Share

BAB 6 – BUNYI PONSEL

Aku menyusun alat makeup ke dalam tas sambil tertunduk murung. Mataku sudah berkaca-kaca, aku tak mampu berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan semua air mata setelah Geraldy kembali memulai shooting.

Setelah bercermin untuk melihat hasil riasan, Geraldy bergegas membuka kancing tenda. Tetapi sebelum ia beranjak ke luar, ia menatapku terlebih dahulu. Karena merasa sedang diperhatikan, aku lantas menegakkan kepala dan menatap tepat pada matanya.

Tanpa basa-basi Geraldy mengusap area mataku dengan ibu jarinya. Aku spontan memundurkan tubuhku karena kaget. Setelah itu Geraldy langsung beranjak ke luar dari tenda tanpa berbicara.

Aku semakin tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Geraldy. Dia bersikap kasar kepadaku dan tidak meminta maaf. Tetapi dia tiba-tiba mengusap mataku saat menyadari bahwa hatiku terluka.

“Maksud dia apa, sih?”

Apa yang sebenarnya sedang Geraldy rencanakan? Dia berniat menyiksaku atau sedang bermain tarik-ulur? Sikapnya itu benar-benar tidak konsisten.

Aku yang tadinya berencana untuk menumpahkan air mata, malah menjadi sibuk mencari jawaban di dalam kepalaku.

Tapi … sisa jari hangat Geraldy masih membekas di mataku. Aku tak kuasa menahan diriku untuk tidak menyentuhnya.

“Dia itu kenapa, sih?” keluhku lagi sambil memegang sebelah mataku.

Tiba-tiba Mas Rudi menghampirku ke dalam tenda.

“Jaeryn …” Panggilan Mas Rudi mengagetkanku.

“Ya, Mas,” balasku.

“Kamu sekarang boleh istirahat dulu, kok. Tidur juga boleh. Nanti aku yang bangunin kalau Geraldy sudah break. Mungkin sekitar 1 jam lagi.”

“Gak usah, Mas. Gapapa. Aku tungguin aja. Aku nggak enak, nih, jadi repotin. Mas Rudi juga bakalan capek jadinya.”

“Udah, santai aja. Kamu, kan, harus fokus juga nanti. Soalnya bakalan ganti look lagi. Kalau kamu ngantuk, nanti hasilnya malah nggak bagus lagi. Bisa bahaya,” tutur Mas Rudi.

Aku mengiyakan tawaran Mas Rudi dan berterima kasih. Setelah Mas Rudi beranjak pergi, aku bergegas mengancing tenda. Ku rebahkan kembali tubuhku yang lelah. Sebenarnya aku mengantuk, tetapi aku takut kalau saja Geraldy tiba-tiba masuk dan memarahiku lagi. Aku pun memilih mejamkan mata dengan posisi duduk.

“Ting-ting-ting.”

Aku tersentak mendengar suara notifikasi ponsel yang asing. Aku menoleh cepat untuk mencari asal suara, tetapi tidak menemukan apapun. Aku pun memutuskan untuk menelusuri sudut tenda untuk menemukan asal suara. Ternyata, ponsel itu milik Geraldy. Aku hafal betul casing ponselnya yang berwarna hitam.

Aku lantas mengambilnya dan berniat untuk memberikannya kepada Mas Rudi. Tetapi, aku malah tidak sengaja membaca pesan yang terpampang pada layar kunci ponselnya. Aku benar-benar tidak bermaksud kepo, tapi pesan itu terlanjur tertangkap kedua bola mataku.

Pesan itu berbunyi,

“Geraldy! Mama sudah bilang, kamu nggak boleh melawan sama papamu! Meskipun dia itu ayah tiri, dia tetap orang tua kamu. Cepetan minta maaf sama papa atau kamu akan Mama coret dari kartu keluarga!”

Aku sangat terkejut melihat pesan itu. Tak kusangka mama Geraldy tega mengatakan hal itu. Bundaku sendiri memang cuek, tetapi ia tidak pernah mengancam untuk mengeluarkanku dari kartu keluarga. Apalagi mama Geraldy tampak lebih memihak suaminya daripada darah dagingnya sendiri.

Geraldy yang kasar, sudah berhasil membuatku pusing. Tetapi melihat hubungannya dengan orang tuanya ternyata tidak akur, menambah beban pikiranku. Memang tidak seharusnya aku peduli … tetapi aku tidak mampu menepis rasa simpatiku terhadap Geraldy. Karena aku tahu, bagaimana rasanya dikecewakan oleh orang tua.

“Jaeryn …” terdengar suara pria memanggil namaku.

Oh tidak, seseorang menangkap basah aku sedang memegang ponsel milik Geraldy. Tamatlah aku.

Aku menengadah cepat. Ku persiapkan mental untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya.

Tapi … ternyata tidak ada siapa-siapa!

“Anjir” celetukku spontan.

Aku langsung menghamburkan diri keluar dari tenda. Aku berlari kecil karena panik. Tapi, segera kusadari di luar tenda tidak ada siapa-siapa. Bahkan, yang terpampang di depan mataku hanyalah pepohonan yang menjulang tinggi.

“Ke mana semua orang pergi. Ini di mana?”

Tiba-tiba di sekitarku tampak seperti hutan. Gelap, sepi, dan mencekam. Aku merasa seperti tersesat di tempat yang benar-benar asing.

“Jaeryn …”

Suara pria yang memanggil namaku kembali terdengar.

“Aaaaaahhhhhhh …” aku pun menjerit sekuat-kuatnya.

Kali ini aku benar-benar kehilangan akal.

Aku lantas berlari lagi tanpa arah. Yang kulakukan hanyalah berlari sekencang mungkin. Berlari sambil ketakutan dan menoleh ke belakang sesekali.

Sampai tak sengaja kutabrak sebuah pohon beringin dan tubuhku pun terpental jatuh. Ku rasakan darah mengalir perlahan dari kepalaku. Setelah itu, semua yang terlihat hanyalah gelap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status