Bianca membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Dia menghela nafas seketika. Dilihatnya, cermin yang menampakkan sosok dirinya. Ia tersenyum. Walau dalam suasana hati yang cukup buruk tadi, tetapi ia masih begitu cantik. Setelah lima belas menit kemudian, dia keluar dari sana.
Saat keluar dari toilet, dia ditarik oleh Axel. Pria itu langsung menciumnya lembut. Bianca ingin menampar siapa pria yang berani menciumnya. Namun, hal itu tak ia lakukan saat Axel melepaskan ciumannya. Pria itu tersenyum.
"Kamu disini?" Bianca masih tidak percaya jika Axel berada didekatnya. Ia mengira pikirannya dipenuhi Axel, sehingga menyebabkannya berkhayal. Gadis itu menampar pipinya sendiri.
"Kenapa ditampar, dear?" Axel mengusap pipi Bianca lembut. Setelah itu, ia mencium pipinya.
"A┄Aku kira ini cuma mimpi. Kamu tiba-tiba datang begitu saja tanpa mengabariku dan langsung menciumku. Gadis mana yang tidak langsung kaget?"
"Kamu masih ingat tidak, waktu itu ketika aku bilang aku juga ada acara?" ucap Axel. Bianca menganggukkan kepala. "Aku diundang disini oleh seseorang," katanya sambil menggenggam tangan Bianca. Mengecup kening gadis itu telah menjadi kebiasaannya.
"Diundang siapa?"
"Sepupuku. Lebih tepatnya sepupu jauhku."
"Sepupumu yang mana? Apa mungkin, Falco?" terkanya asal.
"Bukan, Sayang. Yang perempuan disisi Falco itu."
"I┄Istri dari CEO Falco and group? Jadi, kalian berdua sepupu?"
"Iya, Dear."
"Pantas saja, wajahnya tampak tak asing."
"Kemarilah." Axel menggenggam tangan Bianca.
"Kemana?"
"Sepupuku."
"Te┄Tetapi sepertinya..."
"Ayo, sayang!" Axel berjalan berdampingan bersama Bianca. Keduanya tampak serasi. Namun, seorang pria berwajah manis dengan lesung pipi tak sengaja menabrak Bianca.
"Ma┄Maaf," tuturnya dengan sopan.
"Lain Kali berhati-hatilah! Gimana kalau kamu melukai kekasihku ini?" ucap Axel, genggamannya terlepas dari tangan Bianca. Gadis itu tersenyum melihat sikap Axel yang tampak mengkhawatirkannya.
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Biarkan saja." Bianca menarik tangan Axel tanpa memikirkan pria berwajah manis itu. Pria itu melihat keduanya dengan perasaan bersalah. Dia menghela nafas sesaat.
"Aku harap dia baik-baik saja," batinnya seraya berjalan.
"Aku masih kesal. Dia itu menabrakmu," ujar Axel berpura-pura kesal.
Pria itu tak kesal. Ia menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan perasaan palsunya. Dia ingin berterima kasih dengan pria tadi yang tanpa sengaja malah membantunya. Tetapi, entah kenapa dia merasa tak asing dengan wajah itu. Axel memilih untuk melupakan pria tadi. Dia menatap Bianca dengan cukup serius. Gadis itu tersenyum.
"Aku gak apa-apa, Sayang," ucap Bianca. Aku senang, kamu begitu mencemaskanku."
"Itu karena rasa cintaku yang terlalu dalam untukmu. Bianca, aku mencintaimu," kata Axel. Deretan gigi atas dan bawahnya saling bersentuhan, menahan kebohongannya. Bianca mengecup bibir Axel. Tak ingin menyudahi begitu saja, Axel mencium Bianca dengan buas.
Untung saja, Sarah tak sedang bersama Bianca. Wanita itu menunggu di mobil. Dengan leluasa, mereka bisa menghabiskan waktu bersama untuk menunjukkan sikap romantis mereka. Axel menahan punggung Bianca tanpa melepaskan ciumannya.
Ciuman itu bergerak secara membabi-buta, Bianca agak kewalahan. Merasa cukup puas, ia melepaskan ciuman itu, nafas keduanya beradu. Keringat tiba-tiba muncul pada mereka. "Kamu begitu cantik hari ini. Aku semakin tak ingin melepaskanmu," bisik Axel. Wajah Bianca memerah. Kedua orang itu saling bertatapan hingga mengulangi ciuman mereka.
