Raleigh menatap istrinya, Celia, yang tengah terbaring di ranjang UGD. Ia pingsan setelah Dokter Stevan dengan jelas mengatakan bahwa ia mengalami menopause dini.
Sebuah keadaan dimana perempuan tidak lagi subur karena ovarium tidak lagi memproduksi sel telur. Padahal usia Celia masih tergolong muda, 33 tahun. Namun raganya sudah seperti nenek muda.
Raleigh hanya bisa menatap istrinya dengan tatapan kosong hingga ia siuman, tidak ada keluarga yang dihubungi karena ia yakin Celia hanya terkejut dengan kabar buruk itu lalu pingsan.
"Ral."
Raleigh kembali dari lamunannya ketika Celia memanggilnya lirih. Syukurlah dia sudah sadar setelah pingsan selama satu jam.
"Istirahat lah dulu." Raleigh membantu Celia untuk kembali berbaring tapi ia menolak.
Detik kemudian Celia menangis tersedu-sedu. Ia teringat akan ucapan Dokter Stevan yang benar-benar nyata, bahwa ia tidak akan bisa hamil. Ia tidak sedang bermimpi karena nyatanya ia bisa mengingat kembali dengan jelas ucapan Dokter Stevan.
Ia dan Raleigh tidak akan bisa memiliki anak kandung yang akan meramaikan rumah mereka di hari hari berikutnya. Rumah itu akan sepi dari gelak tawa dan riuh barang berserakan ulah anak kecil.
"Aku mandul Ral." Ucapnya dengan linangan air mata dan suara yang menyayat hati.
Raleigh merengkuh tubuh Celia ke dalam pelukannya sembari mengusap hangat punggungnya. Hanya itu yang bisa Raleigh berikan, tanpa kata kata penyemangat. Toh Raleigh juga sedang berduka atas kabar ini. Ia bahkan tidak bisa menghibur dirinya sendiri apa lagi menenangkan istrinya yang mungkin lebih terpukul darinya.
Bagi wanita bersuami manapun, mengalami menopause dini sebelum memiliki anak adalah petir yang tak akan pernah berhenti menggelegar sepanjang kehidupan.
Apa bedanya berduka karena kematian dengan berduka karena istri tidak akan bisa hamil? Inti cobaan itu sama, hanya konteksnya yang berbeda.
Jika kematian membawa raga itu pergi, maka menopause dini membuat sel telur itu tidak dihasilkan lagi.
"Bagaimana ini Ral? Bagaimana? Aku takut Ral." Ucap Celia dengan meraung sedih.
Tanpa Celia bertanya pun Raleigh juga tidak bisa menemukan jawaban selain tawaran Dokter Stevan.
Adopsi.
Atau
Mencari perempuan pendonor sel telur atau egg donation woman.
"Ayo kita pulang, ini sudah hampir larut malam." Ajak Raleigh di tengah tangis istri yang belum kunjung reda.
Di dalam mobil menuju kediaman mereka yang ada di Gordon Saint di Armidale New South Wales, keduanya hanya diam. Sibuk dengan bayangan buruk hari esok yang tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapinya.
Raleigh menuntun Celia yang begitu rapuh menuju rumah bertingkat satu itu. Rumah yang berdiri di atas pelataran luas, berada di kawasan tenang, dan bukan padat penduduk. Rumah yang dibangun oleh keluarga Celia sebagai hadiah pernikahannya dengan Raleigh.
Lelaki yang telah memperkosanya tiga tahun lalu.
***
(Flashback)
Raleigh, lelaki muda asal Bali, Indonesia.
Ia beruntung memiliki kecerdasan yang mampu mengantarkannya meraih beasiswa untuk melanjutkan study S2 di salah satu perguruan tinggi yang ada di Australia, University of New England.
Selama menempuh study S2 di negeri kanguru itu, Raleigh kerap berada satu kelas bersama perempuan asli Australia berambut pirang bernama Celia Winstalyn. Keduanya cukup akrab karena Raleigh cukup piawai menjelaskan ulang materi yang disampaikan dosen. Hingga pada suatu hari mereka pergi bersama merayakan malam tahun baru di salah satu club.
