Share

BAB 4 - MENGUAK

“Ya, begitulah. Dari gosip yang kudengar, dulu ayah tirinya Geraldy adalah seorang penata rias untuk ibunya. Dulu zamanya kita masih kecil, ibunya adalah artis papan atas. Setelah ayah kandung Geraldy meninggal karena bunuh diri, sang ibu memilih untuk menikah dengan penata riasnya sendiri. Mau tidak mau, Geraldy jadi punya ayah tiri, deh. Bahkan seluruh kekuasaan diserahkan kepada ayah tirinya Geraldy, sedangkan sang Ibu memilih untuk pensiun dari dunia hiburan dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup dengan jalan-jalan,” sambung Daniel memperjelas pernyataannya tadi.

Senyuman kecil yang kaku aku guratkan pada bibir. Tak kusangka latar belakang Geraldy tidak sesempurna bayanganku. Ayah yang bunuh diri? Sungguh tak terbayang jika hal itu terjadi kepadaku.

Salah satu fakta baru tentang Geraldy kutelan bersamaan dengan nasi putihku siang ini.

Aku pun berterima kasih kepada Daniel karena sudah menemaniku makan siang, dan telah memberitahukan fakta baru.

Setelah istirahat siang itu, Daniel harus kembali ke dapur untuk memikirkan makan malam apa yang bergizi untuk semua staff yang bekerja di sini. Kemudian aku pun harus menunggu sampai jam 3 untuk kembali memperbaiki riasan Geraldy setelah dirinya selesai shooting.

***

Tepat pukul 3 sore, aku diarahkan Mas Rudi untuk menyusul ke lokasi shooting. Sebuah mobil mewah lengkap dengan supirnya menjemputku dari gedung Horas Entertainment menuju lokasi shooting.

Entah mengapa, sepanjang perjalanan aku terus memikirkan tentang Geraldy. Sekuat apa pun aku berusaha menghentikannya, tetap saja tidak berhasil.

Aku memikirkan Geraldy bukan karena rasa suka, tentu saja bukan! Aku hanya penasaran dengan kisah keluarganya. Tiba-tiba aku menjadi sedikit bersimpati kepada Geraldy, setelah mendengar cerita dari Daniel tadi.

Mungkin karena aku juga telah kehilangan ayah kandung yang pergi entah ke mana. Makanya aku jadi bisa relate dengan perasaan Geraldy.

“Nama Adik siapa?” tiba-tiba Pak supir mengajakku berbicara dan lamunanku pun buyar.

“Nama saya Jaeryn, Pak. Saya baru aja mulai kerja hari ini,” jawabku malu-malu.

“Oh, begitu, ya, Dik. Tapi saya kok merasa pernah bertemu Jaeryn entah di mana, ya?” Tanya Pak supir lagi.

“Kayanya bapak salah, deh. Saya tidak merasa wajah bapak familiar. Hehehe …”

“Iya, kita memang tidak pernah ketemu. Tapi Jaeryn, kok, kayanya mirip sama seseorang yang saya kenal.”

“Hahaha … muka saya ini memang pasaran, Pak,” candaku canggung.

“Tapi kayanya nggak, sih. Soalnya Jaeryn punya hidung yang mirip banget sama seseorang yang saya kenal,” tukas Pak supir penuh keyakinan.

“Oh gitu ya, Pak … hehehe …” Aku menjawab singkat.

Aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan lagi karena aku merasa hidungku tengah diejek. Bagaimana mungkin ada orang yang hidungnya mirip denganku? Pak supir ini mungkin berniat mencairkan suasana, tapi aku malah jadi kesal. Tetapi diriku semakin kesal lagi karena faktanya, aku akan segera bertemu dengan Geraldy.

***

Setelah tiba di lokasi Shooting, aku lantas menghampiri Geraldy. Di dalam keramaian, aura dingin Geraldy tidak juga berubah menjadi hangat. Bahkan sinar mentari tidak juga berhasil mencairkan aura dingin itu.

Kalau aku perhatikan, Geraldy juga sama sekali tidak ingin berbincang-bincang dengan kru yang ada di sekitarnya. Dia hanya duduk diam di ujung sambil memegang kipas angin mini.

Tampak juga beberapa baris jejeran fans yang rela datang untuk melihat Geraldy. Mereka semua tidak masalah apabila harus berhimpitan dengan banyak orang. Aku yakin mereka sangat iri kepadaku karena aku dapat menyentuh wajah idola mereka ini.

