Mereka memutuskan untuk bermalam di saung tersebut, Senopati Randu Aji sedikit merasa tidak enak badan maka dari itu ia mengusulkan untuk beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan di pagi harinya.
"Sebaiknya, Gusti Senopati beristirahat saja!" kata Panglima Lintang.Senopati Randu Aji hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian ia pun segera berbaring di atas bebalean saung tersebut, pandangannya menerawang jauh ke atas langit-langit saung tersebut.Panglima Lintang diam-diam memperhatikan sikap sang raja. Kemudian ia pun memberanikan diri bertanya kepada sang senopati, "Maafkan hamba, Gusti Senopati.""Izinkan hamba bertanya!" sambung Panglima Lintang.Senopati Randu Aji sedikit berpaling ke arah panglimanya, "Silahkan, Panglima!" jawabnya lirih.Panglima Lintang menganggukkan kepala dan berkata lirih, "Hamba hanya ingin mengusulkan jika diterima. Apakah kita harus mencari para pelaku penyebar wara-wara buruk tentang kematian Ki Sowandaru?Belum sempat membuka topeng dari pendekar itu. Tiba-tiba, datang hembusan angin kencang disertai buih dan asap tebal bergelombang menyelimuti para pendekar yang sudah tewas dan satu pendekar yang masih hidup itu.Tupaseng terkaget-kaget, kalau ia tidak mundur beberapa langkah ke belakang. Mungkin, ia pun akan terbawa masuk dan diselimuti gelombang asap yang disertai angin kencang itu.Asap itu pun bergumpal tebal dan melenyapkan keenam pendekar itu dari tempat tersebut. Entah siapa pelakunya, yang jelas hal itu dilakukan oleh orang yang sangat sakti dan mempunyai tingkat keilmuan tinggi."Aku rasa itu dilakukan oleh para pemberontak yang berada di Alas Gandok. Hal ini, harus segera kita laporkan kepada sang raja!" ujar sang senopati berkata lirih.Panglima Lintang berpaling ke arah Senopati Randu Aji, Berkatalah ia, "Tempat ini sudah tidak aman, kita harus segera berlalu dan melanjutkan perjalanan!"Ki Jasukarna pun sependapat dengan Panglima, "Ya, kamu bena
Martapada teramat murka dan ia segera membentak Panglima Lintang dengan kalimat-kalimat yang terlampau kasar dan tidak beradab, hingga sang panglima pun tidak bisa mengendalikan amarahnya."Kurang ajar," ucap Panglima Lintang segera mencabut kedang pusaka pemberian dari Ki Jasukarna.Meyaksikan kemarahan Panglima Lintang, Senopati Randu Aji, Ki Jasukarna dan lainnya hanya tersenyum-senyum mengamati pergerakan Panglima muda itu."Kau boleh melumpuhkan anak buahku. Namun, kau tidak akan pernah bisa mengalahkan aku dan Jajakilana," ucap Martapada sesumbar di hadapan sang panglima.Panglima Lintang tidak menghiraukan apa yang diucapkan oleh Martapada, ia segera mengerahkan kekuatan dan menodongkan pedang pusakanya dan langsung menyabetkan pedang tersebut ke arah Martapada.Memang sesuai dengan perkataan yang dilontarkannya, Martapada bukanlah pendekar biasa. Gerakan-gerakannya teramat lihai dan menarik perhatian penuh daripada yang menyaksikan laga pertarungan s
Setibanya di istana, Senopati Randu Aji dan Panglima Lintang serta beberapa orang yang ikut dengan mereka, mendapat sambutan hangat oleh para abdi dalem istana dan juga para petinggi kerajaan yang saat itu sedang berkumpul di pendapa bersama sang prabu.Para dayang istana pun segera diperintahkan oleh sang raja untuk menjamu mereka dengan makanan dan minuman istimewa, "Silahkan duduk!" ucap Prabu Erlangga tersenyum hangat menyambut kedatangan Biksu Yan Tong dan kedua muridnya serta Ki Jasukarna."Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Biksu Yan Tong memberi hormat kepada sang raja.Begitu pula dengan Ki Jasukarna dan kedua murid Biksu Yan Tong, sebelum duduk mereka memberi hormat dengan menundukkan badan di hadapan sang rajaSenopati Randu Aji didampingi oleh istrinya--Nyimas Arumbi, sudah duduk di samping Prabu Erlangga yang didampingi oleh Nyimas Arimbi sebagai permaisurinya.Sementara Panglima Lintang duduk sejajar bersebelahan dengan Biksu Yan Tong, Ki Bayu S