Raleigh yang tidak terbiasa dengan minuman keras pun akhirnya terjerembab ke dalam kubangan air setan itu setelah menghabiskan beberapa slot wisky. Pandangannya kabur dan meracau tidak jelas hingga ia berani menyentuh Celia saat berpapasan di toilet.
Celia yang sadar dengan kelakuan Raleigh pun berusaha menghindar namun Raleigh lebih kuat darinya. Ia mendudukkan Celia di wastafel toilet, membungkam mulut Celia dengan ciumannya, menaikkan baju Celia hingga ia bisa menghisap dua gunung kembar yang padat bulat itu.
Tidak berhenti disitu, Celia yang awalnya berontak mendadak lemas ketika ciuman Raleigh membimbingnya untuk merasakan kejantanan Raleigh yang menegang. Mereka gila dengan melakukan hubungan itu di lantai toilet club yang sepi.
Celia menikmati hujaman Raleigh namun tetap berlinang air mata. Aneh!
Dia menikmati juga menolak hingga akhirnya Raleigh mendapatkan apa yang ia inginkan, pelepasan. Jutaan benih itu membasahi ladangnya.
Barulah, Raleigh sadar jika ia telah memperkosa sahabatnya sendiri. Celia masih terisak dengan tubuh telanjang di atas lantai. Ia tidak menyangka jika Raleigh menidurinya dengan cara yang tidak terhomat di tempat yang tidak terhormat pula.
Satu tamparan di pipi Raleigh ketika Celia telah memakai kembali pakaiannya. Juga lontaran cacian kotor untuknya karena menjadi lelaki yang tidak tahu malu.
Sebagai laki-laki, ia tidak bisa menyembunyikan penyesalan dan ketakutan hingga akhirnya keluarga Celia meminta Raleigh mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia sangat bersedia untuk itu.
Lalu pernikahan itu terjadi tanpa cinta, tanpa senyum kebahagiaan, dan tanpa suka cita dari keduanya.
"Aku tidak mau mengandung benih dari laki laki sepertimu Ral." Ucap Celia sunggguh sungguh setelah acara pernikahan mereka selesai digelar.
"Jadi, jangan pernah taburkan lagi benihmu dalam rahimku!!"
"Apa kamu akan meninggalkanku demi lelaki lain padahal belum genap sehari kita menikah?"
Raleigh menuntun tubuh lemah istrinya menuju kamar tidur mereka berdua. Kamar yang biasa mereka gunakan untuk saling bersentuhan dan berbagi cerita tentang susah senang hidup. Itupun ketika Celia lelah mengeluhkan pernikahan yang tidak ia harapkan lalu memutuskan bersedia mencintai Raleigh. Dalam hati Raleigh, ia masih terus menyangkal vonis Dokter Stevan. Berharap hasil laboratorium itu salah atau tertukar dengan milik orang lain. Tertukar? "Cel, aku ke mau ke toilet sebentar." Ucap Raleigh setelah memastikan istrinya sudah duduk dengan benar. Bukan ke toilet, tetapi ia menuju ruang tengah dan mengambil gagang telfon kabel. Tapi sayang sekali, ketika panggilan terhubung, Dokter Stevan sudah selesai praktik dan hanya asisten perawat yang menjawab. Ia hanya bisa menghela nafas panjang lalu lalu duduk termenung. Harapannya, Dokter Stevan memberi kabar jika hasil pemeriksaannya tertukar. Namun sepertinya itu tidak mungkin. Raleigh harus belajar menerima cobaan ini meski ia tidak
Di rumah bertingkat satu yang tidak terlalu besar itu, Raleigh tinggal berdua dengan istrinya, Celia. Rumah bernuansa cat putih gading itu terlihat selalu rapi, bersih, dan indah dipandang mata. Maklum saja, Celia pandai merawat rumah dan taman kecil indah di depan rumah. Ia memiliki bisnis florist yang mendatangkan beberapa bunga dari negara tropis. "Aduh." Keluh Raleigh ketika ia berhasil mencabut tiga serpihan vas kristal yang mengenai telapak kakinya. Namun rasa sakit itu tidak seberapa dengan tamparan yang tadi Raleigh dapatkan dari istrinya. Yeah, Celia menamparnya setelah merasa jengah disudutkan terus menerus dengan permintaan Raleigh mencari perempuan pendonor sel telur. Celia menilai jika mereka tidak bisa memiliki anak karena kesalahan Raleigh menyuruhnya melakukan aborsi. Ah, bukan menyuruh melainkan memaksa Celia melakukan aborsi. Saat itu kondisi perekonomian keduanya sedang tidak baik karena belum memiliki pekerjaan pasca menikah. Sedang dokter memberitahu jika Ce
