Share

BAB 5 - SATU TENDA

Jam menunjukkan pukul 7 malam, Geraldy akhirnya mendapatkan break untuk makan malam. Aku pun memutuskan untuk makan malam juga, karena sepertinya shooting ini akan berakhir larut.

“Duduk di sini aja Jaeryn.” Mas Rudi mengajakku duduk di sebelahnya untuk berbagi makanan.

“Malam ini kita semua bakalan bergadang. Soalnya shooting harus lanjut sampai subuh,” ungkap Mas Rudi memberikan informasi.

“Hah?” Aku hampir tersedak.

“Iya, udah kejar tayang, nih, dramanya. Terpaksa harus lanjut sampai subuh. Kalau kamu ngantuk, kamu bisa tidur sebentar di tenda Geraldy. Soalnya tenda di sini terbatas. Nanti kalau lagi perlu kamu, aku bangunin, deh,” jelas Mas Rudi.

Mendengar hal itu, aku menjadi tidak berselera menelan makan malamku.

“Berada di sini sampai subuh? Bersama Geraldy? Menggunakan tenda Geraldy? Yang benar saja!” batinku.

Namun mau bagaimana lagi? Mau tidak mau, aku harus mengikuti jadwal Geraldy. Memang ini adalah resiko pekerjaanku. Terpaksa aku mengabari Bunda kalau aku mungkin tidak bisa pulang malam ini.

Setelah selesai makan malam, Mas Rudi memintaku untuk menghapus riasan pada wajah Geraldy. Dia juga ingin aku memasang masker pada kulitnya, karena kulitnya tidak boleh terlihat lelah karena nanti akan bergadang.

Aku pun bergegas menghampiri Geraldy yang duduk di depan tenda. Mimiknya masih saja dingin. Walaupun aku tahu dia sudah lelah, tetapi wajahnya masih saja tampan.

Melihatku yang datang menghampirinya, Geraldy berdiri dan berjalan masuk ke dalam tenda. Setelah itu Geraldy langsung berbaring untuk mengistirahatkan tubuh pegalnya.

“Kancing tendanya,” perintah Geraldy.

“Hah?” jawabku panik.

Geraldy langsung menyambarku dengan tatapan tajamnya. Bahkan tatapan itu membuatku berhenti bernapas selama beberapa detik.

“Jadi lo mau bare face gue diliatin orang-orang?” tanya Geraldy dengan nada kesal.

“Oh, iya. Oke,” jawabku kikuk dan bergegas mengancing tenda.

Situasi ini benar-benar membuatku takut sekaligus canggung. Sebelumnya aku tidak pernah berduaan saja dengan pria di dalam sebuah tenda.

Namun, aku harus ingat bahwa tugasku adalah seorang penata rias. Aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak.

Tiba-tiba Geraldy meraih tanganku ke arah wajahnya, karena ternyata aku telah duduk terbegong selama beberapa saat.

“Butuh waktu berapa lama lagi buat mulai? Lo mau gue telat shooting?” Geraldy memarahiku.

Aku pun segera mengambil kapas dan menuangkan cairan penghapus riasan. Lalu kapas basah itu aku usapkan perlahan pada wajah Geraldy. Mulai dari dahi, mata, pipi, dan bibir. Kulit wajahnya benar-benar kuusap dengan hati-hati.

Setelah bersih dari riasan, kulit polos Geraldy pun terpampang jelas. Ya, tentu saja dia masih sangat tampan. Bedanya mungkin saat memakai riasan, ia terlihat lebih karismatik. Sedangkan saat bare face, Geraldy terlihat lebih imut. Namanya juga blasteran, mau bagaimana pun tetap akan terlihat tampan.

Saat hendak memasang masker pada wajahnya, kudapati bahwa Geraldy sudah terlelap. Dia pasti sudah sangat kelelahan. Karena takut Geraldy akan terbangun, aku memasang masker dengan sangat hati-hati. Dengan sangat terpaksa, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya agar bisa memasang masker dengan tepat dan tidak sampai membangunkan Geraldy.

Benar-benar bukan manusia,” gumamku tanpa sadar.

Sembari menunggu 15 menit untuk melepas masker dari wajah Geraldy, aku membaringkan tubuhku sejenak di sebelahnya. Aku juga sudah sangat kelelahan. Lagian Geraldy sedang tidur, dia tidak akan tahu bahwa aku juga ikutan berbaring. Sungguh hari ini sangat melelahkan.

Setelah beberapa saat memejamkan mata, tiba-tiba aku merasa nafasku tercekat. Dengan spontan aku membuka mata dan kudapati seorang bapak tua dengan pakaian putih yang bersimbah darah tengah mencekikku. Bapak itu mencekikku dengan sangat kuat sampai-sampai aku tak berdaya untuk menepisnya.

“Tolong … aku … dicekik hant ….”

***

Alarm ponselku berdering untuk memberi tahu bahwa sekarang sudah 15 menit. Dalam keadaan syok, aku membuka mataku dan tanpa sengaja menoleh ke arah Geraldy. Mata kami pun bertemu. Aku terbelalak karena menyadari bahwa aku baru saja bermimpi dicekik hantu dan sedaritadi Geraldy sedang menatapku.

Dengan terburu-buru aku langsung bangkit dan mengambil posisi duduk.

“Maaf, tadi aku nggak sengaja ketiduran.” Jelasku.

Geraldy langsung melepas sendiri masker yang tertempel pada wajahnya dan melemparkan lembaran masker bekas wajahnya itu ke wajahku.

“Aw …” aku terkejut dengan sikap kasar Geraldy.

Geraldy tidak mengatakan apa-apa setelah perlakuan kasarnya itu dan malah menatapku sinis. Air mataku hampir saja terjatuh karena merasa terhina dengan tindakan Geraldy barusan. Meskipun memang aku bersalah karena ketiduran, tidak seharusnya Geraldy melemparkan masker bekas ke wajahku.

Rasanya aku ingin berlari ke luar tenda dan pulang.

“Cepetan makeup-in!” bentak Geraldy.

Dengan berat hati, aku berusaha merias ulang wajah Geraldy. Tanganku menjadi gemetaran, berusaha menahan tangis. Aku yakin Geraldy sadar bahwa dia telah melukaiku, tetapi dia memilih untuk cuek saja.

Geraldy benar-benar bukan manusia, karena dia tidak berperikemanusiaan. Dia pikir karena dia tampan dan terkenal, dia bisa semena-mena terhadapku?

Namun aku malah lebih bodoh lagi. Mengapa aku hanya diam saja dan tidak melawan? Apakah karena aku lemah? Atau mungkin … karena aku miskin?

Saat SMA dulu, aku berpikir bahwa dengan memiliki pekerjaan maka hidupku akan membaik. Tapi ternyata … masih saja sama.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status