Kali ini, Axel memainkan lidahnya dengan liar, menyerbu mulut Bianca. Ciuman panas kedua orang itu mengundang perhatian orang-orang disekitar mereka. Belasan menit telah berlangsung, Axel menyudahi ciuman keduanya. Bianca menstabilkan nafasnya. Ia berkeringat lebih banyak dibandingkan tadi. Gadis itu menatap Axel.
"Mau lagi?" goda Axel sambil berbisik. Dia menarik Bianca hingga jarak keduanya 5 cm. Akan tetapi, Bianca mencubit pinggang pria itu.
"Ini tempat umum. A┄Aku akan mengambil makanan dulu," ujar Bianca bersemu merah. Dia meninggalkan Axel dengan tergesa-gesa. Pria itu tersenyum, tetapi tidak dengan hatinya yang masih membeku. Entah sampai kapan dia tidak membuka hatinya untuk Bianca. Akankah Axel tak pernah merasa berdosa telah sering memainkan gadis polos itu?
******
Angel menggeliat, dia cukup lelah. Dia berada di kamar yang berukuran besar, khusus baginya dan Falco untuk beristirahat disana. Wanita itu meninggalkan Falco yang masih berada di lantai satu. Sementara, dirinya ada di lantai tiga. High heels setinggi 20 cm, membuat kakinya bengkak.
Dia melepaskan high heels nya, lalu merentangkan kedua kakinya sambil rebahan diatas sofa yang empuk. Ia menutup mata. Beberapa menit kemudian, sang suami, Falco datang ketempat itu. Pria itu tersenyum. "Ternyata kamu disini. Aku mencarimu kemana-mana," ucap Falco. Namun, Angel tak terlalu menggubrisnya. Wanita itu tertidur.
Falco mengecup bibir istrinya. "Kamu pasti lelah banget, ya." Falco melepaskan pakaiannya. Sebelum ia melepaskan celananya, ia memikirkan sesuatu. Pria itu mengambil pakaian istrinya walau tak banyak. Walau gedung megah itu dimiliki Falco, tak banyak pakaian mereka yang ada disana.
Falco mengambil baju crop berwarna hitam berbahan katun dengan celana pendek yang santai. Dia melepaskan dress yang melekat pada tubuh Angel. Dia memakaikan pakaian padanya secara perlahan. Dia tak ingin membangunkan wanita itu. Setelah selesai, dia melemparkan dress itu pada keranjang khusus pakaian kotor.
Falco mencium kening Angel seraya memberinya selimut. Setelah itu, dia memutuskan untuk mandi. Suara shower membangunkan Angel sejenak. Dia menggeliat. Dia cukup kaget pakaiannya telah berganti. "Pasti Falco," batinnya. Tak begitu lama, Falco keluar dari kamar mandi.
"Sayang!" sapa Angel seraya bergerak mencium bibir Falco.
"Kamu menungguku di depan pintu kamar mandi?" tanya Falco mengerutkan kening. Angel menganggukkan kepala. "Kamu gak mandi?"
"Apa aku sebau itu?" Angel mencium aroma tubuhnya.
"Cepatlah mandi sana! Aku menunggumu," bisik Falco sambil menggodanya.
"Tunggu aku kalau begitu." Angel mengedipkan salah satu matanya.
Tak lama, mereka menghabiskan malam yang penuh bergairah. Sepasang suami istri itu saling menginginkan dengan setiap desahan yang menggema di seluruh kamar itu tanpa terdengar orang lain dari luar. Sementara itu, Axel meminum segelas anggur merah bersama Bianca.
"Aku tidak melihat sepupumu. Kemana dia?" tanya Bianca tiba-tiba.
"Entahlah. Aku juga tidak melihat suaminya. Mungkin, mereka sedang bersama," ucap Falco. Dia mengerti apa yang terjadi pada pasangan suami istri itu.
"Mereka meninggalkan pesta begitu saja?"
"Mereka kaya. Wajar saja pergi di tengah pesta yang berlangsung. Pasti ada beberapa orang yang mengurusnya nanti."
"Tetapi, tidak semua orang kaya begitu," ucap Bianca merasa tersindir.
"Aku tidak sedang membicarakanmu, Sayang," Axel mengecup lembut bibir kekasihnya. Setelah beberapa detik, Bianca pergi begitu saja.
"Mau kemana, Dear?"
"Kepalaku agak sedikit pusing."
"Mungkin karena kamu terlalu banyak minum," ucap Axel.
