Aku menyusun alat makeup ke dalam tas sambil tertunduk murung. Mataku sudah berkaca-kaca, aku tak mampu berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan semua air mata setelah Geraldy kembali memulai shooting.
Setelah bercermin untuk melihat hasil riasan, Geraldy bergegas membuka kancing tenda. Tetapi sebelum ia beranjak ke luar, ia menatapku terlebih dahulu. Karena merasa sedang diperhatikan, aku lantas menegakkan kepala dan menatap tepat pada matanya.
Tanpa basa-basi Geraldy mengusap area mataku dengan ibu jarinya. Aku spontan memundurkan tubuhku karena kaget. Setelah itu Geraldy langsung beranjak ke luar dari tenda tanpa berbicara.
Aku semakin tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Geraldy. Dia bersikap kasar kepadaku dan tidak meminta maaf. Tetapi dia tiba-tiba mengusap mataku saat menyadari bahwa hatiku terluka.
“Maksud dia apa, sih?”
Apa yang sebenarnya sedang Geraldy rencanakan? Dia berniat menyiksaku atau sedang bermain tarik-ulur? Sikapnya itu benar-benar tidak konsisten.
Aku yang tadinya berencana untuk menumpahkan air mata, malah menjadi sibuk mencari jawaban di dalam kepalaku.
Tapi … sisa jari hangat Geraldy masih membekas di mataku. Aku tak kuasa menahan diriku untuk tidak menyentuhnya.
“Dia itu kenapa, sih?” keluhku lagi sambil memegang sebelah mataku.
Tiba-tiba Mas Rudi menghampirku ke dalam tenda.
“Jaeryn …” Panggilan Mas Rudi mengagetkanku.
“Ya, Mas,” balasku.
“Kamu sekarang boleh istirahat dulu, kok. Tidur juga boleh. Nanti aku yang bangunin kalau Geraldy sudah break. Mungkin sekitar 1 jam lagi.”
“Gak usah, Mas. Gapapa. Aku tungguin aja. Aku nggak enak, nih, jadi repotin. Mas Rudi juga bakalan capek jadinya.”
“Udah, santai aja. Kamu, kan, harus fokus juga nanti. Soalnya bakalan ganti look lagi. Kalau kamu ngantuk, nanti hasilnya malah nggak bagus lagi. Bisa bahaya,” tutur Mas Rudi.
Aku mengiyakan tawaran Mas Rudi dan berterima kasih. Setelah Mas Rudi beranjak pergi, aku bergegas mengancing tenda. Ku rebahkan kembali tubuhku yang lelah. Sebenarnya aku mengantuk, tetapi aku takut kalau saja Geraldy tiba-tiba masuk dan memarahiku lagi. Aku pun memilih mejamkan mata dengan posisi duduk.
“Ting-ting-ting.”
Aku tersentak mendengar suara notifikasi ponsel yang asing. Aku menoleh cepat untuk mencari asal suara, tetapi tidak menemukan apapun. Aku pun memutuskan untuk menelusuri sudut tenda untuk menemukan asal suara. Ternyata, ponsel itu milik Geraldy. Aku hafal betul casing ponselnya yang berwarna hitam.
Aku lantas mengambilnya dan berniat untuk memberikannya kepada Mas Rudi. Tetapi, aku malah tidak sengaja membaca pesan yang terpampang pada layar kunci ponselnya. Aku benar-benar tidak bermaksud kepo, tapi pesan itu terlanjur tertangkap kedua bola mataku.
Pesan itu berbunyi,
“Geraldy! Mama sudah bilang, kamu nggak boleh melawan sama papamu! Meskipun dia itu ayah tiri, dia tetap orang tua kamu. Cepetan minta maaf sama papa atau kamu akan Mama coret dari kartu keluarga!”
Aku sangat terkejut melihat pesan itu. Tak kusangka mama Geraldy tega mengatakan hal itu. Bundaku sendiri memang cuek, tetapi ia tidak pernah mengancam untuk mengeluarkanku dari kartu keluarga. Apalagi mama Geraldy tampak lebih memihak suaminya daripada darah dagingnya sendiri.
Geraldy yang kasar, sudah berhasil membuatku pusing. Tetapi melihat hubungannya dengan orang tuanya ternyata tidak akur, menambah beban pikiranku. Memang tidak seharusnya aku peduli … tetapi aku tidak mampu menepis rasa simpatiku terhadap Geraldy. Karena aku tahu, bagaimana rasanya dikecewakan oleh orang tua.
“Jaeryn …” terdengar suara pria memanggil namaku.
Oh tidak, seseorang menangkap basah aku sedang memegang ponsel milik Geraldy. Tamatlah aku.
Aku menengadah cepat. Ku persiapkan mental untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Tapi … ternyata tidak ada siapa-siapa!
“Anjir” celetukku spontan.
Aku langsung menghamburkan diri keluar dari tenda. Aku berlari kecil karena panik. Tapi, segera kusadari di luar tenda tidak ada siapa-siapa. Bahkan, yang terpampang di depan mataku hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi.
“Ke mana semua orang pergi. Ini di mana?”
Tiba-tiba di sekitarku tampak seperti hutan. Gelap, sepi, dan mencekam. Aku merasa seperti tersesat di tempat yang benar-benar asing.
“Jaeryn …”
Suara pria yang memanggil namaku kembali terdengar.
“Aaaaaahhhhhhh …” aku pun menjerit sekuat-kuatnya.
Kali ini aku benar-benar kehilangan akal.
Aku lantas berlari lagi tanpa arah. Yang kulakukan hanyalah berlari sekencang mungkin. Berlari sambil ketakutan dan menoleh ke belakang sesekali.
Sampai tak sengaja kutabrak sebuah pohon beringin dan tubuhku pun terpental jatuh. Ku rasakan darah mengalir perlahan dari kepalaku. Setelah itu, semua yang terlihat hanyalah gelap.
***
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t