Share

BAB 3 - HOROR YANG SESUNGGUHNYA

Akhirnya mulai hari ini aku resmi bekerja untuk Horas Entertainment. Aku tertegun melihat orang-orang di sini bekerja begitu keras. Mereka berjalan dengan langkah kaki yang sangat cepat, bahkan terkesan terburu-buru. Dan aku masih saja dengan langkahku yang lamban dan terkesan tidak ikhlas. Aku bahkan menekan tombol lift dengan lesu.

Untuk memasuki lift, aku harus mengarahkan barcode yang tertera pada tanda pengenal yang aku kalungi. Tanda pengenalku itu bertuliskan ‘Jaeryn Salim – Makeup Artist’.

Setelah beberapa saat di dalam lift, aku bertemu dengan beberapa staff lainnya. Aku ingin menegur, tetapi mereka sedang sibuk berbincang ria. Mereka mengosipkan pria idaman mereka yang tak lain dan tak bukan adalah Geraldy. Mereka merasa begitu bersyukur dapat bekerja di sini dan dapat sering bertemu dengan Geraldy. Mereka mengakui bahwa sikap dingin yang ditunjukkan oleh Geraldy adalah sebuah pesona yang sangat mematikan. Pesona yang harus dimiliki setiap pria jika ingin diakui sebagai pria jantan.

Batinku berkata bahwa saking mematikannya pesona dingin itu, para wanita dalam lift ini pun menjadi gila.

Bagaimana mungkin sikap cuek dan dingin itu bisa disebut sebagai sebuah pesona? Ada-ada saja! Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Syukurlah aku tidak berkenalan dengan mereka tadi.

Sebelum membuka pintu kamar rias, aku berdoa. Semoga saja hari ini Geraldy dapat bertindak selayaknya manusia normal. Walaupun ketampanannya itu memang tidak manusiawi. Tetapi cukup wajahnya saja, tingkahnya jangan.

“Selamat pagi,” sapaku kepada Geraldy tanpa berharap dia akan membalas sapaanku. Dan benar saja, dia hanya diam dan memejamkan mata. Mungkin kali ini dia kembali mencoba mencuri waktu untuk tertidur. Atau mungkin kali ini dia sedang menyusun rencana untuk mengerjaiku.

Aku memoles perlahan wajah mulusnya, tak sengaja aku menyadari Geraldy memiliki tahi lalat kecil di dekat bibirnya. Dia juga memiliki goresan munggil di dekat pelipisnya. Aku menebak mungkin dia pernah terjatuh dan mengenai sesuatu yang tajam akibat tamparan seorang wanita. Aku berusaha menahan tawa akibat hayalan bodohku itu.

Hayalanku itu bermula karena ruangan ini sepi sekali. Bahkan kamar mayat masih lebih ramai daripada kamar rias ini. Apalagi dalam ruangan ini hanya ada kami berdua.

Walaupun aku bukanlah orang yang menyukai musik, aku tetap heran mengapa Geraldy sama sekali tidak memutar lagu. Padahal dia adalah pria yang berkecimpung pada dunia musik.

Hmm … Aku baru teringat kalau dia memang adalah pria aneh.

Tiba-tiba saja dia membuka lebar matanya dan menatap ke arahku. Hampir saja aku teriak karena terkejut dan mendadak mati. Mati karena tatapannya itu tiba-tiba saja menjadi begitu lembut. Aku mengalihkan perhatianku dengan mempercepat pengolesan liptint pada bibir tebalnya.

Setelah selesai merias, aku merapikan kosmetik yang berantakan di atas meja rias. Lagi-lagi Geraldy tetap diam dan beranjak meninggalkan kamar rias. Dia tidak memuji ataupun mengkritik.

Aku kembali teringat ucapan Mas Rudi “Jika Geraldy tidak bilang apa-apa berarti dia menyukainya.” Lama-lama ucapan ini dapat menjadi kata-kata mutiara yang berdampak besar pada hidupku.

Aku memegang sebuah liptint yang tadi aku pakaikan pada bibir Geraldy. Aku ingin merapikannya ke dalam tas. Tetapi, liptint itu malah tergelincir dari tanganku.

Ketika aku berusaha mendapatkannya, liptint itu malah bergerak menjauh. Aku maju selangkah, dan liptint itu mundur selangkah. Aku mulai merinding dan ketakutan. Padahal di dalam ruangan ini hanya ada aku.