Jika kemarin Raleigh menunggui Celia siuman karena pingsan di ruang Dokter Stevan, sekarang ia kembali menunggui Celia tersadar setelah mabuk berat. Masih beruntung ia mabuk ditemani Valerie, bukan dengan pria hidung belang tidak bertanggungjawab. Ada perasaan tidak tega ketika Raleigh melihat Celia begitu terpukul dengan keadaannya. Ia merasa gagal melindungi istrinya. Kepergian Celia dengan emosi membara dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman. Padahal tujuan Raleigh mencari wanita pendonor sel telur hanya untuk menjadi jembatan bagi mereka agar segera memiliki buah hati. Toh banyak orang tua yang melakukan itu. Sesederhana itu lah pemikiran Raleigh. Saat ini, hanya opsi itu yang bisa Raleigh terima tanpa memikirkan perasaan Celia. Ia beranggapan Celia akan setuju karena ia dan perempuan itu tidak harus melakukan hubungan suami istri untuk memiliki anak. Sehingga itu tidak berpotensi melukai Celia lebih dalam. "Engh..." Celia mulai tersadar lalu Raleigh mengambil segelas susu yan
Perasaan menyesal menimbulkan gangguan pada fisik Raleigh pagi ini. Ia mengalami gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan sakit kepala. Akhirnya, ia memacu mobil sedan hitam miliknya dengan hati hati menuju Coolworths cabang Plaza Cnr Bessie And kota Armidale di New South Wales Australia. Coolworths adalah sebuah toko ritel yang melayani penjualan daging, buah, sayur segar, dan makanan kemasan yang berdiri sejak 20 tahun lalu dengan beberapa cabang yang tersebar di Australia. Perusahaan ini didirikan oleh sepupu Dad Mark, mertua Raleigh. Posisinya sebagai supervisor of fruit and vegetables didapat dengan usaha keras selepas menamatkan S2-nya di University of New England di Armidale. Raleigh dibantu Dad mendapatkan posisi itu dengan syarat penjualan di dua tahun pertama harus menunjukkan performa bagus. Sadar jika ia telah memiliki tanggung jawab seorang istri dan tidak mau mencoreng nama baik kedua mertuanya, Raleigh bekerja keras hingga tidak kenal waktu. Beruntung, Tuhan berba
Queen Donut Armidale Centro. Tempat yang dipilih Raleigh dan Gerard untuk bersantai. Tempatnya berada di lantai Shop K6 sebelah Coolworths, masih berada di dalam Plaza Cnr Bessie And. Rencana mereka untuk bersantai sambil minum kopi di sore hari saat musim gugur pun batal. Mereka memesan cinnamon donnuts atau donat kayu manis dan donat dengan taburan jimmies dan kacang cincang ukuran besar. Serta dua gelas espresso bermotif cinta. "Kenapa kamu hanya minum espresso-nya saja Ger? Bukankah rasa donatnya begitu nikmat?" Gerard tersenyum tipis. "Aku mau membungkusnya untuk gadis kecilku di rumah. She must like it." Seketika suasana hati Raleigh yang sudah mendung pun berubah menjadi hujan badai karena ucapan Gerard. "Aku pernah membelikannya sekotak donat dengan beragam toping lezat, lalu dia menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Dia bilang itu miliknya dan tidak boleh kuminta atau mamanya." Raleigh berusaha tersenyum meski itu terpaksa. "Apa dia juga menyukai es krim cone?"
