Dua anak kecil berjalan beriringan dengan dikawal oleh sekitar 100 orang pendekar kuat.
Satu anak memiliki tubuh tinggi, tampan, dan terlihat gagah dengan sebilah pedang di pinggangnya.
Sementara anak kedua tidak terlalu tinggi karena usianya masih 7 tahun, memiliki wajah polos dengan kulit berwarna biru tua.
Mereka berjalan melewati pasar membuat kehadirannya menjadi pusat perhatian semua orang.
“Siapa anak-anak itu? Mengapa mereka dikawal begitu banyak pendekar?” tanya salah satu penduduk yang di dalam pasar.
“Aku juga tidak tahu, yang pasti mereka sepertinya bukan anak sembarangan,” ujar penduduk lain.
“Apa mungkin mereka anak adipati atau patih kerajaan?” penduduk tadi masih penasaran.
“Mungkin saja, tapi lihat anak yang bertubuh kecil itu, dia memiliki kulit berwarna biru. Aneh bukan?” kata penduduk di sampingnya.
“Huss! Jangan keras-keras, jika ucapanmu terdengar oleh mereka, maka habislah riwayat kita.”
“Glek! Sial, kau benar. Ayo cepat! sebaiknya kita pergi saja, tidak baik memandangi rombongan orang besar.”
“Aku kira juga begitu ayo!”
Banyak penduduk atau pedagang yang membicarakan Lintang dan Balada, bahkan beberapa pendekar pun ikut memperhatikan mereka.
Tapi tidak ada seorang pun yang berani berbicara keras karena keduanya sedang dikawal bagaikan raja.
Hal itu karena Lintang dan Balada akan berangkat menuju kediaman Ki Kali.
Ternyata selain kepala pelayan, Ki Kali juga merupakan pemilik sah Toko Lempuyang Malam.
Dia memiliki banyak musuh dari kalangan pendekar, sehingga kemana pun Ki Kali pergi, orang tua itu akan selalu dikawal secara ketat.
Ki Kali juga merupakan pendekar sakti, hanya saja dia tidak pernah menunjukannya kepada orang lain.
Hanya Lintang yang mengetahui hal itu karena saat berbincang di ruangannya, Ki Kali berterus terang serta menceritakan siapa dan dari mana dia berasal.
Tentu saja itu juga berkat desakan Lintang karena sedari awal dia sudah curiga.
Setelah tiba digerbang pasar, Lintang, Balada, Ki Kali dan rombongannya berhenti menunggu kereta kuda yang sedang dibawa oleh dua orang pelayan dari tempat penyimpanan kereta.
Berbeda dengan pasar pada umumnya, pasar katumenggungan Surapala memiliki tempat penyimpanan khusus untuk kereta dan para kuda, sehingga jalanan pasar akan selalu bersih tanpa kuda yang berlalu lalang.
Termasuk keledai milik Balada, keledai itupun di titipkan di tempat penyimpanan.
“Sebenarnya mau ke mana kita, Kusha?” tanya Balada.
“Kita akan ke ruman Ki Kali, Kak. Dia memiliki seorang putra yang tengah sakit, dan aku diminta memeriksanya,” tutur Lintang berterus terang.
“Apa? Kau jangan bercanda, adik kecil. Sejak kapan dirimu menjadi seorang tabib?” Balada mengerutkan kening terkejut dengan pengakuan Lintang.
“Hihihi, aku bukan tabib kak. Tapi sedikit mengerti tentang pengobatan,” Lintang terkekeh.
“Celaka!” Balada menepuk jidatnya sendiri.
“Jangan sampai kau membuat masalah dengan mereka, Kusha,” ucap Balada khawatir.
“Tenang saja kak, aku kan tidak berbuat salah, aku hanya ingin membantu kok. Andai pun aku tidak bisa menyembuhkannya, itu tidak masalah, yang penting kita sudah berusaha,” tutur Lintang membuat Balada terperangah.
Dia tidak percaya adik kecilnya bisa memiliki pemikiran dewasa seperti itu.
“Sial! Sebenarnya apa yang dia makan selama aku tidak ada?” gumam Balada di dalam hati.
“Ayo kak, keretanya sudah datang,” ajak Lintang melihat Ki Kali datang bersama beberapa pelayan.