Prabu Durdona terus mengalami kegagalan dalam merancang strategi penyerangan terhadap kerajaan kecil di selatan wilayah kerajaannya. Hingga dalam benaknya tumbuh rasa ketidak percayaan terhadap para punggawanya sendiri."Hamba rasa ini semua harus dihentikan sejenak, sejauh ini kita sudah banyak kehilangan wadiya balad, Gusti Prabu!" Panglima Bidukara berbisik lirih kepada sang raja.Prabu Durdona menghela nafas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan sembari berpaling ke arah sang senopati, "Tetapi aku tidak bisa melepaskan diri dari keinginan kuat untuk menguasai kerajaan kecil itu, tentunya sangat mempengaruhi jiwa dan pikiranku ini," ujar Prabu Durdona."Sepertinya kita memang harus berupaya keras dalam menguasai kerajaan kecil yang kaya akan sumber daya alam itu. Akan tetapi, ada baiknya jika jeda terlebih dahulu, Gusti Prabu!" Senopati Bidukara menyahuti ucapan Prabu Durdona dan menyarankan untuk menghentikan rencana serangan berikutnya.Tiba-tiba, Prabu
Ketika tiba di belakang istana, Pramudita dan Wihesa berpapasan dengan kedua sosok pria berjubah merah. Dari masing-masing punggung kedua pria tidak dikenal itu tampak menyanggul sebilah pedang."Hai! Siapa kalian?" teriak Wihesa segera menghampiri kedua pria tersebut.Pramudita pun tidak tinggal diam, ia segera melangkah menghampiri Wihesa yang sudah berhadap-hadapan dengan kedua pria berjubah merah itu."Kami adalah dua iblis merah," jawab salah satu dari kedua pria itu berkata penuh kelembutan dan tidak menampakkan sikap angkuh di hadapan Wihesa dan Pramudita."Apa maksud kedatangan kalian ke istana ini?" tanya Pramudita dengan sorot mata tajam memandang wajah kedua pria yang mengaku sebagai iblis merah itu.Mereka tampak santai dan tidak bereaksi apa-apa. Meskipun, Wihesa dan Pramudita sudah pasang kuda-kuda dan siap melakukan serangan. Berkatalah salah satu dari kedua pria yang menamakan diri mereka sebagai dua iblis merah itu, "Mohon maaf atas kelancan
Kemudian, Panglima Jomara kembali mengarahkan pandangannya ke sekeliling tempat tersebut. Berteriaklah ia, "Wihesa ... keluarlah!"Namun, tetap saja tidak ada sahutan, sehingga emosi di dalam kepala Jomara semakin meningkat, "Jangan jadi pengecut kau!" teriaknya lagi sembari menghentakkan tanah, sehingga menimbulkan guncangan seperti gempa.Tanpa terduga, Wihesa dan Pramudita sudah berada pada jarak tidak terlalu jauh dari posisi Panglima Jomara, Wihesa dan Pramudita tertawa mengekeh, "Hahahaha ...." Dan mereka segera berbalik badan.Dengan sorot mata tajam dan sinis menatap wajah Panglima Jomara yang termangu-mangu di hadapan mereka.Panglima Jomara tampak kaget, ternyata yang membawanya tiba di lembah itu, benar-benar kedua panglima yang selama ini menjadi pesaingnya di kerajaan yang selalu berbeda pendapat dengannya.Panglima Jomara tampak geram dan marah besar terhadap kedua petinggi istana itu, yang dengan sengaja merancang siasat untuk membinasakannya, "Kalian a
Sebulan setelah kabar hilangnya Panglima Jomara, kerajaan Kuta Waluya semakin di hadapkan dengan kekacauan. Para petinggi istana pun saling menuduh satu sama lain, sehingga menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran tinggi dari sang raja.Kabar tersebut sudah sampai ke telinga Prabu Erlangga. Hingga tumbuh sebuah gagasan dari Prabu Erlangga untuk segera mengunjungi perbatasan-perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya dan wilayah kerajaan lainnya.Bukan hanya itu, Prabu Erlangga pun berniat mengunjungi kerajaan Randakala sebagai bentuk dukungan dari kerajaan Sanggabuana terhadap pemerintahan kerajaan tersebut, sekaligus memantau perkembangan pembangunan tembok pembatas di wilayah kerajaan Randakala yang merupakan tempat lahir mendiang Prabu Sanjaya--ayahanda Prabu Erlangga.Berkatalah sang raja di hadapan para petinggi istana, yang pagi itu sengaja dikumpulkan untuk membahas terkait permasalahan yang sedang kisruh di kerajaan Kuta Waluya
Setelah tiba di hutan yang masih berada di wilayah Kuta Tandingan, tiba-tiba ada seorang pendekar dengan memacu derap kudanya kencang menghampiri rombongan sang raja yang hendak masuk ke dalam hutan tersebut.Pendekar itu kemudian meloncat turun dari kudanya, ia segera menghampiri rombongan sang raja. Memberi salam hormat sambil berkata, "Hamba menjadi cemas, Gusti Prabu. Karena justru rombongan ini datang terlampau cepat dari rencana. Syukurlah, kalau tidak terjadi sesuatu atas, Gusti Prabu."Panglima Lintang terheran-heran melihat sikap pendekar tersebut yang sama sekali tidak ia kenali. Dada sang panglima berdesir mendengar sambutan dari pendekar itu, tampak sangat ajrih (hormat) terhadap sang raja.Prabu Erlangga berpaling ke arah Panglima Lintang, mereka saling bertatap-tatapan. Kemudian, sang raja berpaling lagi kepada pendekar itu, "Mohon maaf sebelumnya, kau ini siapa, Pendekar?" tanya sang raja tampak penasaran."Ampun, Gusti Prabu. Hamba Jaka Kelana, ha