Bianca berjalan sempoyongan. Axel menangkapnya dengan cepat. Seakan telah diprediksikan, ia membawa gadis itu. Apa yang merasukinya, sehingga Bianca mencium bibir Axel dengan rakus. Pria itu menyeringai. Dalam waktu bersamaan, Sarah yang tengah menunggu Bianca merasa curiga tidak seperti biasanya bos nya seperti itu.
Sopir Bianca menguap, pria itu terlihat mengantuk. Tanpa terasa, kedua matanya terpejam. "Jangan tidur dulu!" seru Sarah. Namun, Suryo terlalu mengantuk, dia tidak dapat mendengarkan suara wanita itu. Kemudian, Sarah memilih turun dari mobil untuk mencari Bianca.
Suasana didalam tidak seramai tadi. Begitu banyak orang yang memilih pulang. Bahkan, hanya segelintir orang yang terlihat. Sarah berjalan tak menemukan keberadaan Bianca.
"Apa mungkin dia sudah pulang? Tetapi kalau pulang, kenapa dia gak naik ke mobilnya?" pikir Sarah. "Atau mungkin sesuatu terjadi dengannya? Mungkin aku harus menghubungi polisi." Sarah mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Namun, langkahnya terhenti. "Percuma lapor polisi karena belum 24 jam, pasti tidak mungkin ditindaklanjuti." Sarah memijat pelipisnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi.
Bianca dengan pakaian utuhnya berciuman panas bersama Axel. Wanita itu pasrah dibawa Axel di sebuah kamar yang megah. Wanita itu tak protes bagaimana Axel memperlakukannya. Axel mendekatinya sambil menyeringai.
"Salahmu sendiri yang terlalu jual mahal. Kamu akan menjadi milikku malam ini," batin Axel menatap tajam Bianca. Entah apa yang ia rencanakan dengan gadis malang itu. Angel seakan terhipnotis dan tak dapat berbuat apa-apa.
Axel mendesah. Gairahnya memuncak. Sentuhan Vivian memang tak bisa ia tolak. Axel memperdalam ciumannya. Mereka saling melirik pada film yang mereka tonton, hingga durasi adegan panas pada film itu habis. Mereka saling melepaskan diri. "Kamu sungguh cepat. Aku kira kamu akan kalah dariku," kata Axel. "Aku adalah roh iblis. Sulit bagiku untuk kalah dari pria sepertimu." "Baiklah. Mari kita tunggu adegan selanjutnya. Kali ini, aku akan menang." "Oh ya? Kamu tidak akan menang dariku." Vivian mendekati Axel hingga wajah mereka begitu dekat. Wanita itu tersenyum miring. "Honey, kamu melanggar salah satu aturan." "Aku tidak melanggar apapun." "Tetapi, kamu baru saja menggodaku, Honey." "Aku tidak menggodamu." "Caramu mendekatimu itu seperti menggodaku." Jari telunjuk Axel menyentuh hidung wanita itu lembut. "Kamu saja yang berpikiran aneh. Selama aku tidak menciummu atau menyentuhmu, itu tidak masalah." Vivian melipat kedua tangan. "Kamu lupa ya apa aturan tadi, Honey? Aku mengat
Vivian mengenakan salah satu dress yang baru ia beli di Mall. Dia menatap cermin sambil tersenyum. Axel berdiri di belakang Vivian seraya memeluknya dari belakang. "Kamu cantik, Honey," puji Axel sambil mengusap kepala wanita itu dengan lembut."Ini tubuh Bianca. Bagaimana kamu tahu kalau aku cantik?" tanya Vivian. Senyuman Axel tampak pada bibirnya."Apapun itu, bagiku kamu cantik." Axel mencium rambut wanita itu dari belakang."Aku ingin mencoba dress yang lain.""Kamu beneran gak sabar ya ingin segera berkencan denganku?" godanya, menaikkan salah satu alis."Ya udah, aku pakai dress ini aja.""Duh, istriku ini mulai ngambek ya. Tetapi, sikapmu yang seperti ini bertambah manis. Aku suka," bisiknya dengan nada seksi. Lidah Axel bermain pada telinga itu. Tak lama, ia menyudahinya."Kalau kamu terlambat, kita akan kesulitan ke Bioskop," kata Vivian. Ia menatap malas seraya melipatkan kedua tangan. Axel tersenyum. Selain menggoda Vivian
