Perasaan menyesal menimbulkan gangguan pada fisik Raleigh pagi ini. Ia mengalami gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan sakit kepala. Akhirnya, ia memacu mobil sedan hitam miliknya dengan hati hati menuju Coolworths cabang Plaza Cnr Bessie And kota Armidale di New South Wales Australia.
Coolworths adalah sebuah toko ritel yang melayani penjualan daging, buah, sayur segar, dan makanan kemasan yang berdiri sejak 20 tahun lalu dengan beberapa cabang yang tersebar di Australia. Perusahaan ini didirikan oleh sepupu Dad Mark, mertua Raleigh.
Posisinya sebagai supervisor of fruit and vegetables didapat dengan usaha keras selepas menamatkan S2-nya di University of New England di Armidale. Raleigh dibantu Dad mendapatkan posisi itu dengan syarat penjualan di dua tahun pertama harus menunjukkan performa bagus.
Sadar jika ia telah memiliki tanggung jawab seorang istri dan tidak mau mencoreng nama baik kedua mertuanya, Raleigh bekerja keras hingga tidak kenal waktu. Beruntung, Tuhan berbaik hati melancarkan urusannya.
"Morning mister Raleigh." Sapa beberapa pegawai Coolworths yang tengah menata produk makanan kemasan di etalase.
"Morning." Balasnya ramah.
Seluruh karyawan Coolworths cabang Plaza Cnr Bessie And menilai Raleigh adalah pria beruntung. Sebagai seorang warganegara asing, tidaklah mudah mencari pekerjaan di Australia. Apalagi posisi sebagai seorang supervisor.
Mereka semua tahu jika Raleigh adalah pria asing asal Indonesia yang menikah dengan anak dari saudara pemilik Coolworths.
Setelah mengambil daftar buah dan sayur yang telah masuk display toko hari ini, Raleigh menuju etalase untuk memastikan tatanan buah dan sayur tersusun dengan baik, beserta harga yang tercantum. Matanya selalu merasa sejuk ketika memandangi sayur mayur hijau yang diambil langsung dari perkebunan yang ada di Geraldton dan Coffs Harbour.
"Kubis, bit perak, kembal kol, daun bawang, lobak, mentimun, selada, serai." Raleigh memberi centang pada masing -masing item kemudian berjalan ke arah buah buahan.
"Apel, buah pir, kesemek, plum, strawberry. Okay, done!"
Lalu Raleigh beralih ke ruangannya untuk mengecek faktur pembelian buah impor yang akan datang hari ini.
Seulas senyum hadir di wajah tampan Raleigh ketika melihat nama vendor buah yang menjadi langganan Coolworths selama tiga tahun ini. Vendor yang selalu mengingatkannya pada Indonesia, negara kelahirannya.
"Pak Raleigh, truk barang sudah sampai." Ucap Gerard, bawahan sekaligus sahabatnya.
"Okay, let's go." Ucap Raleigh bersemangat sembari membawa dokumen.
"Hari yang cerah pak?" Tanya Gerard saat mereka berjalan di lorong menuju deck bongkar muat barang.
Raleigh tersenyum lalu mengangguk. Ia belum ingin berbagi cerita tentang masalah pribadi pada sahabat baiknya ini. "Oh ya, hasil perkebunan dari daerah dingin Tasmania apakah akan datang hari ini?"
"Mereka belum memberi kabar terlambat tapi aku akan memastikan ulang jika bapak memerlukannya."
"Tentu, tolong pastikan ulang agar tidak datang berbarengan dengan barang dari daerah zona beriklim. Aku tidak mau sayur dan buah menumpuk sedang konsumen belum memerlukannya."
Raleigh selalu bekerja dengan baik dan sempurna demi kelangsungan Coolworths cabang ini karena membawahi hidup puluhan kepala rumah tangga, termasuk dirinya. Ia tidak bisa seenak hati libur tanpa alasan yang tidak tepat.
Tiga pekerja laki laki sedang membongkar isi truk buah dari Indonesia. Buah yang diimpor adalah buah yang tidak ada di Armidale selama musim gugur di bulan April seperti saat ini. Pisang, semangka, duku, jeruk Bali, salak, sawo, mangga, jambu biji, dan jambu air.
"Apa tidak ada buah mangga yang sedikit cacat Pak Ral? Saya sangat mau." Bisik Gerard ketika ikut memilah keranjang mangga dengan pekerja yang lain.
