Jika kemarin Raleigh menunggui Celia siuman karena pingsan di ruang Dokter Stevan, sekarang ia kembali menunggui Celia tersadar setelah mabuk berat. Masih beruntung ia mabuk ditemani Valerie, bukan dengan pria hidung belang tidak bertanggungjawab.
Ada perasaan tidak tega ketika Raleigh melihat Celia begitu terpukul dengan keadaannya. Ia merasa gagal melindungi istrinya.
Kepergian Celia dengan emosi membara dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman. Padahal tujuan Raleigh mencari wanita pendonor sel telur hanya untuk menjadi jembatan bagi mereka agar segera memiliki buah hati. Toh banyak orang tua yang melakukan itu.
Sesederhana itu lah pemikiran Raleigh.
Saat ini, hanya opsi itu yang bisa Raleigh terima tanpa memikirkan perasaan Celia. Ia beranggapan Celia akan setuju karena ia dan perempuan itu tidak harus melakukan hubungan suami istri untuk memiliki anak. Sehingga itu tidak berpotensi melukai Celia lebih dalam.
"Engh..." Celia mulai tersadar lalu Raleigh mengambil segelas susu yang telah ia siapkan.
"Masih pusing?" Raleigh menyentuh dahi Celia.
"Don't touch me!" Teriaknya.
Penyesalan pernah menuruti keinginan Raleigh untuk aborsi dan kecewa dengan kondisinya sendiri yang mengalami menopause dini, membuat emosi Celia memburuk. Juga memiliki pengaruh kuat atas kehidupan Raleigh dan Celia di masa sekarang dan esok.
"Kamu masih hang over. Minumlah susu ini."
Celia menepisnya kasar hingga susu itu terjatuh dan gelasnya pecah.
"Tidak usah sok perhatian! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menjadi ibu dari anakmu dan wanita sialan pilihanmu! Menjijikkan! Lebih baik aku menjadi istri seorang duda yang setia kepadaku dari pada menjadi istri dari suami yang pura-pura setia sepertimu Ral!"
Plak...
Raleigh kembali mendapat tamparan di pipi untuk kedua kali dalam sehari. Tetapi ia tidak marah juga tidak membalas. Karena ia ingat akan sumpah setianya dihadapan kedua orang tua Celia dan Tuhan untuk menjaga dan mencintainya dalam suka maupun duka.
"Tampar aku sebanyak yang kamu mau Cel. Sampai kamu puas agar kamu mengerti if I do only love you. Do it over more!"
Celia menatap Raleigh dengan sorot terluka lalu ia menunduk dan menangis hingga buliran air mata itu berjatuhan membasahi pipi dan selimut.
Tanpa banyak berkata, Raleigh merengkuh tubuh Celia yang selalu menghangatkan malamnya, ke dalam pelukannya. Lalu membelai lembut punggungnya seakan Raleigh berbicara menggunakan sentuhan bahwa ia tidak mau kehilangan sang istri tercinta.
"Aku mandul Ral! Aku tidak akan bisa memiliki anak!"
Raleigh menggeleng. "Kita bisa bertanya pada Dokter Stevan untuk solusi yang lain Cel. Jangan berkecil hati."
"Aku tidak akan bisa menjadi wanita seutuhnya! Aku benci seperti ini! Aku benci raga ini Ral!"
"Aku takut kamu juga akan pergi meninggalkanku. Kamu akan tergoda wanita lain yang lebih sehat." Tangis Celia terdengar memilukan.
Raleigh mengeratkan pelukannya. "Itu tidak akan pernah terjadi. Never!"
Penyesalan atas pilihan aborsi masa lalu dan Celia yang mengalami menopause dini membuat mereka kehilangan kebahagiaan terbesar sepanjang hidup.
Tidak ada cara selain menerima kesalahan masing-masing sebagai satu bagian proses pendewasaan. Raleigh tidak henti hentinya berucap maaf sebanyak yang ia bisa dalam hati agar janinnya memberi pengampunan dan ia bisa mengasihi dirinya dan Celia. Ia sadar menghukum diri sendiri karena kesalahan masa lalu tidak akan membuat Celia hamil.
