Hal itu karena barang yang Lintang tanyakan merupakan tanaman yang sangat langka bahkan hanya ada satu di toko Lempuyang Malam. Terlebih tidak ada yang mengetahui nama tanaman tersebut kecuali kepala pelayan.
Dan kebetulan pak tua yang Lintang tanya tadi adalah kepala pelayan. Dialah orang bertanggung jawab atas semua barang di toko Lempuyang Malam.
Balada dan semua pengunjung di sana terkejut bukan karena nama tamanan yang Lintang sebutkan. Tetapi karena mendengar Lintang menanyakan harga tanaman yang berada di dalam kotak kaca bersegel emas yang harganya pasti sangat amat mahal.
“Ba-ba—bagaimana kau tahu nama tamanan ini, nak?” tanya sang kepala pelayan terbata.
Dia sadar, bahwa orang yang mengenal nama tanaman langka pasti tahu akan khasiatnya. Dan orang seperti itu tentu bukan manusia sembarangan karena hanya pendekar maha sakti sajalah yang mengetahuinya.
Dalam sekejap Lintang langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Termasuk para pendekar yang juga sedang berburu tanaman langka untuk kepentingan perjalanannya dalam berpetualang.
Mendapati seorang anak kecil menanyakan tanaman di dalam kotak bsegel emas. Mereka pun tentu sangat penasaran dan bertanya-tanya siapakah bocah itu?
Para pendekar sempat terkejut ketika melihat paras Lintang berbeda dengan manusia biasa.
Tapi mereka segera menepis pikirannya tentang paras karena bagi para pendekar, tampang bukanlah yang utama di mana mereka sudah terbiasa menemukan mahluk aneh di luar sana.
Bahkah para siluman, hewan buas, atau mahluk lelembut sekali pun sudah pernah mereka temui sehingga warna kulit di tubuh Lintang tidak menjadi masalah.
Karena yang membuat para pendekar itu penasaran adalah pengetahun Lintang tentang dunia tanaman langka.
“Benar! Bagaimana kau tahu nama tanaman itu, Kusha?” tanya Balada tidak mengerti.
Mendapati Lintang tahu tanaman yang orang lain tidak tahu, Balada semakin merasa heran kepada adiknya.
“Hihihi, aku hanya pernah membaca pada buku yang dulu sempat di bawa oleh tamu ayah dari nagari sebrang, Kak” tutur Lintang menjelaskan.
Dia tentu berbohong karena ayahnya tidak penah menerima tamu jauh apalagi dari nagari sebrang. Namun Balada mempercayainya begitu saja di mana dia sudah lama tidak pulang.
Terlebih ibunya berasal dari nagari sebrang sehinga alasan Kusha sangat masuk akal.
Begitu juga dengan para pendekar, mereka tentu tahu bahwa pengetahun di nagari sebrang jauh lebih maju dari pada kerajaan Suralaksa. Sehingga penjelasan Lintang bisa diterima.
Tetapi tidak dengan kepala pelayan, dia sadar bahwa Kusha sedang berhobong karena pengetahuan tentang Kunyit Darah sangatlah terbatas.
Merasa aneh terhadap kehadiran Lintang, sang kepala pelayan pun segera membawa Lintang naik ke lantai paling atas memasuki ruang pribadinya sebagai tamu kehormatan.
Balada juga ikut mengawal adiknya. Dia semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sana. Namun karena khawatir terhadap Kusha, dia tetap mendampingi bocah kecil itu mengikuti sang kepala pelayan ke lantai atas.
Tapi ketika tiba di depan sebuah pintu besar menuju ruangan tertutup, Balada di hadang oleh 4 pengawal membuat dia tidak bisa masuk. Hampir saja terjadi pertarungan karena Balada sempat mencabut pedang. Namun Lintang segera menghampirinya, mengatakan bahwa dia tidak akan apa-apa.
“Ta-tapi Kusha!” sergah Balada bersikeras.
“Kakak jangan khawatir, paman-paman ini pernah berkunjung kerumah kita. Percayalah! Mereka tidak mungkin menyakiti aku, kak,” tutur Lintang kembali berbohong.
