“Kamu di sini aja, nggak usah ikutin saya.”“Tapi, Maa … as.” Fika membuang napas panjang. Berdiam sebentar, lalu memutuskan pergi keluar pengadilan. Mencari tempat duduk yang nyaman, untuk beristirahat dan melihat kembali jadwal Abi setelahnya. Sementar Abi, segera pergi menuju kantin karena sudah membuat janji dengan seseorang. Sesampainya di sana, Abi melihat wanita itu duduk sendiri dan sibuk dengan ponselnya. Dengan segera, Abi menghampiri dan duduk di samping wanita itu, hampir tidak berjarak.“Pergi ke mana kamu semalam?” tembak Abi tanpa harus basa-basi.Vira tertawa garing mendengar pertanyaan dari Abi. “Helloow, gebetan bukan, pacar bukan, suami apa lagi. Jadi jangan sok posesif sama aku, Bi.”“Vir.” Abi semakin mengecilkan suaranya, dan melihat ke sekitar mereka. Memastika, posisi keduanya jauh dari keramaian. “Semalam, kamu pergi sama pak Ilham dan perempuan yang namanya Vania Sesya.”“Apa aku lagi dimata-matain sekarang?” Vira menjauhkan wajah dari Abi. Kemudian, ia juga
“Aku laper …” Fika terduduk lelah, dan masih mengenakan pakaian kerjanya. Saking lelahnya, Fika kemudian berbaring di karpet di ruang keluarga. Belum sempat pergi ke kamar, karena terlalu lelah bila harus pergi ke lantai dua. “Capeeek.” “Ini baru magang, Fikaaa.” Clara menggeleng melihat putrinya. Menghentikan tayangan teve kabelnya terlebih dahulu, kemudian kembali beralih pada Fika. “Belum kerja betulan. Coba lihat papa sama mas Dean, jam segini belum pulang-pulang.” Fika meringik. Kemudian merebahkan tubuhnya dengan desahan panjang. “Nanti, aku mau jadi ibu rumah tangga aja kalau sudah nikah. Kayak mama, sama mbak Ning. Repot kalau punya bos kayak mas Abi. Nggak jelas banget!” “Katanya naksir berat,” ledek sang mama. “Katanya suka, katanya—” “Dia itu nggak jelas banget, Ma!” Setelah mengenal Abi lebih dekat, perasaan kagum Fika yang dulu selalu bergejolak, mulai berubah menjadi rasa kesal. “Kesel aku lama-lama. Suka ngatur-ngatur, suka ikut campur.” Clara terkekeh, lalu membari
“Ngapain kamu mondar-mandir nggak jelas seperti itu.” Rasyid sudah mengusir Abi berulang kali, tetapi putranya itu tetap saja kembali ke rumah. Lagi, dan lagi, tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Abi bahkan duduk satu meja ketika sarapan, pun makan malam bersama Rasyid setiap hari. Seolah-oleh, tidak pernah terjadi perdebatan di antara mereka.“Darius Iskak, melecehkan salah satu karyawannya dan dilaporkan,” jawab Abi langsung mengutarakan semua yang ada di kepala, tanpa diminta. “Dari situ, kita dapat info dia tersangkut kasus suap, korupsi, dan money laundering. Dia punya simpanan, Vania Sesya yang lagi kerja sama dengan Ilham, klien Vira.”“Kasus biasa.” Rasyid berjalan perlahan menuju sofa ruang tengah dan mendudukinya. “Kenapa? Ada yang ngancam?”Abi menggeleng dan berhenti mondar-mandir. “Aliran dananya dipake buat showroom dan investasi.”“Di mana masalahnya?” Bagi Rasyid pola kasus yang disebut Abi selalu saja sama sedari dulu. Yang membedakan, hanyalah seberapa kuat bekingan
“Fika, kopi!” Satu seruan tersebut, seketika membuat Fika terhenyak. Detik itu juga, Fika reflek berdiri, dan mematung menatap Abi yang berjalan cepat ke hadapannya. Wajah pria itu tampak datar, dan tidak bersahabat. “Pagi, Fik.” “Ha?” Fika memiringkan kepala, hingga melewati tubuh Abi untuk melihat sosok pria yang menyapanya dengan lembut. Sejurus itu, Fika tersenyum lebar dan menyapa kakak iparnya. “Pagi, Mas Aga. Mau saya buatin kopi juga?” “Teh aja,” jawab Aga sambil terus berjalan, lalu menduduki kursi yang berseberangan dengan Fika. “Jangan terlalu manis.” “Siap, Mas!” Fika mengangguk dan tetap memasang senyum yang tertuju pada Aga. “Oia, mau cemilan juga, nggak?” lanjut Fika lalu menunduk, dan mengambil sebuah wadah plastik dari tasnya. Fika membuka tutup wadah berbentuk bulat tersebut, lalu menyodorkannya pada Aga. “Aku nyoba bikin donat mini tadi malam. Jangan lihat bentuknya, ya, Mas, tapi rasanya,” ujar Fika lalu terkekeh. Aga mengambil satu buah donat bertabur limpa