Tadi Lintang dan Balada menunggu di depan gerbang pasar bersama para pendekar penjaga. Sementara Ki Kali menyusul para pelayan ke tempat penyimpanan kereta.
Dan tidak lama dari itu, dua kereta kuda datang. Mereka berhenti di depan Lintang.
“Mari tuan muda,” Ki Kali turun dari kereta untuk mempersilahkan Lintang masuk lebih dulu.
“Ayo kak,” ajak Lintang.
“Tapi keledaiku?” tanya Balada bingung.
“Keledai anda sudah aku urus, nanti akan ada pelayan yang mengantarkannya ke rumah, tuan Weda,” ungkap Ki Kali.
“Ke-ke rumah? Haisss, bagaimana jika ayah tahu kami ke tempatmu Ki?” Balada panik karena tidak ingin dimarahi sang ayah.
“Hahaha, tidak perlu khawatir tuan. Aku juga sudah menitipkan pesan surat untuk ayah dan ibu tuan. Mereka akan mengerti, percayalah,” tutur Ki Kali.
“Begitu rupanya, baiklah!” angguk Balada menarik napas lega. Sementara Lintang hanya tersenyum sembari menatap Ki Kali.
Selanjutnya rombongan mereka pun melesat meninggalkan pasar katumenggungan.
Lintang dan Balada menaiki kereta kuda bersama Ki Kali, sedangkan para pendekar penjaga berlesatan menggunakan ilmu meringankan tubuh mengawal kereta.
Menjelang sore, rombongan Ki Kali pun akhirnya tiba di tempat tujuan. Mereka berhenti di sebuah halaman luas di depan bangunan megah seperti kaputren kerajaan.
Bagi Lintang, bangunan seperti itu sudah biasa karena setiap orang kaya pasti memiliki kediaman yang mewah.
Tapi bagi Balada, dia terperangah takjub menatap kediaman Ki Kali dengan penuh kekaguman.
“Ayo kak,” Lintang menarik ujung pakaian Badala membuat anak lelaki itu kembali tersadar dari lamunannya.
“Ba-baik,” Balada mengikuti Lintang.
Ketiganya kemudian memasuki rumah dan di sambut hangat oleh para pelayan. Sementara para pendekar penjaga menunggu patuh di depan halaman.
Kediaman Ki Kali terdiri dari 3 lantai, dan kamar putranya yang sedang sakit berada di lantai 2 membuat Lintang dan Balada harus naik menyusuri tangga.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk keduanya sampai karena dipandu langsung oleh Ki Kali.
Mereka kini tengah berada di depan pintu kamar putra Ki Kali yang juga dijaga oleh 4 pendekar.
Saat melihat Ki Kali datang bersama 2 anak kecil, ke 4 penjaga itu langsung menyipitkan mata tidak mengerti dengan apa yang akan dilakukan tuannya.
Mereka heran entah mengapa Ki Kali membawa dua orang bocah ke sana, tidak mungkin bocah-bocah itu adalah tabib karena biasanya seorang tabib sudah memiliki usia lanjut.“Salam Ki,” ke 4 pendekar langsung membungkuk hormat.“Kau tidak perlu sungkan, Jandra. Kalian juga,” ucap Ki Kali kepada mereka.“Ma-maaf Ki, Si-siapa kedua anak ini?” tanya pendekar bernama Jandra.Dia adalah abdi setia yang sudah menemani Ki Kali selama pulahan tahun sehingga berani berbincang dan menanyakan siapa Lintang.“Hahaha, dia adalah tabib muda yang akan memeriksa, putraku,” ungkap Ki Kali membuat ke 4 pendekar disana langsung melebarkan mata terkejut.“Ta-ta-tabib? A-apa anda tidak salah, Ki?” tanya Jandra ragu.Dia mengira Ki Kali sudah stres karena terlalu memikirkan kondisi putranya.“Hahaha, tentu saja tidak. Kalian akan tahu jika sudah melihat hasilnya. Cepat buka pintu,” jawab Ki Kali seraya memberi perintah.Tidak berani membangkang perintah tuannya, Jandra pun lantas segera membuka pintu.Dia menat