Sang kepala pelayan hanya tersenyum mendengar itu, selanjutnya dia juga ikut berbicara membantu Lintang, meminta Balada menunggu di depan pintu.
“Benar kata tuan Muda, aku tidak akan pernah menyakitinya dan tidak akan berani. Aku hanya ingin berbicara sebentar membahas tentang tanaman yang ingin tuan muda beli,” jelas sang kepala pelayan.
Dia memanggil Lintang sebagai tuan Muda karena percaya Lintang bukanlah bocah sembarangan.
“Cih! Baiklah, tapi jika sekali saja aku mendengar dia berteriak dari dalam, maka aku akan melaporkan toko obat ini kepada tuan tumenggung,” ancam Balada.
“Kami mengerti,” angguk sang kepala pelayan.
Dia tersenyum lembut kepada Balada sebagai tanda persahabatan. Tapi tetap saja, anak lelaki itu masih menanggapinya dengan ketus.
Lintang dan kepala pelayan segera kembali berjalan memasuki ruangan tertutup melewati para penjaga. Semetara Balada menunggu dengan kesal di depan pintu.
Di dalam, Lintang dipersilahkan duduk di atas kusi mewah berbahan kain sutra. Sedangkan sang kepala pelayan duduk di sebrang meja tempat kebesarannya.
“Perkenalkan, namaku adalah Kali Kalingga. Orang-orang kerap memanggilku Ki Kali. Tapi tuan Muda boleh memanggilku apa saja,” ucap sang Kepala Pelayan membukan pembicaraan.
“Salam Ki Kali, maaf jika kehadiranku telah mengejutkanmu,” Lintang berkata layaknya orang dewasa membuat Ki Kali semakin yakin dengan penilaiannya.
“Sudah kuduga, anda ternyata buka anak biasa, tuan,” Ki Kali menyeringai lebar.
“Apa yang Ki Kali butuhkan dariku?” tanya Lintang.
“Itu ...,” sang Kepala Pelayan terperangah mendapati Lintang bisa menebak tujuannya.
“Katakan saja Ki, aku akan membantu jika memang diriku mampu melakukannya,” tutur Lintang.
“Si-si—siapa anda sebenarnya, tuan Muda?” tanya Ki Kali terbata.
Meski dia tidak merasakan adanya energi atau apa pun di tubuh Lintang, tapi entah mengapa dirinya seperti sedang berhadapan dengan seorang penguasa besar membuat Ki Kali merasa segan untuk meminta.
“Hihihi, siapa aku tidak penting Ki.. Aku hanya anak biasa, putra seorang saudagar di katumenggungan ini. Jadi katakan saja apa yang aki inginkan,” jawab Lintang sembari terkekeh membuat Ki Kali langsung menelan ludah mendengarnya.
“A-anu tuan, aku memiliki seorang putra berusia 25 tahun. Tapi sekarang dia sedang terbaring sakit entah mengapa. Sekujur tubuhnya dipenuhi bercak merah membuat dia tidak mampu kemana-mana,” ungkap Ki Kali ragu-ragu.
“Sudah banyak tabib yang aku bawa untuk menyembuhkannya, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mengenali penyakitnya,” sambung Ki Kali.
“Sudah berapa lama putramu menderita penyakit itu, Ki?” tanya Lintang.
“Sekitar 6 bulan tuan, kini tubuhnya kurus kerontang seperti tulang terbungkus kulit,” jawab Ki Kali lirih.
Sudah lama dia mencari seorang tabib berharap dapat menyembuhkan putranya. Namun setiap tabib yang dirinya temui selalu saja langsung angkat tangan setelah melihat penyakitnya.
Tapi ketika melihat Lintang, dan mendengar dia menanyakan sebuah tanaman langka di tokonya. Ki Kali langsung menduga bahwa Lintang sejatinya bukanlah anak biasa.
Dan benar saja, Lintang kini menunjukan jati dirinya bahwa dia jauh lebih dewasa dari apa yang orang lain lihat, membuat Ki Kali semakin percaya bahwa Lintang memiliki pengetahuan luas tentang dunia pengobatan.