Raleigh terkekeh. "Kalaupun ada itu adalah jatahku Ger."
Setelah merampungkan pengecekan buah yang datang dari Indonesia, Raleigh ikut mengawasi penataannya di display toko. Biasanya mangga akan menjadi buah terfavorit yang habis diborong terlebih dulu.
***
"Terimakasih untuk kerja kerasnya hari ini." Raleigh menyodorkan paper bag pada Gerard yang tengah bersiap pulang.
Ia menatap kagum paper bag itu karena tahu apa isinya. "Terimakasih banyak pak, putri kecilku sangat menyukai mangga."
Di Armidale, mangga adalah buah mewah karena tidak bisa ditanam disana. Juga rasanya yang membuat penikmatnya ketagihan.
Senyum Raleigh luntur ketika Gerard menyinggung soal putrinya. Hal itu mengingatkannya kembali pada vonis Dokter Stevan dua hari yang lalu.
Ia tidak mau terus-menerus merenungkan penyesalan masa lalu yang menyebabkan depresi, harga diri yang buruk, ketidakberdayaan, hingga putus asa.
"Apa saya salah bicara? Saya minta maaf."
Raleigh menggeleng. "Kamu tidak salah Ger. It's okay."
"Jangan ragu untuk berbagi cerita dengan saya, siapa tahu saya bisa membantu Pak Raleigh."
Usia Gerard lebih tua empat tahun dari Raleigh, wajar jika ia lebih dewasa menyikapi masalah dan Raleigh menyukai itu.
Raleigh mengangguk. "Kamu ada waktu minum kopi setelah ini?"
Raleigh pikir tidak ada salahnya bercerita pada Gerard tentang masalah ini. Dia butuh seseorang untuk menasehati dan memberinya semangat.
"Sure, where?"
'Apa yang harus kulakukan?' batin Celia. Celia tidak bisa berbuat banyak jika Raleigh meminta sertifikat rumah yang terlanjur ia gadaikan untuk kepentingan foya-foyanya. Demi melupakan kenyataan bahwa dia mengalami menopause dini, Celia berani bertindak sejauh itu. "Ehm ... nanti aku akan mencari sertifikat rumah kita, Ral. Sepertinya aku menaruhnya jadi satu dengan tumpukan ijazahku," Celia berkilah. "Oke, tolong kamu cari. Biar aku bisa segera membawanya ke bank untuk tambahan biaya bayi tabung kita." Usai bicara demikian, Raleigh menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Celia yang mematung penuh kebingungan. Dari mana ia akan mendapatkan uang yang banyak untuk melunasi hutang bank yang tidak sedikit itu? Meminta pada kedua orang tuanya? Tidak! Celia tidak seberani itu apalagi pada Daddy-nya. Lalu, apa yang bisa ia lakukan? *** Hampir dua malam ini Celia tidak bisa tidur memikirkan bagaimana cara melunasi hutang diam-diam itu agar sertifikat tanahnya bi
Valerie tidak bahagia sama sekali saat mendengar ucapan Celia tentang rencana bayi tabungnya bersama Raleigh. Bukankah itu artinya jika seharian ini Raleigh melupakan dirinya itu karena dia berniat akan meninggalkannya lalu kembali ke pelukan istrinya. "Ah... ya, Cel. Aku dengar dan bahagia sekali mendengar kabar baik ini." Kilah Valerie. Padahal hatinya bagai ditikam sebilah pisau hingga menembus ke punggung. "Doakan semua lancar ya, Val." "Kapan kalian akan melakukan bayi tabung itu?" "Secepatnya. Tapi, ada satu masalah yang aku tidak siap jika Raleigh tahu, Val." "Apa?" "Tentang keuangan yang diperlukan untuk bayi tabung." Ucap Celia lirih bernada gelisah. "Maksudmu, kamu tidak memiliki cukup uang untuk melakukan bayi tabung?" Tebak Valerie. Sembari menggeleng pelan, Celia berucap melalui sambungan telfon, "Kamu masih ingat dengan para petugas bank yang datang ke rumah kan?!" "Iya. Kenapa?" Mata Celia tidak lepas dari pintu kamar, dia tidak siap jika Raleigh mengetahui
Saat jam makan siang, Raleigh memilih berdiam diri di ruangannya. Hatinya bimbang saat Celia tiba-tiba ingin kembali dalam pelukannya dan Valerie yang sudah terlanjur dekat dengannya.Perasaan cintanya masih ada untuk Celia, dan mulai berkembang untuk Valerie."Apa yang harus kulakukan?" Gumamnya.Ucapan Celia tadi pagi juga makin menambah kebingungannya. Haruskah ia pergi ke bagian kesehatan Kota Armidale untuk bertanya tentang proses bayi tabung?Jika ia melakukannya maka ia harus melepas Valerie demi istrinya. Lebih tepatnya demi kebahagiaan rumah tangganya.Baru saja berbahagia karena Valerie menerima cintanya bahkan mau menunggunya berpisah dengan cara baik-baik dari istrinya, tapi air mata Celia membuat Raleigh tidak tega. Karena bagaimanapun janji sehidup semati yang telah ia gaungkan di hadapan orang tua, Tuhan, dan para saksi adalah janji yang seharusnya dijalani hingga mati. Tapi satu lagi, mau sampai kapan Raleigh bisa menahan gairahnya ketika Celia tidak bisa melayaninya?