“Sorry, aku telat.” Vira menghela panjang saat duduk berseberangan dengan Aga. Melepas tas tangannya lalu meletakkan di meja. Meskipun setahun telah berlalu, tetapi, Vira masih saja mengingat semua rasa sakit akibat perceraian mereka. Karena itulah, selama ini Vira sebisa mungkin menghindari Aga dan tidak bertatap muka langsung dengan mantan suaminya. “Dan nggak bisa lama, karena sudah ada janji.”“Kenapa kamu nggak pernah angkat telponku sama sekali, Vir?” Abi yang tadinya duduk di samping Aga, segera berdiri dan berpindah di samping Vira. “Paling nggak, balas chatku.”Vira memutar malas bola matanya. Hal seperti inilah yang membuat Vira malas berdekatan dengan Abi. Pria itu terlalu posesif, dan suka mengatur. Tidak seperti Aga, yang bisa memberinya kebebasan sampai-sampai Vira akhirnya lupa diri. Terlalu nyaman dengan semua hal di luar sana, dan melupakan kewajiban dasarnya sebagai seorang istri.“Be-ri-sik,” desis Vira lalu membuang mukanya dari Abi.“Aku begini karena khawatir sam
“Nggak usah bikin kopi!” Fika memelankan kunyahannya, dan segera menutup kotak bekal camilan di atas meja. Ia memasukkan kotak itu di tas, lalu kembali menatap laptop. Karena Abi tidak meminta dibuatkan kopi pagi itu, Fika pun tidak akan beranjak ke mana-mana. Fika juga tidak peduli, bila Abi kembali mendiamkannya. Pria itu berjalan tanpa menoleh, lalu menduduki kursinya dengan kasar. Dasar, pengacara labil. “Datangi bu Ina, tanyakan tentang arsip perceraian Riva Zaneta dan Ilham Arham, satu tahun yang lalu.”’ “Baik, Mas.” Fika segera berdiri, dan berjalan tergesa keluar ruangan. Ia kira, Abi kembali mendiamkannya, dan tidak memberi Fika pekerjaan. Sementara Fika sedang keluar, Abi menyalakan perangkat komputernya lalu menghubungi seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata sudah tidak lagi digunakan oleh pengguna. Riva, mantan istri Ilham itu sudah tidak bisa dihubungi lagi. Jika demikian, Abi harus meminta timnya untuk mencari keberadaan wanita itu sekarang juga. Abi bera
“Abi!”Abi dan Fika kompak saling pandang, dengan mata terbelalak sempurna. Bibir mereka masih menempel, dan mematung seolah mencerna semua yang sedang terjadi.“Fikaaa.”Saat namanya disebut, di situlah Fika mendorong kuat tubuh Abi. Namun, ia kembali mematung saat melihat sepasang suami istri yang melongo di samping pintu. Menelan ludah, lalu membawa kedua tangan tremor dan dinginnya ke belakang tubuh.Sementara Abi, jelas saja ia lebih terkejut lagi. Selain perbuatannya pada Fika barusan telah ketahuan, gadis itu juga mendorong tubuhnya hingga hampir saja terjatuh dan jadi bahan tertawaan. Untung saja ia memiliki reflek yang bagus, sehingga bisa dengan cepat meraih sisi meja rapat agar tidak terjatuh.“Saya laporin babe kalian berdua, ya!”Abi kembali terbelalak. Padahal ia baru saja menegakkan tubuh, tetapi kalimat tersebut langsung membuatnya syok. “Ning, ini cuma—”“Cuma apa!”Abi mendesah panjang, saat ucapannya dipotong kasar oleh istri Aga. Terlebih lagi, wanita hamil itu men
Abi berdecak dan memandang rumah sang papa dari pekarangan rumah. Tatapannya memang tertuju pada teras, tetapi pikiran Abi masih terngiang-ngiang akan kejadian pagi tadi. Kenapa Bening dan Aga harus datang di saat yang tidak tepat? Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan utama. Namun, mengapa Abi melakukan hal tersebut pada Fika. Setan mana yang merasukinya, sampai-sampai Abi bisa khilaf seperti itu. Abi pasti sudah gila! Terlalu banyak menangani kasus, membuat pikirannya menjadi kacau. Sepertinya, Abi akan mengambil cuti setelah menyelesaikan kasus terakhirnya. Menenangkan pikiran, sambil bersantai di sebuah pantai. Untuk malam ini, Abi akan melupakan sejenak tentang masalah Fika. Besok pagi, ia akan menyempatkan diri bertamu ke kediaman Aga dan menyelesaikan semua masalah yang belum sempat mereka bahas lagi. Setelah menarik napas dalam-dalam, Abi memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Melihat ada mobil asing yang juga terparkir di pekarangan rumah, sepertinya R