Malam penuh bintang menjadikan waktu terindah bagi Axel. Pria itu tak berhenti menatap Bianca. Gadis yang malang, tak bisakah Axel bersikap lebih lembut padanya tanpa bertindak begitu keji? Axel tak peduli. Bianca sangat bermanfaat untuknya dimasa mendatang.
Hanya dengan cara ini, pria itu memiliki Bianca. Tanpa berpikir panjang, Axel menurunkan resleting pada dress bagian belakang Bianca. Gerakannya cukup cepat, namun tak merusak resleting itu sendiri. Ponsel Bianca yang telah disilent dari awal saat pria itu membawanya, tak dapat mengganggu aktivitasnya.
Setelah resleting terbuka, ia segera melepaskan pakaian itu yang terus mengganggunya. Tampak pakaian dalam Bianca yang menggiurkan. Axel tegang sesaat. Dia tak bisa berpikir jernih. Bianca tak menolak saat pria itu menyentuhnya. Malam yang berwarna dengan segala desahan yang menggelora. Bianca yang tak menolaknya, membuat Axel bergerak semakin liar.
Malam penuh dosa itu tak ada rasa penyesalan bagi Axel. Pikirannya yang liar disertai semangatnya yang menggebu-gebu, menghasilkan sensasi yang gila. Dia tak ingin melepaskan Bianca begitu saja. Kini, wanita itu telah menjadi miliknya. Segala apa yang terjadi kedepannya akan bermanfaat bagi pria itu.
Axel tidur di sebelah Bianca. Ia memeluk wanita itu. Kedua tangannya terus menggoda tubuh bagian atas Bianca. Wanita itu mengerang hebat. Lalu, Axel mencium bibir Bianca dengan rakus. Kedua tangannya yang nakal bergerak tak terkendali. Suara desahan terdengar di telinga Axel. Pria itu menyeringai. Namun, tiba-tiba Bianca tak sadarkan diri. Akhirnya, Axel mengurungkan niat liarnya.
Axel mengambil ponselnya, mengirim pesan pada Angel. Berharap, wanita itu masih belum tertidur. Tak butuh lama baginya, Angel membacanya. Axel berterima kasih pada wanita itu yang sudah membantunya. Namun, Angel mengirim stiker cemberut. Selain itu, dia juga menulis pesan pada Axel agar jangan pernah terlalu sering mempermainkan perasaan wanita dan berharap apa yang terjadi terhadap Bianca merupakan hal keji terakhir yang Axel lakukan.
Wanita itu berpesan agar Axel bisa menemukan cinta sejatinya. Karena dengan cinta sejati, dapat membuat seseorang berubah dalam sekejap. Namun, Axel hanya tertawa. Dia malah mengatakan cinta hanyalah semu yang tak mungkin terjadi pada dirinya. Pria itu tak pernah mempercayai cinta. Angel mengirim stiker memukul orang. Terjadinya perang stiker hingga membuat Axel mengantuk. Tak lama, ia memejamkan kedua matanya.
Keesokan harinya telah tiba. Bianca menggeliat. Anehnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Pelukan yang hangat membuatnya mengusap kedua mata. Dia melihat Axel memeluknya. Rasa terkejut mengitari dirinya dalam sekejap.
"Aaaaaah!" Bianca berteriak dikarenakan melihat dirinya yang tak berpakaian. Akan tetapi, teriakannya tak akan terdengar oleh orang lain dari luar. Kamar yang mereka tempati juga berasal dari gedung mewah kemarin. Berkat dari kunci yang diberikan Angel padanya, membuatnya dan Bianca dapat menempati kamar itu. Angel juga terpaksa melakukan hal itu. Sebenarnya, dia tak tega terhadap Bianca jika diperlakukan tidak adil.
Namun, Angel tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga berjanji kalau itu merupakan hal terakhir yang ia lakukan. Axel mengusap kedua mata dengan santai. Dia melihat Bianca yang menatap dirinya ketakutan. Wanita itu berusaha menutupi seluruh tubuhnya.
"Bianca? Astaga, apa yang terjadi?" tanya Axel pura-pura terkejut. Dia memijat pelipisnya.
"Bukankah ini semua salahmu? Kenapa kamu yang bertanya?" Bianca begitu marah, ia memukul-mukul dada Axel dengan cukup keras. Wanita itu histeris. Hatinya begitu rapuh. Tak menyangka, kesucian yang selama ini ia jaga, malah sia-sia.
"Aku juga gak ingat apa-apa. Semalam, ingat kan kalau kita berdua sama-sama mabuk. Mungkin, karena itu kita..." Axel memijat pelipisnya. Dia melirik ke arah Bianca sesekali. Dia berharap, Bianca mempercayainya.
"Tidak mungkin! Kenapa bisa menjadi seperti ini? Kenapa aku sama sekali tidak mengingatnya? Kenapa?" Bianca tak berhenti berteriak histeris. Tak peduli suaranya habis dikarenakan teriakannya. Dia terguncang. Pikirannya seakan berjalan tak menentu arah.
Bianca mengeluarkan air mata. Bahkan, beberapa kali memukul kepalanya. Rasa sakit dari pukulan itu tak ia gubris. Hatinya jauh lebih sakit dari itu. Kebingungan melandanya. Pikirannya tak jernih. Axel memeluknya secara tiba-tiba. Pria itu mencoba menenangkannya.
"I'm sorry, Dear. Kamu boleh membenciku sekarang. Jika semalam aku gak mabuk, mungkin aku juga gak akan..." Axel memukul kepalanya berkali-kali. Ia melakukan itu agar Bianca mempercayainya. Wanita itu menahan kedua tangan Axel agar tak melukai kepalanya.