***
Penyesalan adalah hal yang selalu dihindari tetapi penyesalan memberi dampak positif jika Raleigh dan Celia mampu mengatasinya dengan baik. Penyesalan membantu mereka membuat pilihan yang lebih baik ke depan.
Prahara yang menimpa rumah tangga Raleigh dan Celia masih menjadi rahasia mereka berdua. Setidaknya, hari ini keadaan Celia sudah lebih baik dari pada kemarin. Semalam pun Raleigh memberi kehangatan untuk membuktikan pada Celia jika ia adalah suami yang setia dan bertanggung jawab.
Celia menerima dan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri seperti biasa. Meski Raleigh lah yang lebih mendominasi permainan semalam karena hasrat Celia tidak menggebu.
Pagi ini, Raleigh terbangun setelah alarm berbunyi. Ia menyibak selimut lalu memakai kembali pakaiannya sebelum mandi.
"Kenapa bajuku belum dipilihkan?" Gumamnya setelah selesai mandi keramas.
Biasanya Celia akan menggantung pakaian kerja Raleigh di depan lemari. Begitu juga ketika ia menuju meja makan dan dapur. Tidak ada sarapan yang tersaji padahal Raleigh selalu memilih makan sarapan buatan Celia dari pada membeli di luar.
"Dimana Celia?"
Raleigh mengedarkan pandangan ke setiap sisi rumah yang nampak sepi. Hingga ia menemukan Celia berada di loteng rumah sedang tertawa cekikikan menghadap laptop.
"Celia?"
Menyadari kedatangan Raleigh, ia segera menutup laptop dan melepas headset.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
"Aku...hanya menghibur diri. Kamu sudah siap berangkat bekerja?"
Raleigh mengangguk. "Ya, hari ini impor buah dari Indonesia tiba. Jadi aku harus mengeceknya."
Raleigh bekerja sebagai supervisor food and vegetable di perusahaan retail milik saudara Dad Mark.
"Maaf aku tidak memasak."
Raleigh mendekat lalu memeluk Celia. "Tidak apa apa. Jangan pergi kemana-mana, di rumah saja. Aku usahakan pulang cepat."
Sebelum menaiki mobil, Raleigh kembali menatap rumah dengan perasaan gamang.
"Apa yang Celia lakukan? Mengapa ia begitu bahagia saat di depan laptop?"
Perasaan menyesal menimbulkan gangguan pada fisik Raleigh pagi ini. Ia mengalami gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan sakit kepala. Akhirnya, ia memacu mobil sedan hitam miliknya dengan hati hati menuju Coolworths cabang Plaza Cnr Bessie And kota Armidale di New South Wales Australia. Coolworths adalah sebuah toko ritel yang melayani penjualan daging, buah, sayur segar, dan makanan kemasan yang berdiri sejak 20 tahun lalu dengan beberapa cabang yang tersebar di Australia. Perusahaan ini didirikan oleh sepupu Dad Mark, mertua Raleigh. Posisinya sebagai supervisor of fruit and vegetables didapat dengan usaha keras selepas menamatkan S2-nya di University of New England di Armidale. Raleigh dibantu Dad mendapatkan posisi itu dengan syarat penjualan di dua tahun pertama harus menunjukkan performa bagus. Sadar jika ia telah memiliki tanggung jawab seorang istri dan tidak mau mencoreng nama baik kedua mertuanya, Raleigh bekerja keras hingga tidak kenal waktu. Beruntung, Tuhan berba
Queen Donut Armidale Centro. Tempat yang dipilih Raleigh dan Gerard untuk bersantai. Tempatnya berada di lantai Shop K6 sebelah Coolworths, masih berada di dalam Plaza Cnr Bessie And. Rencana mereka untuk bersantai sambil minum kopi di sore hari saat musim gugur pun batal. Mereka memesan cinnamon donnuts atau donat kayu manis dan donat dengan taburan jimmies dan kacang cincang ukuran besar. Serta dua gelas espresso bermotif cinta. "Kenapa kamu hanya minum espresso-nya saja Ger? Bukankah rasa donatnya begitu nikmat?" Gerard tersenyum tipis. "Aku mau membungkusnya untuk gadis kecilku di rumah. She must like it." Seketika suasana hati Raleigh yang sudah mendung pun berubah menjadi hujan badai karena ucapan Gerard. "Aku pernah membelikannya sekotak donat dengan beragam toping lezat, lalu dia menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Dia bilang itu miliknya dan tidak boleh kuminta atau mamanya." Raleigh berusaha tersenyum meski itu terpaksa. "Apa dia juga menyukai es krim cone?"