“Jangan bilang kalian adalah ...?” Badala mengerutkan kening.“Kakak juga nanti akan tahu setelah lelaki ini sembuh, Kak,” ujar Lintang ikut tersenyum membuat kecurigaan Balada semakin besar.Setelah mengatakan itu, Lintang langsung memulai proses menciptakan ramuan.Karena sekarang dirinya tidak memiliki tenaga dalam, maka proses pembentukan ramuan harus Lintang lakukan secara manual.Lintang menggunakan bejana kayu dan alat tumbuk biasa, dia memasukan semua tanaman obat ke dalam bejana itu.Kemudian meminta salah satu pendekar mengambil bisa ular dari taringnya yang langsung di teteskan ke dalam bejana.“Paman Jandra, tolong haluskan semua bahan ini sampai menjadi serbuk,” pinta Lintang kepada pengawal Raden Mangkukarsa.“Ba-baik tuan,” angguk Jandra patuh.Dia kini tidak berani menatap mata Lintang entah mengapa. Jandra pun langsung menumbuk semua bahan dalam bejana sampai menjadi halus. Tidak sulit bagi dia melakukannya karena memiliki tenaga yang kuat.“Sudah selesai tuan,” ungk
Tapi sebilah pisau kecil berhasil menggores lehernya, sehingga Raden Mangkukarsa harus menderita penyakit Kusta.Pisau kecil itulah yang membawa penyakit tersebut di mana pendekar yang menyerangnya menggunakan racun bakteri kuat untuk melemahkan lawan.Balada yang mendengar cerita itu sungguh benar-benar terkejut. Sedikit pun dia tidak mengira akan bisa bertemu dengan seorang calon raja.Meski bukan penguasa di kerajaan Suralaksa, tapi Raden Mangkukarsa tetap saja merupakan orang besar.Balada segera berlutut memberi hormat, sementara Lintang hanya berdiri saja karena sedari dulu, dia tidak pernah berlutut kepada orang lain selain ayah, ibu, dan gurunya sendiri.Balada sempat menegur Lintang agar ikut berlutut, tapi Raden Mangkukarsa segera mencegahnya. Bahkan dia meminta Balada segera berdiri karena merasa berhutang nyawa kepada Lintang.“Apa benar kau tidak mau menjadi tabibku, tuan kecil?” tanya Raden Mangkukarsa kembali memastikan.Dia merasa sangat disayangkan jika kemampuan Lint
Malam berakhir berganti pagi yang cerah, Lintang dan Balada sudah bangun sedari tadi dengan penuh semangat.Mereka bangun pagi-pagi sekali bukan tanpa alasan, tapi karena pagi itu keduanya akan menghadap Weda dan Ratna Kianti untuk meminta ijin prihal keinginan Lintang berguru.“Tuan muda, anda berdua sudah ditunggu oleh tuan besar di ruang makan,” ucap salah satu pelayan dengan nada sangat sopan.“Baik Mbo, kami segera ke sana,” seru Balada.Setelah mendengar itu, pelayan tadi kembali undur diri dan berlalu meninggalkan Balada di kamar milik Lintang.“Bagaimana, adik kecil?” tanya Balada kembali memastikan.“Aku sungguh ingin berguru kanuragan, kak,” jawab Lintang mantap membuat Balada tersenyum lebar.“Hahaha, kalau begitu, ayo kita temui mereka,” Balada tertawa.“Hmmm,” angguk Lintang.Setelah itu, keduanya lantas berlarian menuju ruang makan. Dan benar saja, ayah dan ibu mereka ternyata sudah di sana menunggu keduanya untuk menyantap sarapan pagi bersama-sama.“Salam ayah, ibu,” B
Seharusnya hari ini Balada telah berangkat ke padepokan. Tapi karena Kusha juga akan ikut berguru, maka hari keberangkatan Balada harus diundur.Hal itu karena ayah dan ibu mereka masih ingin menghabiskan waktu bersama sebelum perpisahan panjang.Balada dan Lintang dibawa kedua orang tuanya pergi bertamasya ke tepi danau, di sana mereka bermain bersama, makan, bercanda, tertawa, serta berbagi cerita tentang keadaan dunia.Lintang mendapat banyak pengetahuan baru dari cerita perjalanan ayahnya saat berdagang. Dia menjadi semakin mengerti akan adat dan kebudayaan penduduk kerajaan Suralaksa.Selain Weda, ibunya juga banyak bercerita tentang indahnya sastra. Ratna Kianti mengajarkan Lintang dan Balada akan makna dari sebuah syair, aksara, dan tanda-tanda kebesaran alam.Lintang dan Balada baru tahu bahwa ibunya ternyata merupakan seorang Cendikiawan.Dia menguasai banyak keahlian bahasa serta berbagai seni dari peninggalan nenek moyang. Ratna Kianti juga begitu lihai dalam bertutur seaka
