Share

BAB 7. Misi Rahasia

Berlin adalah ibukota Jerman yang penduduknya paling padat di antara kota-kota lainnya. Karena itu, rumah di pinggiran kota juga sudah penuh sesak. Bisa dikatakan sulit menemukan lahan kosong di kota ini. Termasuk rumah besar milik Sadewa, sudah banyak rumah-rumah lain di sekitarnya. Tapi karena Sadewa membangunnya seperti bangunan kastil dengan pagar yang tinggi, jarang sekali ada pengunjung yang datang ke rumah itu.

Tapi kini di rumah itu ada empat orang yang datang berkunjung. Tentu saja mereka bisa masuk atas izin pemiliknya. Setelah memperkenalkan diri sebentar, Sadewa mengajak mereka ke ruang pertemuan yang sejak rumah ini dibangun, baru kali ini digunakan. Sadewa memang jarang menerima tamu langsung. Biasanya dia berkomunikasi secara online.

Di ruang pertemuan itu ada meja bulat yang alasnya berbentuk kaca. Ternyata kaca itu bukan hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga memiliki kemampuan sebagai layar sentuh. Saat seseorang duduk, kaca di hadapannya langsung memunculkan pilihan menu minuman. Ahmad langsung tertarik untuk mencobanya. Alangkah kagetnya dia setelah memilih salah satu minuman, beberapa menit kemudian muncul drone yang membawa pesanannya lalu meletakkannya di depan Ahmad.

"Kalian tahu, memiliki rasa ingin tahu yang besar sebenarnya adalah karunia. Tapi jika tidak tahu harus bertanya pada siapa, karunia itu bisa menjadi perasaan yang menyiksa. Sayangnya hal itu yang aku alami waktu kecil." kata Sadewa membuka percakapan.

"Ayahku adalah peneliti yang hebat, tapi sayang dia bukan pengajar yang baik. Setiap aku bertanya suatu hal, dia tidak pernah menjelaskan. Dia hanya menunjukkan bagaimana aku bisa mendapatkan jawabannya, bahkan kadang dia hanya memintaku mencarinya sendiri. Karena itu sejak kecil aku terbiasa mencari jawaban semua pertanyaanku sendiri. Dan setelah sadar bahwa semua informasi ada di internet, aku membuat program yang bisa mencari dan mengelola informasi apa pun yang aku inginkan. Terutama informasi tentang ini."

Sadewa membuka telapak tangannya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba di sana sudah ada batu kecil yang memancarkan warna kuning. Mata keempat orang di depan Sadewa langsung tertuju menatap batu itu. Bukan hanya karena warnanya yang indah, tapi karena tiga dari empat orang itu memiliki batu serupa.

"Aku tidak tahu ini batu apa, yang aku tahu batu ini ada di leherku sejak aku kecil." kata Sadewa melanjutkan. "Karena itu aku membuat program yang bisa mengenali gambar. Dengan cara itulah aku bisa menemukanmu."

Malik merasa terkejut saat tangan Sadewa menunjuk ke arahnya. Tapi dia cepat mengendalikan diri, lalu dengan tenang berkata.

"Dan bagaimana caranya kau bisa menemukanku?"

"Tidak sulit. Jika kau ingin mencari gambar, kau harus mencocokkannya dengan seluruh gambar yang ada. Dan kalian tahu, apa database gambar terbesar di internet? Ya, dari CCTV. Jika suatu server CCTV bisa diakses lewat internet, maka aku juga bisa mengaksesnya. Baik secara legal atau lewat jalan meretas. Aku menemukanmu saat kau datang ke Mesir. Kamera CCTV bandara menangkap cincin yang kau kenakan. Dan sejak yakin batu yang kau kenakan adalah batu yang sama, aku mencari segala informasi tentangmu."

"Memangnya informasi apa yang kau dapat tentang Malik?" kali ini Ahmad yang bertanya.

"Segala yang ada di internet. Yang pertama aku lakukan adalah menelusuri keluargamu. Ibumu sudah meninggal sejak kau berumur empat tahun. Ayahmu entah masih hidup atau sudah tewas karena jejaknya menghilang 17 tahun lalu. Dan yang paling menarik adalah saat aku melihat kartu keluargamu. Ada nama Sadewa di sana. Tapi aku belum yakin kau adalah saudaraku. Aku baru yakin setelah menganalisis data tentang paman."

Kali ini giliran Ahmad yang terkejut. Tanpa menunggu penjelasan Sadewa lagi, dia langsung bertanya.

"Memangnya kenapa kau tertarik denganku?"

"Bukan aku yang memilih paman, tapi algoritma yang aku kembangkan. Mungkin karena paman keluarga dekat, atau karena wajah paman sering muncul di hasil pencarian. Setelah komputer memunculkan nama paman, aku langsung mencari data paman. Dan aku menemukan sesuatu yang menarik. Tujuh belas tahun lalu, di tahun yang sama, paman pergi ke tiga negara di dunia ini. Jepang, Amerika dan negara tempat aku dibesarkan, Jerman."

"Benar. Dan perlu kalian ketahui, itu bukan keinginanku. Itu adalah amanah dari ayah kalian." kata Ahmad pada semuanya.

"Jadi itu caranya kau menemukan kami?" tanya Malik lagi.

"Ya. Butuh waktu lama untuk mengorek data berusia belasan tahun. Tapi aku dibantu oleh kartu keluarga itu. Aku mendapat kata kunci, yaitu nama kalian."

"Hmm, jika demikian kurasa kau mendapat kesulitan untuk menemukanku. Sejak kecil namaku Nicholas."

"Tepat sekali. Tapi untungnya kita kembar. Komputer menemukan anomali saat melakukan pencarian, dia menyangka aku ada di New York."