Raleigh memandang Gerard tidak percaya. Bagaimana bisa sahabat sekaligus bawahannya itu mengatakan hal demikian? Padahal Raleigh sedang meminta dukungan, nasihat, dan solusi untuk masalahnya. Bukan mendengar penghakiman dari orang lain. Ia cukup sadar atas kesalahan besar di masa lalu yang diperbuat tanpa harus dijelaskan ulang. Ia juga sadar tidak akan bisa mengembalikan calon anaknya kembali ke dalam rahim Celia dengan cara apapun. Sekalipun menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. "Ini adalah karma instan yang layak anda dapatkan pak." "Aku tidak memerlukan penghakimanmu Ger!" "Harusnya Pak Raleigh biasa saja mendengar penghakimanku. Karena itu bagian dari penebusan dosa besar yang bapak lakukan." Ucapnya enteng lalu menyesap espresso-nya. "Aku sudah paham kesalahanku dan kamu tidak perlu mengungkitnya!" Gerard terkekeh. "Don't be angry, atau Tuhan akan memperpanjang derita anda pak." Raleigh pun diam lalu menunduk karena takut Tuhan benar-benar akan membuatnya terjebak dalam m
20.358 Bowman Ave Street, Armidale, New South Wales. Di rumah bercat krem dengan pelataran luas, halaman ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon akasia berbunga kuning, serta dua pohon Smooth-Barked Apple besar di sudut kanan kiri pagar, Celia tengah bersantai di rumah Valerie, sahabat baiknya.Rumah teduh nan nyaman yang hanya dihuni Valerie seorang diri, karena kedua orang tuanya berada di Port Macquarie. Sebuah kota yang terletak di pesisir laut menghadap Samudra Pasifik Selatan. Valerie dan Celia telah bersahabat sejak mereka menepuh strata satu di jurusan yang sama di University of New England. Bahkan, Valerie pula yang membantu Celia untuk belajar menerima pernikahannya dengan Raleigh. Bukan tanpa sebab, Valerie adalah seorang janda. Ia diceraikan oleh suami karena hasutan ibu mertuanya dengan alasan Valerie berselingkuh dengan teman kerjanya. Padahal, Valerie begitu mencintai suaminya dan telah hadir anak diantara mereka. Valerie bersikeras menolak perceraian itu dan bisa mem
"Dimana istriku!" "Dia ada dirumahku." Raleigh menghela nafas lega. Setidaknya Celia tidak pergi ke club untuk mabuk-mabukan atau mencari lelaki single yang bisa dikencani. Ia tidak mau Celia salah paham lalu pergi meninggalkannya. "Bisa minta tolong kamu tunjukkan dimana rumahmu?" Suara Raleigh melembut. "Akan aku bagikan." "Oke terimakasih Vale." Setelah pesan lokasi itu muncul, Raleigh bergegas memacu mobilnya menuju rumah Valerie. Dalam hati, ia bertekad memarahi Celia karena berani keluar rumah tanpa memberitahu atau meminta ijin. Suami waras mana yang tidak marah jika istri pergi meninggalkan rumah tanpa pesan? Sepanjang perjalanan, ia merangkai kata-kata yang tepat untuk membuat Celia mengerti agar tidak mengulangi perbuatannya. Juga, apa kata Dad Mark jika tahu Raleigh belum bisa meluluhkan hati Celia. Mertua laki-laki Raleigh itu sama sekali tidak mengetahui masalah apa yang Celia hadapi. Ini pertama kali Raleigh menginjakkan kaki di rumah asri Valerie. Tanpa basa