POV RALEIGHEntah sudah berapa minggu aku dan Celia tidak melakukan hubungan suami istri. Malam ini, setelah dia mencurahkan segala kesedihannya karena menopause dini yang dialami, berikut dengan ketakutannya akan kehilangan diriku, aku makin tidak berkutik lagi.Mengapa dia tidak mencoba mencintai dan melayaniku dengan baik sejak dulu? Sejak awal kami menikah?Aku tidak menuntut banyak dari pernikahan kami selain saling memahami, mengisi, dan membalut luka masing-masing. Tapi Celia yang saat itu enggan melepas cinta sejatinya pada William, mantan kekasihnya, membuatku terlunta-lunta sebagai seorang suami yang tidak diinginkan. Tapi kini, semua berbalik arah. Celia memujaku di saat yang kurang tepat. Saat hatiku tidak hanya ada dirinya yang bersemayam."Ral, aku mencintaimu. Tolong jangan tinggalkan aku."Setelah mengatakan itu ia melepas pelukan lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah cairan bening yang aku sendiri tidak tahu apa kegunaannya. Dia meneguknya sedikit lalu me
Setelah memastikan stok sayuran di etalase supermarket tempatku bekerja tersaji dengan tepat, langkahku kembali ke ruangan kerja untuk mengambil tas dan merapikan berkas yang sedikit berserakan di atas meja. Ketika tanganku hendak meraih tas, Valerie menghubungiku."Apa Vale?" "Ral, kamu sudah pulang?" "Sebentar lagi. Kenapa?" Mendengar suaranya yang kalem dan lembut saat berbicara denganku membuat senyum tipis tercetak di bibirku."Aku merindukanmu Ral."Aku tertawa lalu membayangkan wajahnya yang cantik saat duduk di pangkuanku."Tapi sekarang sudah tidak rindu lagi."Senyumku luntur seketika mendengar pengakuannya. "Kenapa? Apa aku berbuat salah?" "Karena aku lebih merindukan Diego dari pada kamu."Aku menghela nafas lega lalu kembali duduk di kursi kerja. "Aku cemburu pada lelaki kecil itu. Andai aku bisa mengajaknya bergulat."Valerie terkekeh sejenak lalu kembali bertanya. "Ral, apa Celia akan pulang sore ini?" Tadi, aku mengatakan pada Valerie perihal kepulangan istriku itu
POV RALEIGH Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan nada dering panggilan dari istriku, Celia. Hatiku berbisik lembut agar tidak menambah luka yang Valerie terima setelah hubungan kami membaik beberapa hari ini. Walau kami tidak resmi berkencan sebagai sepasang kekasih, tapi melihatnya terluka karena ulahku apalagi menjauh dari jangkauanku, semua terasa tidak rela. Aku ingin menjaga hatinya yang sedang bersedih karena tidak bisa menemui putranya karena ulah sang mantan suami. Aku berani jamin jika James masih mencintai Valerie dengan menggunakan Diego sebagai alat untuk memperumit jadwal bertemu mereka. Ah, mengapa dua malam lalu saay kami bertemu aku tidak segera menghantam wajah sialannya itu. "Siapa yang menelfon Ral?" Tanyanya dengan hidung memerah sedang matanya masih sembab.Jemariku terulur menghapus bulir kristal kesedihan itu. "Gerard. Sepertinya dia sudah mantap untuk mengambil cuti agar bisa berlibur dengan keluarganya."Tidak ada cara terbaik selain berbohong pada Vale