Kedua anak kembar itu tersenyum penuh arti. Ternyata bukan hanya wajah mereka yang mirip, tapi perangai mereka juga sama. Dengan cepat mereka merasa cocok satu sama lain.

"Tapi kurasa kau hanya membual saat mengatakan bisa mengetahui data kami bahkan yang kami tidak ketahui atau kami lupakan." Nicholas mencoba menantang.

Sadewa menjawab tantangan itu. Dia lalu mengetikkan sesuatu pada kaca meja di hadapannya. Dan secara tiba-tiba, dinding di depan meja bulat itu menampilkan foto-foto Aziz dan tulisan di bagian bawah yang menjelaskan foto itu.

"Ini adalah semua turnamen yang telah diikuti Aziz dan yang dia menangkan." kata Sadewa dengan bangga.

Aziz yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.

"Mungkin kau benar. Aku sendiri tidak menyangka telah memenangkan pertandingan sebanyak itu."

Sadewa kembali menggerakkan jarinya. Kali ini dinding memunculkan video tanpa suara.

"Bukankah itu sepupu ayah kalian, pengusaha di New York yang merawat Nicholas? Siapa wanita di sampingnya?" tanya Ahmad.

"Ya, itu ayah angkatku. Dan wanita itu adalah istrinya." kata Nicholas, tapi kali ini nada suaranya jauh dari rasa bangga.

Video itu menggambarkan pertengkaran antara ayah dan anak. Setelah sang anak pergi, wanita dalam video itu langsung menghampiri jendela untuk melihat kepergian sang anak. Tak lama kemudian wanita itu pun terduduk dan menangis. Tak terbayangkan hancurnya perasaan Nicholas mendapati kenyataan itu.

"Mungkin kau pikir selama ini ibu angkatmu menuruti segala keinginanmu karena kau menggunakan kekuatanmu padanya. Video ini menunjukkan kau salah. Wanita itu benar-benar menyayangimu." kata Sadewa menjelaskan apa yang sebenarnya sudah diketahui semua yang melihat video itu.

Beberapa lama kemudian semua orang terdiam karena larut dengan perasaan Nicholas. Akhirnya Ahmad berkata untuk memecahkan keheningan.

"Baiklah, sudah cukup perkenalannya. Kini saatnya memulai apa yang menjadi tujuan kita berkumpul di sini. Pertama-tama aku meminta kalian mengeluarkan batu kalian masing-masing."

Mendengar perkataan Ahmad, Malik langsung mencopot cincinnya lalu meletakkannya di meja. Aziz harus membuka kain pengaman di lututnya baru kemudian merobeknya dan mengeluarkan batu di dalamnya. Tapi semua tampak terkesima saat melihat Sadewa, dia hanya membuka telapak tangannya lagi dan tiba-tiba batu miliknya berada di sana.

"Bagaimana kau melakukannya? sesaat batu itu ada di sana, tapi sesaat kemudian batu itu hilang." tanya Nicholas penasaran.

"Itu namanya trik sulap, mengandalkan kecepatan tangan. Aku pernah mempelajarinya." Aziz mencoba menerka.

"Kau salah." kata Sadewa. "Namanya Nano Teknologi. Aku menciptakan robot berukuran nano yang selalu menyelubungi batu itu. Robot itu bisa berubah warna dan bergerak sesuai perintahku. Jadi batu itu sebenarnya selalu menempel di telapak tanganku, hanya warnanya saja yang berubah. Tapi aku bisa saja memindahkannya ke tempat lain."

Sadewa lalu meletakkan batu miliknya di atas meja. Tiba-tiba batu itu kembali lenyap. Tapi kali ini semua orang sudah tahu. Batu itu sebenarnya masih ada di sana, hanya warnanya saja yang berubah persis seperti kaca meja.

"Wow, menakjubkan. Bisakah kau membuatkannya untukku?" kata Nicholas lagi.

"Tentu. Memangnya di mana kau menyimpan batu milikmu?"

"Well, aku menyimpannya di dalam perutku."

Ahmad langsung terperanjat mendengar pengakuan Nicholas. Dengan heran dia bertanya.

"Kau apa? apakah kau tidak takut sakit perut?"

"Awalnya karena aku tak sengaja menelan batu di tanganku. Tapi sejak aku tahu tidak bisa berpisah dengan batu itu. aku selalu bingung di mana menyimpannya. Kalian tahu, aku berurusan tidak hanya dengan orang baik-baik. Jika musuhku sampai mengetahui kekuatan batu itu, aku bisa menjadi boneka mereka. Jadi biarlah batu itu aman di sana."

"Tapi bukankah... kau tahu... saat kau ke toilet, batu itu bisa... kau tahu... keluar dari perutmu?" tanya Malik sulit mencari kata-kata yang sopan.

"Ya, itu sering terjadi. Tapi kalian pasti merasa aneh saat berpisah dengan batu kita. Saat rasa itu datang, aku langsung...."

"Cukup." kata Ahmad memotong. "Kau tak perlu menjelaskannya, kami bisa menerka apa yang kau lakukan selanjutnya. Sekarang bisakah kau ke toilet dan mengeluarkan batu itu? Nanti Sadewa akan membuatkan alat untuk menyimpan batu milikmu."

Nicholas langsung menurut. Dia pergi ke toilet, dan sepuluh menit kemudian, keluar dengan memegang batu miliknya. Seisi ruangan memandang batu itu dengan perasaan campur aduk. Batu itu lalu diletakkan di meja. Mereka langsung melupakan dari mana batu Nicholas diambil setelah keempat batu itu bersinar terang. Setengah bergumam, Ahmad berkata pelan.

"Ayah kalian memang hebat. Kurasa waktunya sudah tiba untuk menjalankan misi rahasia."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status