Share

BAB 6. Master Negara Jerman

Bandara Internasional John F. Kennedy di New York termasuk bandara yang paling sibuk di dunia. Jadi wajar jika bandara ini selalu ramai dipadati oleh penumpang baik di sesi liburan maupun di hari biasa. Antrean sering ditemukan mulai dari pintu masuk bandara, gate keberangkatan bahkan sampai tempat makan. Tapi ini tidak berlaku bagi keempat orang yang sedang menuju ke Jerman.

Nicholas memimpin di depan rombongan itu. Setiap rombongan itu menemui antrean, pintu khusus selalu dibukakan untuk mereka. Para petugas juga selalu menyapa mereka dengan hormat. Dan tentu saja mereka tidak perlu repot membawa barang-barang karena semua sudah ditangani bahkan sejak limosin mereka sampai di area bandara.

"Jet baru siap setengah jam lagi." kata Nicholas pada rombongan. "Kalian mau makan di pesawat atau di ruang tunggu?"

"Terserah kau saja." Ahmad menjawab mewakili yang lain karena dia yang paling tua.

"Baiklah, sebaiknya kita makan di ruang tunggu saja. Perjalanan ke Jerman cukup panjang, nanti kita bisa makan lagi di pesawat sebelum mendarat. Kita tidak tahu sambutan apa yang akan kita terima dari saudara kembarku."

Nicholas cukup terkejut waktu diberi tahu bahwa saudara kembarnya berada di Jerman. Tapi setelah dipikir-pikir, dua saudaranya yang lain juga berasal dari tempat yang jauh. Jadi wajar jika mereka berpencar ke segala penjuru dunia. Dan Nicholas tidak perlu khawatir telah ditipu karena dia memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang bahkan mengendalikannya jika perlu. Dia yakin Ahmad berkata jujur.

Mereka lalu berjalan menuju ruang tunggu. Ruang tunggu tersebut lebih mirip ruang makan yang besar. Berbagai hidangan dari banyak negara dihidangkan. Dan karena ruang tunggu tersebut hanya boleh dimasuki oleh tamu istimewa, tidak banyak orang yang berada di sana. Malik dan Ahmad terlihat kebingungan memilih makanan yang ada. Bukan hanya karena selera makan mereka berbeda dengan apa yang dihidangkan, tapi juga karena mereka mencari makanan yang halal. Akhirnya kedua orang itu hanya mengambil roti dan buah yang disajikan.

Setelah dua puluh menit berada di ruang tunggu, rombongan itu kemudian keluar menuju gate keberangkatan untuk pesawat pribadi. Mereka naik mobil yang mengantar menuju landasan. Tak lama setelah mereka naik, pesawat pun langsung tinggal landas.

Interior pesawat jet pribadi berbeda dengan pesawat komersial pada umumnya. Pesawat yang mereka naiki didesain memiliki sofa yang saling berhadapan. Kini mereka sedang duduk-duduk di atasnya. Makanan kecil juga sudah dihidangkan di atas meja. Dan minuman selalu tersedia di dalam kulkas.

"Boleh aku menanyakan hal yang konyol?" tanya Ahmad membuka percakapan.

"Ya, silakan. Kurasa kita memang perlu mengobrol, untuk menghilangkan kebosanan. Kita akan cukup lama berada di pesawat ini." jawab Nicholas.

"Apakah kau membayar untuk segala fasilitas yang kita terima? Dari tadi aku tidak melihatmu mengeluarkan uang."

Nicholas tersenyum mendengar pertanyaan lugu itu. Senyum puas dari orang yang telah mencapai kesuksesan.

"Aku sudah menelepon petinggi bandara. Jadi mereka sudah bersiap menyambut kedatangan kita."

"Mengapa petinggi bandara internasional dari negara adikuasa mau mengistimewakan seorang anak muda berusia delapan belas tahun?" kali ini Malik yang bertanya.

"Karena aku pernah membantu mereka dalam suatu urusan bisnis, dan dari sana aku mendapat beberapa saham perusahaan pengelola bandara ini."

"Jadi, kau adalah pemilik bandara itu?" tanya Ahmad lagi.

