Sebulan setelah kabar hilangnya Panglima Jomara, kerajaan Kuta Waluya semakin di hadapkan dengan kekacauan. Para petinggi istana pun saling menuduh satu sama lain, sehingga menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran tinggi dari sang raja.
Kabar tersebut sudah sampai ke telinga Prabu Erlangga. Hingga tumbuh sebuah gagasan dari Prabu Erlangga untuk segera mengunjungi perbatasan-perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya dan wilayah kerajaan lainnya.Bukan hanya itu, Prabu Erlangga pun berniat mengunjungi kerajaan Randakala sebagai bentuk dukungan dari kerajaan Sanggabuana terhadap pemerintahan kerajaan tersebut, sekaligus memantau perkembangan pembangunan tembok pembatas di wilayah kerajaan Randakala yang merupakan tempat lahir mendiang Prabu Sanjaya--ayahanda Prabu Erlangga.Berkatalah sang raja di hadapan para petinggi istana, yang pagi itu sengaja dikumpulkan untuk membahas terkait permasalahan yang sedang kisruh di kerajaan Kuta WaluyaSetelah tiba di hutan yang masih berada di wilayah Kuta Tandingan, tiba-tiba ada seorang pendekar dengan memacu derap kudanya kencang menghampiri rombongan sang raja yang hendak masuk ke dalam hutan tersebut.Pendekar itu kemudian meloncat turun dari kudanya, ia segera menghampiri rombongan sang raja. Memberi salam hormat sambil berkata, "Hamba menjadi cemas, Gusti Prabu. Karena justru rombongan ini datang terlampau cepat dari rencana. Syukurlah, kalau tidak terjadi sesuatu atas, Gusti Prabu."Panglima Lintang terheran-heran melihat sikap pendekar tersebut yang sama sekali tidak ia kenali. Dada sang panglima berdesir mendengar sambutan dari pendekar itu, tampak sangat ajrih (hormat) terhadap sang raja.Prabu Erlangga berpaling ke arah Panglima Lintang, mereka saling bertatap-tatapan. Kemudian, sang raja berpaling lagi kepada pendekar itu, "Mohon maaf sebelumnya, kau ini siapa, Pendekar?" tanya sang raja tampak penasaran."Ampun, Gusti Prabu. Hamba Jaka Kelana, ha
Tanpa terduga, tubuh Jaka Kelana memutar kencang laksana sebuah gangsing. Sering dengan keluarnya kilatan-kilatan mirip sekali dengan petir dalam tubuh Jaka kelana, dan kilatan petir itu mulai melesat dan mengarah kepada tubuh kedua pendekar itu.Sambaran yang sangat mematikan, Dukiwang dan Kumbolo memekik keras dan tubuhnya berapi-api, laksana kayu kering yang terbakar api hinggap dan berkobar di tubuh kedua pendekar sombong itu.Hingga tubuh mereka pun hangus dan hancur lebur terhantam dahsyatnya jurus Sambar Petir yang dimiliki oleh Jaka Kelana. Bunyi gelegar dan dentuman keras mewarnai ajalnya kedua pendekar tersebut.Kegaduhan tersebut, dirasakan pula oleh sang raja dan rombongan yang sedang berada di dalam hutan. Prabu Erlangga terkaget-kaget mendengar bunyi dentuman dan gelegar bersahutan serta diiringi oleh guncangan bumi."Ada apa gerangan? Seperti ada sebuah kekuatan besar yang sedang berkecamuk di luar hutan ini," ucap sang raja meluruskan pandangannya
Tujuh hari kemudian, sang raja beserta para pengawal pribadinya sudah melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Kuta Gandok, untuk memantau pembangunan jalan dan tembok pembatas antara kerajaan Sanggabuana dengan kerajaan Kundar yang merupakan kerjaan dekat yang selama ini bersikap dingin terhadap kemajuan kerajaan Sanggabuana.Kerajaan Kundar dipimpin oleh seorang raja yang berlatar belakang dari kalangan rakyat biasa dan bukan berasal dari keturunan bangsawan. Prabu Domala dulunya merupakan seorang prajurit senior yang mengambil alih kekuasaan ketika para petinggi istana Kundar sudah tewas semua akibat serangan agresi besar-besaran dari kerajaan Yanang.Berkat dukungan penuh dari mendiang Prabu Sanjaya di masa kejayaan kerajaan Kuta Tandingan, Domala akhirnya mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk menjadi pemimpin di kerajaan tersebut.***Setibanya di lokasi pembangunan tembok raksasa tersebut. Prabu Erlang dengan didampingi oleh Panglima Lintang dan Jaka Ke