Raleigh memandang Gerard tidak percaya. Bagaimana bisa sahabat sekaligus bawahannya itu mengatakan hal demikian? Padahal Raleigh sedang meminta dukungan, nasihat, dan solusi untuk masalahnya. Bukan mendengar penghakiman dari orang lain. Ia cukup sadar atas kesalahan besar di masa lalu yang diperbuat tanpa harus dijelaskan ulang. Ia juga sadar tidak akan bisa mengembalikan calon anaknya kembali ke dalam rahim Celia dengan cara apapun. Sekalipun menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. "Ini adalah karma instan yang layak anda dapatkan pak." "Aku tidak memerlukan penghakimanmu Ger!" "Harusnya Pak Raleigh biasa saja mendengar penghakimanku. Karena itu bagian dari penebusan dosa besar yang bapak lakukan." Ucapnya enteng lalu menyesap espresso-nya. "Aku sudah paham kesalahanku dan kamu tidak perlu mengungkitnya!" Gerard terkekeh. "Don't be angry, atau Tuhan akan memperpanjang derita anda pak." Raleigh pun diam lalu menunduk karena takut Tuhan benar-benar akan membuatnya terjebak dalam m
20.358 Bowman Ave Street, Armidale, New South Wales. Di rumah bercat krem dengan pelataran luas, halaman ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon akasia berbunga kuning, serta dua pohon Smooth-Barked Apple besar di sudut kanan kiri pagar, Celia tengah bersantai di rumah Valerie, sahabat baiknya.Rumah teduh nan nyaman yang hanya dihuni Valerie seorang diri, karena kedua orang tuanya berada di Port Macquarie. Sebuah kota yang terletak di pesisir laut menghadap Samudra Pasifik Selatan. Valerie dan Celia telah bersahabat sejak mereka menepuh strata satu di jurusan yang sama di University of New England. Bahkan, Valerie pula yang membantu Celia untuk belajar menerima pernikahannya dengan Raleigh. Bukan tanpa sebab, Valerie adalah seorang janda. Ia diceraikan oleh suami karena hasutan ibu mertuanya dengan alasan Valerie berselingkuh dengan teman kerjanya. Padahal, Valerie begitu mencintai suaminya dan telah hadir anak diantara mereka. Valerie bersikeras menolak perceraian itu dan bisa mem
"Dimana istriku!" "Dia ada dirumahku." Raleigh menghela nafas lega. Setidaknya Celia tidak pergi ke club untuk mabuk-mabukan atau mencari lelaki single yang bisa dikencani. Ia tidak mau Celia salah paham lalu pergi meninggalkannya. "Bisa minta tolong kamu tunjukkan dimana rumahmu?" Suara Raleigh melembut. "Akan aku bagikan." "Oke terimakasih Vale." Setelah pesan lokasi itu muncul, Raleigh bergegas memacu mobilnya menuju rumah Valerie. Dalam hati, ia bertekad memarahi Celia karena berani keluar rumah tanpa memberitahu atau meminta ijin. Suami waras mana yang tidak marah jika istri pergi meninggalkan rumah tanpa pesan? Sepanjang perjalanan, ia merangkai kata-kata yang tepat untuk membuat Celia mengerti agar tidak mengulangi perbuatannya. Juga, apa kata Dad Mark jika tahu Raleigh belum bisa meluluhkan hati Celia. Mertua laki-laki Raleigh itu sama sekali tidak mengetahui masalah apa yang Celia hadapi. Ini pertama kali Raleigh menginjakkan kaki di rumah asri Valerie. Tanpa basa
