai dan langsung mengedarkan pandangannya mencari seorang pria yang beberapa saat lalu menghubunginya untuk bertemu.“Mencari seseorang, Kak?” seorang pramusaji bertanya padanya.Riri menganggukan kepala. “Ya, temanku. Dia mengajakku bertemu disini tetapi sepertinya dia belum datang,” kata Riri menjelaskan.“Mungkin dia terlambat, Kakak bisa duduk dulu sambil menunggu temannya datang,” saran si pramusaji sambil memberi Riri isyarat untuk mengikutinya lalu dia pun di tempatkan di sebuah meja yang berada cukup dekat dengan jendela agar Riri bisa memantau kedatangan Angga juga supaya lelaki itu bisa langsung melihatnya kalau dia datang.“Terima kasih,” kata Riri kemudian.“Mau pesan sesuatu dulu sambil menunggu?” kata si pramusaji lagi setelah Riri duduk nyaman di kursi. “Kami menyediakan banyak hidangan manis yang enak untuk teman minum teh.”Tentu saja Riri tahu itu karena ini kali keduanya, jadi pada akhirnya Riri putuskan untuk memesan teh hangat dan s
Angga tahu bahwa suaranya menggapai wanita itu tadi, tetapi nampaknya dia memilih untuk abai. Dia bergeming dan meneruskan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Angga. Memang seharusnya begitu. Yang tidak lazim adalah dirinya yang masih saja bereaksi padahal wanita itu sudah memutuskannya dengan kejam. Aneh baginya untuk berperilaku seperti pecundang begini gara-gara perempuan.Menyadari ekspresi murung Angga, Riri kontan mengulurkan tangannya guna menggenggam erat jemari Angga yang perhatiannya teralihkan oleh kehadiran si mantan. Memberikan dukungan tanpa kata terhadap pria yang dia cinta. Dia hanya bisa menghela napas, dia pikir segalanya akan berubah seiring waktu. Tetapi setiap kali mereka tidak sengaja berpapasan dan bertemu meski tidak direncanakan Angga selalu saja bersikap demikian. Suasana hati lelaki itu sudah pasti kembali tak karuan karena kemunculan wanita itu disini.“Sebaiknya kita pulang,” kata Angga kemudian.“Tidak, Angga. Kalau kita pulang kau pasti akan kembal
Pagi itu, Riri tidak dibangunkan oleh dering nyaring dari jam weker berbentuk hello kitty kesayangannya. Melainkan oleh benda elektronik berwarna purple metallic yang dia letakan di atas nakas di samping ranjang sebelum dia tidur semalam. Dengan kantuk yang masih menggantung di matanya, wanita berambut hitam tersebut meraih ponsel yang berdering nyaring tersebut tanpa melihat siapa yang memanggilnya di pagi buta.“Ya, Hallo?”“Selamat pagi, Riri.” Suara dari si penelepon langsung secara kontan membuat seluruh kantuk yang ada di matanya hilang seketika. Dia menarik ponsel tersebut dari telinga untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi sekaligus mengkonfirmasi kalau dia tidak salah dengar. Dan ternyata memang benar, dia tidak salah menduga. Kontak yang dia namai dengan Calon pacar tertera di layar ponselnya.“Angga?”“Ya, ini aku.”“Ada apa menelepon pagi-pagi begini?”“Aku cuma mau mengucapkan selamat pagi,” jawab lelaki itu yang seketika membuat senyum Riri merekah dan tentu s
Sinting betul! Akal Angga seakan sengaja dibuang jauh-jauh oleh dirinya sendiri.“Angga sudah… nghhh!”Larangan Nana sudah Angga hiraukan, karena kini jari Angga baru saja meluncur dengan mudah ke dalam liang belakangnya. “Gampang juga masuknya, kau memang suka kalau aku sentuh disini kan?”Kedua mata nana rasanya bergulir ke belakang, tidak menyangka dengan sensasi menyenangkan yang bisa dia dapat akibat dari sumpalan jari Angga pada liang belakangnya. Lidahnya pun bahkan menjulur ke luar memperlihatkan seberapa hilang akalnya. Berusaha sebisa mungkin menata kewarasana karena bila tidak, dia bisa keluar lagi akibat nikmat yang diberi Angga.“Angga, jangan gila. Aku sudah lama tidak disentuh disana, kurasa tidak akan muat.” Jari yang tengah bermain di dalam mulai keluar masuk berusaha menggoda, membuat Nana mengerang kian terangsang.“Kau pembohong, Tante Nana. Buktinya jariku gampang keluar masuk.”Gilanya Angga malah semakin liar bergerak di dalam, ujungnya menekan ke atas mengenai
Nana menjerit kencang kala Anggamenusuknya semakin dalam, pangkal milik si pemuda jelas sekali tercetak pada perutnya yang rata. Nana bergetar hebat menahan nikmat dengan mata yang bergulir ke belakang, berapa kalipun keduanya berhubungan badan, Nana tak pernah terbiasa dengan bagaimana kuatnya si pemuda kala menyiksa titik nikmatnya.Angga kini bertumpu dengan lututnya sebagai penyAnggatubuh, pinggang ramping Nana digenggam tangan besarnya erat, Angga mengangkat pinggul si wanita lebih tinggi, membuat hujamnya kian mantap menancap. Nana mengerang sakit bercampur nikmat, liangnya nyaris hancur karena ditusuk terlalu dalam.Tubuh Nana melenting cukup tinggi, kakinya lurus dengan ibu jari yang seperti menunjuk sesuatu. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri tak kuasa menahan sensasi menyiksa di dalamnya, tangan lentik berusaha menghentikan Angga yang malah menekan perut bagian bawahnya, berusaha mendorong pelepasan si wanita agar segera dibebaskan."Ngaaahhh Anggaaahhhhh!!"Angga men