Bersamaan dengan kunjungan Prabu Erlangga ke istana kerajaan Randakala, sebuah peristiwa besar sedang berkecamuk di kerajaan Kuta Waluya. Yakni, terbunuhnya Senopati Bidukara secara misterius dan sejauh ini pelakunya pun belum diketahui pasti.Kematian Senopati Bidukara hanya berselang satu bulan dari kematian Panglima Jomara yang ditemukan tewas dengan kondisi tubuh sudah membusuk di suatu lembah yang ada di sebuah hutan di wilayah kerajaan Kuta Waluya."Aneh sekali ... menurut pendengaranku, orang yang membunuh Senopati Bidukara itu jugalah yang membunuh Panglima Jomara," ucap salah seorang penduduk desa berkata lirih di hadapan rekannya."Berarti pelakunya hanya satu orang saja?" sahut rekannya tampak penasaran."Ya, bisa saja seperti itu. Namun, tidak menutup kemungkinan pembunuhnya pun bisa lebih dari satu orang," jawab pemuda berikat kepala hitam."Bersyukurlah, jika Prabu Durdona terbunuh juga," timpal pria paruh baya sembari meraih kopi hitam dalam s
Dalam kondisi susah dan penuh kedukaan, Prabu Durdona sudah pasrah dengan keadaan. Para petinggi istana pun sudah mulai membayangkan apa yang akan terjadi. Mereka mulai menjadi tegang dan berdebar-debar.Mereka telah mendengar, bahwa di luar istana sudah terdapat beberapa prajurit yang siap menggempur istana. Sehingga mereka harus berhati-hati menghadapi para pasukan pemberontak itu."Mereka sudah berkumpul dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari pintu gerbang istana, Gusti Prabu," terang salah seorang prajurit senior mengabarkan kedatangan para pasukan pemberontak yang sudah bersiap menggempur istana."Kita bertahan saja. Bahaya dan terlalu berisiko kalau nekat keluar dari istana!" jawab sang raja datar.Wajahnya seketika pucat dan berkeringat dingin, entah apa yang dirasakan oleh Prabu Durdona kala itu?"Baik, Gusti Prabu. Kami akan berupaya untuk menahan gempuran mereka," pungkas prajurit itu segera kembali ke barisan terdepan bergabung bersama ribuan p
Dengan cepat, Prabu Durdona melakukan serangkaian serangan terhadap Panglima Wihesa berulang-ulang ia menyabetkan pedangnya ke tubuh sang panglima. Namun, bukanlah perkara mudah bagi sang raja untuk bisa mengalahkan panglimanya yang sudah berkhianat itu. Panglima Wihesa sangat tangguh dan tidak mudah untuk dikalahkan begitu saja."Raja yang tidak berguna. Rasakan ini!" Panglima mulai melakukan serangan balasan terhadap Prabu Durdona.Serangan balasan dari Panglima Wihesa ternyata lebih berbahaya dibandingkan dengan serangan yang dilancarkan oleh Prabu Durdona.Hal tersebut diakui oleh sang raja, sehingga ia bergumam, "Benar kata para pendekar di tanah Kuta Waluya, bahwa Wihesa merupakan seorang pendekar pilih tanding."Prabu Durdona kemudian meloncat tinggi hendak menyabet pundak Panglima Wihesa, akan tetapi serangannya kembali menuai kegagalan. Justru sebaliknya, sang raja berhasil ditikam dari arah belakang oleh Panglima Wihesa yang secara tiba-tiba menghilang
Seminggu kemudian, Prabu Erlangga memerintahkan Panglima Lintang dan Jaka Kelana untuk segera mengirim seribu pasukan ke kadipaten Waluya Jaya, dengan maksud membantu niat dari Ki Balong Gandu yang hendak memisahkan wilayah kadipaten Waluya Jaya dari kerajaan Kuta Waluya.Semua sudah menjadi keputusan rakyat Waluya Jaya, karena pemimpin yang baru di kerajaan Kuta Waluya mereka anggap sudah tidak sepaham dan sudah tidak sependapat lagi dengan keinginan rakyat wilayah kadipaten tersebut. Sama halnya dengan kepemimpinan sebelumnya."Aku percayakan misi ini kepada kalian berdua. Jika ada kesulitan ketika berada di sana, sudi kiranya kalian meminta bantuan kepada Adipati Anggadita!" tutur sang raja berbicara di hadapan Panglima Lintang dan Jaka Kelana serta para petinggi istana yang hadir dalam sidang terbatas itu."Baik, Gusti Prabu. Hamba akan melaksanakan tugas ini dengan baik dan bisa memberikan kedamaian penuh bagi rakyat yang ada di wilayah Waluya Jaya," jawab Pangli
Jaka Kelana segera memerintahkan para prajurit untuk segera mendirikan perkemahan di tempat tersebut, sebagai tempat peristirahatan mereka sebelum melanjutkan kembali perjalanan menuju ke kadipaten Waluya Jaya.Para prajurit segera mendirikan perkemahan dan membuat api unggun di beberapa titik yang ada di lokasi tempat peristirahatan tersebut."Kalian di sini dulu, aku mau mencari kayu bakar yang lebih banyak lagi!" ucap Darunda seorang prajurit senior yang berperan sebagai kepala regu dari pasukan tombak."Apakah aku boleh ikut denganmu?" jawab Dirka balas bertanya.Darunda hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, tanda menyetujui permintaan dari anak buahnya itu. Dirka bangkit dan langsung melangkah mengikuti Darunda.Darunda menoleh ke arah Dirka, "Apakah kau berani turun ke sana bersamaku?" tanya Darunda mengarahkan pandangannya ke bawah tebing yang tidak begitu dalam."Kalau sendiri aku memang tidak berani, tapi kalau berdua aku pasti berani," jaw