"Astaga Celia." Celia menatap Raleigh penuh amarah. Ia tidak suka jika dipaksa untuk menuruti segala keinginan suaminya. Rasa cinta yang selama ini berusaha ia kumpulkan untuk Raleigh, akhirnya perlahan memudar. Ia tidak percaya lagi dengan ucapan cinta suaminya yang dianggap telah berkhianat. "Jangan pernah memaksaku! Aku benci menjadi istrimu! Aku benci kamu Ral! Kalau kamu mau pergi mencari perempuan pendonor sel telur, pergilah!! Dan ceraikan aku!!" Teriakan Celia membuat kegaduhan di halaman rumah Valerie. Ia tidak bisa membiarkan pertengkaran suami istri ini menjadi tontonan warga. "Celia cukup! Ada tetangga yang terganggu dengan pertengkaran kalian! Ayo selesaikan di dalam." Ucap Valerie dengan menatap keduanya. Sedang Raleigh masih mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Da mengusap sedikit darah yang merembes di sudut bibir. Dengan susah payah, akhirnya Valerie bisa mendudukkan mereka berdua dengan ia berada di tengah. Ia ingin menjadi jembatan ked
Raleigh memandang kosong kertas berisi list buah dan sayur dari perkebunan Tasmania yang baru saja datang. Pikirannya masih berkelana mencari cara untuk membujuk Celia pulang dan menerima keinginannya untuk mencari wanita pendonor sel telur. Tapi sayangnya, semakin ia memikirkan cara yang tepat, semakin ia tidak menemukan jawabannya. "Ternyata membujuk wanita yang sangat terluka ternyata tidak mudah." Dengusnya lelah lalu meletakkan bolpointnya. Raleigh beranjak dari duduk lalu menatap lalu lalang kendaraan dari balik kaca jendela ruang kerja. Kepalanya pening memikirkan ini semua sedang ia tidak memiliki teman mengobrol karena Gerard masih sibuk bekerja di kasir. Ia mengambil ponsel lalu mengurungkan niatnya menghubungi Celia. Dia berani taruhan jika istrinya itu masih marah dan tidak mau menjawab panggilannya. Tapi, jika tidak menghubungi Celia, maka Raleigh pantas disebut suami yang terlalu!! "Halo?" Senyum Raleigh pudar karena ponsel Celia dijawab oleh Valerie. "Halo.
"Aku tidak sabar ingin bertemu dan berbicara banyak hal Wil." "Ya ampun Cel, kita bisa melakukan video call setiap saat jika kamu merindukanku." Celia menggeleng dengan mengerucutkan bibirnya. "Aku ingin bertemu lalu kita menonton film bersama. Hal yang sering kita lakukan saat kuliah Wil." Laki laki itu terkekeh. "Kamu ini sudah menjadi istri orang, dan kamu masih suka menonton film?" Celia mendengus kesal. "Jangan membicarakan pria pengkhianat itu lagi Wil. Aku mau bersenang senang denganmu, melupakan hal yang membuatku tidak bisa tidur." "Ayolah Celia, jangan seperti anak SMA baru putus cinta. Kamu memiliki florist yang harus dikelola, lebih baik menyibukkan diri di toko bunga." "Kamu tidak tahu Wil, aku benci toko bunga itu. Itu pemberian pria brengsek itu." Ucap Celia mencibir. Tanpa Celia sadari, di belakangnya, Raleigh menahan kepalan tangan hingga giginya beradu geram. Saking geramnya hingga urat urat di tangan liatnya itu tercetak jelas. Sebagai seorang pria sekaligus