Karena panik, aku lantas lari menghamburkan diri serta berusaha keluar dari kamar rias yang berbau kamar mayat karena kejadian ini.

Segera setelah aku membuka pintu, aku menabrak dada kekar seorang pria. Kali ini aku benar-benar berteriak. Pria yang aku tabrak itu mendorongku menuju balik pintu dan menutup mulutku. Jatungku semakin berdebar karena sebuah fakta bahwa pria yang aku tabrak dan melingkarkan tangan kirinya padaku adalah Geraldy.

Bola mataku membesar seakan mau lepas dari kantungnya. Geraldy menatapku dengan matanya yang berseri-seri. Lebih tepatnya dia menatapku dengan bola matanya yang indah. Nafasku masih tersengal karena terkejut. Terkejut dua kali.

Aku menutup mataku sejenak untuk menenangkan diri. Geraldy pun melepaskan tangannya dari mulutku. Gilanya dia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Astaga … apa lagi ini!

“Jangan takut. Itu temanku,” bisiknya lembut.

“Teman?” Geraldy menimbulkan tanda tanya besar untuk diriku.

Aku bertanya-tanya mengapa itu temannya dan mengapa dia membisik lembut kepadaku. Temannya adalah hantu dan mengapa hantu mau berteman dengannya. Dan mengapa pula saat ini dia belum juga melepaskan pelukannya. Mau tak mau aku melepaskan diriku dari cengkramannya karena aku mendengar suara langkah kaki mendekati kami.

“Udah siap? Ayo kita segera ke lokasi syuting,” ajak Mas rudi segera setelah dia membuka pintu dan mendapati aku masih benggong dengan wajah memucat.

“Loh, kok, Jaeryn pucat?” Tanya Mas Rudi khawatir.

Disaat yang bersamaan, Geraldy kembali menatapku tajam. Aku menebak kalau Geraldy tidak ingin aku mengadu pada Mas Rudi tentang apa yang telah terjadi di dalam ruangan ini sebelum dia datang. Aku pun menjawab dengan penuh kebohongan dengan mengatakan aku belum sarapan tadi pagi.

***

Aku berniat pergi ke kantin untuk menyantap makan siang. Aku sudah sangat kelelahan karena dihujami begitu banyak pertanyaan sulit yang ditanamkan Geraldy kepadaku pagi tadi.

Aku berputar ke sana ke mari karena tidak tahu di mana kantin berada. Aku pun memutuskan untuk bertanya saja kepada staff informasi. Aku pun turun ke lantai 1 melalui lift.

Di dalam lift aku bertemu seorang pria. Karena ingin berteman dan pria itu terlihat ramah, aku menyapa pria yang terlihat seumuran denganku itu terlebih dahulu. Aku memulai basa-basiku dengan bertanya pada bagian apa dia bekerja. Ternyata dia adalah ahli gizi di sini. Pas sekali aku sedang mencari kantin. Dia pun menunjukkan jalan menuju kantin padaku yang ternyata berada di ujung lantai 1. Kami pun mulai berbincang santai lewat basa-basiku tadi.

Pria yang aku ajak berkenalan itu bernama Daniel. Dia sangat humoris sampai aku terpingkal karena gurauanya. Daniel membuatku merasa sedikit lebih nyaman berada di sini. Dia bahkan menemaniku makan siang hari ini.

“Kamu udah berapa lama kerja di sini? Kok gak pernah kelihatan, ya?” Tanya Daniel.

“Baru hari ini.”

“Ah … pantas saja aku tidak pernah melihatmu. Kamu bekerja sebagai makeup artisnya Geraldy, ya?”

Aku hanya mengangguk megiyakan karena membenci fakta bahwa aku bekerja sama dengan orang yang sangat aneh.

“Baik-baiklah kepadanya. Dia itu anak CEO. Walaupun cuma anak tiri, tapi dia itu tetapi saja harus kamu segani,” tukas Daniel.

“Anak CEO? Anak tiri?”

Aku tertegun dan mendadak berhenti melahap makananku. Aku baru saja mendengar dua fakta yang mengejutkan. Pertama, Geraldy adalah anak CEO. Kedua, dia adalah anak tiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status