"Cukup!" Bianca bergetar. Ia ingin menyalahkan semuanya pada Axel, namun dia juga tak ingin melihat pria itu melukai dirinya sendiri. Bianca hanya bisa menangis. "Apa gunanya itu sekarang? Semuanya sudah terjadi dan aku..." Bianca terus menangis. Axel mencoba menenangkannya. Akan tetapi, Bianca malah memberontak.
"Bianca, aku tahu aku juga salah dalam hal ini. Aku.. akan bertanggung jawab," ucap Axel seraya menghapus air mata Bianca. Dia mengecup kening Bianca dengan lembut.
"Bertanggung jawab? Dengan cara apa? Apa kamu akan menikahiku?" tanya Bianca. Dia mulai reda walau masih saja air matanya mengalir.
"Tentu saja, Dear. Kita saling mencintai. Walau bukan karena insiden ini, aku juga tetap akan menikahimu. Tetapi, karena kita sudah tidur bersama, bagaimana kalau pernikahan kita dipercepat saja?"
"Ka┄Kamu gak berbohong, kan? Kamu beneran ingin menikahiku?" tanya Bianca. Dia setengah gak percaya pada Axel.
"Iya, Sayang. Kalau kamu gak percaya, aku akan membuktikannya dengan sesuatu." Axel melukai jarinya hingga berdarah. Bianca tersentak kaget apa yang Axel lakukan. Setelah itu, ia meraih tangan Bianca, dia menggambar love pada telapak tangan Bianca. Wanita itu semakin luluh dengan apa yang dilakukan Axel.
"Mulai sekarang, kamu adalah calon istriku. Darah dan lambang ini merupakan tanda aku untuk melamarmu. Bianca, aku mencintaimu," kata Axel. Wanita itu terbius akan kata-kata Axel. Axel mencium bibir Bianca dengan rakus. Bianca pun membalasnya. Tiba-tiba Bianca merintih kesakitan. "Sayang, ada apa?" tanya Axel.
"Aku juga gak tahu kenapa. Tetapi bagian bawah tubuhku rasanya sakit sekali. Begitu perih. Aku tidak pernah seperti ini," ucapnya. Axel memeluk Bianca dengan lembut.
"Maaf, Sayang. Mungkin, karena efek semalam. Andai saja aku ingat apa yang telah aku lakukan semalam." Axel mengecup lembut kening Bianca.
"Bi┄Bisakah kamu minggir dulu? Biar aku memakai pakaianku dulu." Bianca menjauhkan diri dari Axel seraya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Walau rasa perih masih ia rasakan. Tanpa perlu berpikir panjang, Axel menarik Bianca lalu menggendongnya.
"Apa yang kamu lakukan, Sayang?" teriak Bianca.
"Aku hanya membantumu." Axel membawa Bianca kekamar mandi. Wanita itu malu dengan tubuh polosnya.
"Tidak perlu malu, Sayang. Aku akan membersihkan tubuhmu. Hmm?" Axel menyalakan shower, lalu mengambil sabun.
"Bi┄Biar aku saja yang melakukannya." Bianca merebut sabun itu dari Axel. Dengan memunggunginya karena malu, ia mulai mengolesi sabun di seluruh tubuhnya. Axel menyeringai.
"Bianca, mulai sekarang, kamu akan bergantung padaku," batin Axel seraya tersenyum licik.
Axel merupakan pria kejam, dia malah memanfaatkan keadaan Bianca. Akankah kelicikan Axel terus seperti ini? Tak bisakah dia menghargai dan membuka hatinya untuk Bianca? Sampai kapan Axel menipu Bianca dan berpura-pura mencintainya? Bianca tak menyadari kalau Axel hanyalah pria brengsek.
Dia terlalu polos untuk menghadapi Axel. Penderitaan Bianca akan terus mengalir dengan derita yang tiada ujung. Beginikah nasib Bianca? Ketulusan Bianca dibayar dengan kekejian Axel. Sungguh harga yang tak pantas! Mungkin, suatu saat nanti, Axel akan mendapatkan karmanya. Karma akan sia-sia bila Axel masih belum menyadari perbuatannya.
Axel mendesah. Gairahnya memuncak. Sentuhan Vivian memang tak bisa ia tolak. Axel memperdalam ciumannya. Mereka saling melirik pada film yang mereka tonton, hingga durasi adegan panas pada film itu habis. Mereka saling melepaskan diri. "Kamu sungguh cepat. Aku kira kamu akan kalah dariku," kata Axel. "Aku adalah roh iblis. Sulit bagiku untuk kalah dari pria sepertimu." "Baiklah. Mari kita tunggu adegan selanjutnya. Kali ini, aku akan menang." "Oh ya? Kamu tidak akan menang dariku." Vivian mendekati Axel hingga wajah mereka begitu dekat. Wanita itu tersenyum miring. "Honey, kamu melanggar salah satu aturan." "Aku tidak melanggar apapun." "Tetapi, kamu baru saja menggodaku, Honey." "Aku tidak menggodamu." "Caramu mendekatimu itu seperti menggodaku." Jari telunjuk Axel menyentuh hidung wanita itu lembut. "Kamu saja yang berpikiran aneh. Selama aku tidak menciummu atau menyentuhmu, itu tidak masalah." Vivian melipat kedua tangan. "Kamu lupa ya apa aturan tadi, Honey? Aku mengat
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,