Vivian mengepalkan tangan. Ia tak mengira bertemu musuh lamanya di rumah itu. Awalnya, Victoria juga tak tahu kalau Vivian berada di tubuh Bianca. Namun, setelah insiden perselingkuhan Axel terkuak, Victoria dapat merasakan gelombang aura yang sangat kuat dari tubuh Bianca.Sejak saat itu ia mulai memperhatikan orang-orang disekitar Vivian secara diam-diam. Dia juga menanamkan sesuatu pada diri Meili saat anak buahnya dikalahkan oleh Vivian. Hal itu yang memicu Meili memilih bunuh diri.Jika dilihat dari karakteristik Meili, ia bukan tipe perempuan yang mengakhiri hidupnya. Victoria berhubungan dengan kematian Meili. Sayang, Vivian tak tahu hal itu. Tetapi, dia agak curiga ketika Meili lebih memilih melompat dari lantai tiga.Namun, kecurigaan itu perlahan memudar, saat melihat Meili bersimbah darah. Setelah semua terjadi, kini Vivian mulai mengerti. Kehadiran Victoria memberinya petunjuk. Yang dia tak bisa prediksikan, roh iblis itu datang lebih cepat ketimbang
Barang belanjaan yang cukup banyak membuat Vivian agak kesulitan membawanya. Ia melihat Suryo yang tertidur pulas di mobil. Suara ketukan kaca mobil mengagetkannya seketika."Eh, Non. Sudah selesai?" tanya Suryo seraya mengusap kedua matanya. Ia masih agak mengantuk."Udah dong. Oh ya, kenapa kamu memanggilku non lagi?""Udah kebiasaan, Non. Nggak enak rasanya kalau diubah begitu.""Kamu menyebutku begitu, telingaku jadi gatel." Vivian mengusap telinga."Saya kan sudah memanggil Non bertahun-tahun. Rasanya tidak sopan jika tidak memanggil seperti itu. Nggak apa-apa kan, Non?" Suryo mengusap kedua matanya lagi."Ya udah terserah kamu.""Barang belanjaan Non kemana? Saya mau taruh di bagasi mobil.""Sudah ku taruh semua baru saja. Sepertinya, kamu masih mengantuk, ya.""U-udah nggak, Non," kata Suryo. Ia tak ingin dianggap sebagai sopir yang tidak kompeten. Dia berusaha agar menahan rasa kantuknya."Pak Suryo, kalau
Keduanya saling bertatapan. Tak berlangsung lama, malaikat maut itu mengeluarkan rantai ikatan. Rantai itu dapat mengikat roh iblis dengan cukup kuat. Namun, Vivian selalu tahu trik ini.Dia berhasil menghindar walau tak menggunakan kekuatannya. Malaikat maut itu terus mengayunkan rantai ikatan ke arah Vivian. Lagi-lagi hal itu sia-sia. Vivian menyeringai.Dia tahu malaikat maut tidak pernah menunjukkan kekesalannya. Terlihat, hanya dua kali serangan gagal, malaikat maut terhenti. Ia menyimpan kembali rantai ikatan itu."Apa kamu nggak bosan ingin menangkapku terus?" Vivian mengerucutkan bibir."Vivian, kamu sudah terlalu lama hidup di dunia manusia. Sudah saatnya, kamu kembali ke gerbang langit.""Gak mau. Aku tahu, kalian p
Sebuah Mall yang berada di daerah perkotaan lebih ramai ketimbang biasanya. Mungkin dikarenakan hari minggu, menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk menghabiskan hari liburnya di Mall. Beberapa butik ternama telah dipadati pengunjung. Mereka berbondong-bondong membeli pakaian dengan harga murah. Terjadinya diskon besar-besaran hampir semua butik yang ada di Mall tersebut. Salah satu pengunjung Mall itu memancarkan auranya. Orang-orang berlalu lalang terkesima dengan kecantikan serta bentuk badan yang dimilikinya. Sosok itu adalah Vivian. Walau semua pakaian Bianca serba tertutup, tak menjadi penghalang baginya untuk berpakaian terbuka. Ia menyulap salah satu kemeja Bianca yang berlengan panjang menjadi tanpa lengan. Dia melepas semua lengannya tanpa menyisakan sedikitpun menggunakan pendedel. Lalu, ia menggunakan benang dan juga jarum. Ia meminjam semua peralatan itu pada Ratna. Kemudian, ia menjahit bagian yang kurang rapi. Masih belum cukup puas,