“Apa putramu mengalami mati rasa serta lemas pada bagian kaki dan tangan?” Lintang kembali bertanya membuat Ki kali semakin terperangah.
“Be-be—benar tuan,” jawab Ki Kali terbata.
“Celaka, itu adalah penyakit Kusta,” ungkap Lintang membuat Ki Kali sekali lagi langsung melebarkan mata.
“Ku-kusta, tuan?” Ki Kali tidak percaya dia belum pernah mendengar nama penyakit tersebut. Padahal seumur hidupnya telah dia habiskan untuk meneliti dan memahami tanaman obat.
“Benar, penyakit kusta adalah semacam penyakit kulit yang diakibatkan oleh bakteri jahat. Bisa juga karena racun kuat. Penyakit itu tidak mampu membunuh tetapi membuat penderitanya akan tersiksa seumur hidup. Bahkan dampak terparahnya tangan dan kaki putramu bisa buntung serta mengalami kebutaan permanen,” jelas Lintang membuat Ki Kali langsung tersentak kaget menelan ludah.
Namun Lintang lupa belum membayar makanan sehingga terpaksa harus kembali lagi.Dan ketika semua itu selesai, Lintang segera melesat lagi mengejar aura yang tadi sempat terasa. Tapi naas, Lintang kehilangan jejaknya, membuat dia mengumpat panjang pendek memaki rombongan Raden Dahlan, menyalahkan mereka karena telah membuang waktunya.“Sial!” umpatnya.“Garuda merajai langit!” seru Lintang melesat jauh ke cakrawala.“Ke mana dia? Aku sangat yakin dia tadi berada di kota ini,” Lintang mengedarkan pandangan berusaha kembali mencari.Waktu saat itu memang sudah mulai gelap membuat pandangan Lintang menjadi semakin terbatas.Tapi beberapa saat kemudian, telinganya mendengar suara dentingan senjata. “Pertarungan?” Lintang mengerutkan kening.Dia segera berbalik menyipitkan mata memandang ke arah batas kota.“Benar! Ini suara pertarungan, suaranya berasal dari hutan pinggiran kota,” gumam Lintang berbicara sendiri.“Hahaha, aku yakin itu pasti dia,” Lintang tertawa sebelum kemudian melesat
Lintang bersama teman-temannya tidak peduli akan kedatangan kelompok putra sang Adipati.Mereka tetap menyantap hidangan dengan sangat lahap sembari sesekali tertawa menertawakan Lintang.Padahal para pelayan dan pemilik rumah makan sudah sedari tadi gemetaran. Wajah mereka pucat ketakutan tapi tidak mampu melakukan apa-apa.“Hey, Jumu. Cepat bawakan kami makanan enak atau rumah makan ini akan kuratakan dengan tanah!” seru seorang pria muda berpakaian mewah.Dia memiliki tubuh tinggi tegap dengan wajah cukup tampan berusia sekitar 28 tahun.Pada bahunya terdapat sebuah kelat gelang dari emas menandakan bahwa dirinya seorang bangsawan.Namun perangai pemuda itu sungguh buruk, dia memperlakukan orang lain layaknya budak belian yang dapat dirinya perintah sesuka hati.“Ba-baik den,” Ki Jumu sang pemilik rumah makan terbata. Dia segera meminta 4 pelayannya untuk membawakan apa yang diminta putra sang adipati agar tidak menimbulkan masalah.“Duduk, di mana kita ketua?” tanya salah satu be
Ratusan nyawa pendekar berpakaian hitam melayang di tangan kelompok Balada. Hal itu tentu mengejutkan pemimpin mereka. Dia tidak mengira misi perburuannya akan berakhir dengan pembantaian.Begitu pula dengan 30 pendekar kuat yang dibawa sang pemimpin. Mereka sangat geram terhadap pemuda bertubuh biru di pihak musuh.“Ini pasti perbuatan pemuda itu, sial! Tubuhku sangat gatal sekali,” umpat salah satu dari ke 30 pendekar kuat.Tangannya terus menggaruk kesana-kemari membuat hampir seluruh tubuh pendekar itu menjadi lecet memerah.Bahkan sebagian wajah pendekar lain sampai ada yang telah mengucurkan darah akibat cakaran tangannya sendiri.Beruntung ke 30 pendekar itu memiliki tenaga dalam yang mempuni membuat mereka bisa sedikit menahan rasa gatal menggunakan energi.Kesempatan tersebut mereka manfaatkan untuk menghindar menjauhi tempat pembantaian agar dapat memulihkan diri.Tapi rasa gatal dari racun ulat bulu milik Lintang tetap saja menyiksa.Meski sudah ditahan menggunakan banyak