Padahal, sejak pertama bertemu …  aku sudah jengkel dengan orang yang mereka puja-puja ini. Aku tiba-tiba jadi terpikir suatu pelajaran baru. Bahwa sebaiknya tidak perlu berlebihan dalam mengidolakan seseorang, karena kita tidak tahu bagaimana sikap asli orang itu. Geraldy benar-benar memberikan contoh pelajaran yang sangat bagus. Syukurlah aku tidak pernah menjadi fansnya.

Dan ada satu hal lagi yang membuatku kurang nyaman, yaitu: aku jadi ikut-ikutan disorot kamera. Fans yang merekam Geraldy dengan ponselnya, otomatis merekamku juga.

“Yasudahlah, sekalian latihan. Nanti kalau aku sudah terkenal juga bakalan ramai begini,” ucapku dalam hati.

Setelah selesai memperbaiki riasan Geraldy yang luntur akibat keringat, aku meneguk sebotol air putih karena kepanasan. Lokasi shooting ini benar-benar gerah walaupun jam sudah menujukkan hampir pukul 4.

Tidak berniat untuk mencari muka, aku berbaik hati dengan menawarkan sebotol air kepada Geraldy yang masih terduduk malas. Lagi-lagi ia mengabaikanku dan malah berdiri serta melewatiku begitu saja.

Setidaknya sikap dingin itu lebih baik daripada rangkulannya tadi pagi! Astaga! Aku jadi kembali teringat kejadian tadi pagi. Benar-benar memalukan! Aku memukul diriku sendiri dengan botol minuman karena tampaknya aku sudah mulai memikirkan Geraldy lagi.

Dari arah depan, Mas Rudi mendatangiku untuk mengarahkan agar aku ikut duduk di belakang kamera sembari menikmati proses pengambilan gambar.

Para fans yang berjejer di samping kanan lokasi shooting, tampak semakin bersemangat karena menyadari bahwa Geraldy akan beraksi di depan kamera.

Action!” sang sutradara mengarahkan Geraldy dan pemain utama wanita itu.

Aku dengar nama pemain utama wanita itu bernama Victoria. Nama yang cantik sesuai dengan sosoknya. Jika aku punya wajah secantik itu, tentu saja aku akan memilih menjadi aktris seperti dirinya. Tetapi faktanya parasku ini sangat pas-pasan, bahkan aku mengandalkan makeup untuk menutupi kekurangan pada wajahku.

Karena bosan, tangan nakalku kembali berselancar pada internet. Aku mengetik nama Geraldy pada mesin pencari. Sepertinya DNA kepo dalam tubuhku benar-benar tidak bisa dilawan. Semua ini gara-gara cerita Daniel siang tadi.

Ada sebuah artikel yang menarik perhatianku. Judulnya berbunyi “Geraldy mengaku bahwa dirinya adalah seorang indigo.” Dengan sigap, aku langsung membaca artikel itu.

Artikel itu menjelaskan bahwa Geraldy mengaku sudah dapat melihat mahluk halus dari kecil. Geraldy bahkan mengakui bahwa ia dapat berkomunikasi dengan mereka.

“Oh … jadi ini alasan dia berkata bahwa tadi pagi itu adalah temannya,” batinku.

Aku mulai menyadari bahwa Geraldy memang pria tampan yang mempunyai banyak bakat. Sampai-sampai dia bisa berteman dengan mahluk halus. Aku bergurau dengan diriku sendiri, jangan-jangan selama ini dia cuek saja karena sedang berkomunikasi dengan teman beda dunianya itu.

Aku melepas tatapanku dari ponsel. Pandanganku tertuju pada Geraldy yang sedang tersenyum. Yah! Manusia yang tampannya tidak manusiawi itu sedang melempar senyum kepada lawan mainnya. Aku merasa jantungku terhenti karena senyumannya itu. Meskipun sikapnya memang menjengkelkan, tetapi nyatanya mataku tidak bisa berbohonng. Orang ganteng, ya, tetap ganteng.

Geraldy ternyata punya lesung pipi kecil yang mencuat manja saat dia tersenyum. Seandainya dia orang yang ramah, aku pasti sudah tergila-gila kepadanya.

Geraldy membelai lembut wajah Victoria dan mengecup pelan keningnya. Seperti itu lah scenario film menguasai tindakannya sore itu.

Adengan manis itu menstimulusku. Lagi-lagi ingatanku tentang pelukannya tadi pagi mencuat kasar, serta memutar dahsyat di dalam otakku. Walaupun sikapnya dingin, tapi tubuhnya hangat. Sangat hangat!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status