Sore hari, dua anak lelaki berjalan beriringan menuju sungai besar di pinggir desa.Letak sungai tersebut tidak terlalu jauh dari ke tempat kediaman keluarga Warta. Sehingga Lintang dan Balada dapat tiba dalam waktu singkat.Sebagai seorang pendekar, Balada tidak pernah melepaskan pedang dari pinggangnya. Sementara Lintang tidak membawa senjata apa-apa karena dia belum menjadi pendekar.Tujuan Balada mengajak Lintang ke sungai desa adalah untuk berenang, dia ingin mengajarkan Lintang bagaimana cara berenang di atas air.Balada tidak tahu bahwa sejatinya Lintang adalah perenang ulung. Bahkan bocah itu dahulu pernah bertapa di dalam sungai selama beberapa hari saat berlatih dengan Ki Cokro.Meski kanuragannya hilang, tapi semua pengetahun Lintang tetap ada sehingga dia hanya perlu mengasahnya kembali jika ingin menguasainya.Termasuk berenang dan menyelam, Lintang tidak perlu belajar karena keahlian itu sudah tertanam lama di dalam ingatannya.Biyuuuur!Balada melompat ke dalam air, dia
Brak! Anak muda tadi jatuh tersungkur menghantam permukaan tanah, tapi dia dengan cepat kembali berdiri dengan mata berkilat penuh amarah.“Bangsat! Siapa ka ...?” anak muda itu berteriak keras memaki yang menyerangnya.Namun ketika melihat Balada, dia mulai ragu hingga tidak mampu berkata-kata. Sementara semua temannya serentak melebarkan mata terkejut bukan buatan.Semua orang tahu bahwa Balada adalah pemuda yang jenius dalam bidang bela diri. Sosoknya sangat disegani oleh semua anak di desa Sunjaya. Termasuk oleh kelompok pemuda tadi.Mereka tidak tahu Balada telah pulang karena selama beberapa minggu ini, para pemuda itu bersembunyi di perguruannya takut perbuatan mereka terhadap Lintang tempo hari ketahui oleh saudagar Weda.Tapi ketika tidak ada kabar berita tentang Lintang, mereka pun kembali turun gunung untuk memastikan bahwa aksinya tidak pernah diketahui orang lain.Dan ternyata benar, mereka kembali memenukan Lintang di tepi sungai. Namun ketika akan kembali mencelakain
Setelah menarik napas panjang, Burok Lawe dan semua temannya kembali berlesatan menyerang.Tapi kali ini mereka maju bersama Santana membuat kekuatan kelompok itu menjadi semakin besar.Ahasil, Balada pun terpojok dalam waktu singkat. Bahkan ditubuhnya kini terdapat banyak sayatan luka.Darah mengucur dari tangan, kaki, dan punggung pemuda itu sehingga kekuatan Balada berangsur melemah, membuat dia kesulitan melihat arah gerakan lawan.Hingga pada akhirnya, Balada terkapar tidak berdaya. Dia terlempar jauh setelah menerima tendangan keras dari Santana. “Hahahaha, sudah kukatakan. Kau tidak akan pernah mengalahkanku, Balada,” Santana tertawa senang.Begitu pula dengan Burok Lawe dan para pendekar lain.Awalnya Burok Lawe dan para pendekar tersebut segan terhadap Balada. Bahkan mereka sempat ketakutan dengan jurus pedang yang dikeluarkan lawan.Namun setelah melihat Balada kalah, rasa segan dan takut para pendekar itu sirna berganti kesombongan ingin menghabisi Balada dan adiknya.“Bag