Malam semakin larut mengurung alam dengan kegelapan.Hewan-hewan siang terlelap tidur dipersembunyiannya masing-masing, sementara para nokturnal sedang berpesta dengan mangsa-mangsa mereka.Lintang, Balada, Balangbang, Wirusa, Jaka, Bagas, Ki Larang, Nindhi dan tiga pendekar gadis lain masih bersiaga menunggu buruan mereka datang.Sementara putri Widuri terlelap di dalam kereta yang Balada sembunyikan dibalik semak-semak.Sedangkan para kuda sengaja ditotok oleh Lintang agar tidak menimbulkan suara.Persiapan mereka sudah sangat matang, jebakan, siasat, formasi bertarung, bahkan sampai cara pelarian pun telah Lintang perhitungkan.Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak terduga, sebagian dari mereka akan langsung dapat melarikan diri bersama kereta.Lintang sangat yakin bahwa pihak musuh pasti masih memiliki para pendekar kuat. Membuat dia tidak bisa memastikan apa akan mampu menghabisi mereka atau tidak.Lintang belum tahu entah apa motif utama para pembunuh itu. Tapi yang jelas mer
Hampir 2 jam para pendekar perpakaian hitam menunggu Lintang di atas daratan.Mereka belum berani beranjak karena tahu bahwa Lintang dan putri Widuri masih ada di sana.Namun menunggu membuat para pendekar itu bosan sehingga pada akhirnya sang pemimpin memutuskan untuk memeriksanya ke atas langit.“Kalian siaga di sini, nanti jika pendekar itu turun, baru serang secara bersamaan,” sang pemimpin memberi perintah.“Kami mengerti,” angguk semua pendekar.Tanpa berbicara lagi, sang pemimpin segera naik ke atas langit. Dia melesat sangat cepat menuju gumpalan awan tempat terakhir Lintang bersembunyi.Namun alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati Lintang tidak ada di sana. Dia mengumpat panjang pendek memaki dirinya sendiri karena tidak melakukan ini sedari tadi.“Bangsat! Ke mana dia?” sang pemimpin mengepalkan tangan.Dia heran karena tidak pernah melihat pergerakan dari Lintang sedari awal. Padahal dari sejak tadi, sang pemimpin terus memantau ke atas langit.Karena mengira diriny
Aaaaaaa!Putri Widuri berteriak panik, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkraman bayangan hitam yang membawanya begitu sangat kuat. Membuat gadis itu menangis histeris di ketinggian.Sementara para pendekar di bawah terkejut bukan buatan, terlebih 2 pendekar yang sedang berada di tengah sungai.“A-a—apa yang terjadi? Di-di mana gadis itu?” salah satu pendekar di tengah sungai terbata.“A-a—aku juga tidak tahu, bu-bukankan tadi dia tepat di depan kita?” ujar pendekar lain ikut terbata.“Bangsat! Ada yang ingin ikut campur pada urusan kita,” maki sang pemimpin mengepalkan tangan. Dia menengadah jauh ke atas langit memastikan siapa yang berani lancang mencampuri urusannya.Bagi orang lain mungkin akan sulit melihat pergerakan sosok bayangan hitam. Tapi bagi sang pemimpin, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa yang membawa putri Widuri.Sang pemimpin sangat yakin bahwa pendekar tersebut pasti merupakan pendekar tingkat ruh atau pendekar tingkat awan tahap awal.Tidak banya