"Tentu saja tidak. Pemerintah setempatlah pemiliknya. Aku hanya memiliki sebagian kecil dari saham itu, tapi sebagian kecil itu bisa digunakan untuk menyewa semua fasilitas yang kita dapatkan hari ini."

"Satu pertanyaan lagi. Kenapa namamu menjadi Nicholas? ayahmu memberimu nama Nakula, dan aku jelas-jelas menyampaikannya pada ayah angkatmu."

Mendengar pertanyaan itu Nicholas tertawa lama sekali. Dia baru berhenti saat terbatuk. Setelah meneguk minuman beberapa kali akhirnya dia berkata.

"Tentu saja kau tidak mengenal ayah angkatku. Kalian hanya bertemu satu kali, itu pun tidak lama. Kau tahu? yang dia pedulikan hanya uang. Dia tidak akan peduli siapa nama anak yang dititipkan padanya. Mungkin saja nama Nakula susah dieja, atau jangan-jangan dia lupa setelah kau memberitahunya. Entah lah, kau harus bertanya langsung padanya."

Setelah itu tidak ada yang berbicara, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aziz yang sejak awal hanya diam, sudah mengenakan headset yang diberikan pramugari untuk mendengarkan lagu-lagu. Pramugari pesawat jet pribadi memang cekatan. Mereka sudah terlatih untuk melayani penumpang dan mengetahui apa yang mereka inginkan. Ahmad diberikan majalah dan buku-buka, dan Malik dipinjamkan gadget untuk mengakses internet. Sedangkan Nicholas sudah masuk ke kamar pribadi untuk tidur.

Beberapa jam kemudian, pilot pesawat menginfokan bahwa mereka akan segera mendarat. Rombongan itu diminta untuk bersiap. Setelah pesawat mendarat, mereka lalu menuju area bagasi. Tak lama kemudian barang-barang mereka sudah siap dibawa oleh portir. Rombongan pun keluar menuju pintu kedatangan. Karena ini bukan lagi wilayah Nicholas, kali ini Ahmad yang memimpin di depan.

Alangkah terkejutnya Ahmad saat melihat ada orang yang memegang kertas bertuliskan namanya di dekat pintu kedatangan. Ahmad memang nama yang umum. Tapi tulisan 'Mr. Ahmad from Indonesia' di Bandar Udara Berlin Tegel pada saat kedatangan mereka patut dicurigai. Karena itu Ahmad langsung mendatangi pemegang kertas itu. Untungnya lelaki itu bisa berbahasa Inggris. Ahmad tidak bisa membayangkan jika harus berbicara dalam Bahasa Jerman sedangkan Bahasa Inggrisnya saja masih terbata-bata.

"Saya Ahmad dari Indonesia." katanya singkat.

"Anda berangkat dari New York?" tanya lelaki itu.

"Ya, kami datang berempat. Siapa yang mengutus Anda?" tanya Ahmad penasaran.

"Ikuti saya. Anda akan saya antar untuk bertemu dengannya."

Tanpa curiga Ahmad langsung mengikuti lelaki itu. Sebenarnya Ahmad agak cemas karena dia tidak mengenal lelaki itu. Tapi ada Aziz dan Nicholas bersama mereka. Ahmad yakin kedua anak muda itu bisa menyelesaikan persoalan yang mungkin muncul baik dengan cara kekerasan atau negosiasi.

Lelaki itu ternyata telah menyiapkan segalanya. Dia datang dengan membawa mobil minivan sehingga keempat orang itu bisa diangkut dalam satu mobil bersama barang-barang mereka. Setelah barang-barang dimasukkan ke dalam mobil, mereka kemudian naik. Tak lama kemudian mobil melaju meninggalkan area bandara.

"Siapa orang yang mengutusmu?" tanya Nicholas pada lelaki itu sambil mengerahkan kemampuannya mengendalikan pikiran.

"Maaf Pak, saya sendiri tak tahu. Semua dilakukan secara online, mulai dari pemesanan sampai pembayaran. Saya hanya tahu nama dan foto kalian, lokasi penjemputan dan ke mana kalian harus diantar." jawab lelaki itu. Dan karena Nicholas yang bertanya, tidak ada yang meragukan kebenaran jawabannya.

"Kau memiliki foto kami?" tanya Malik agak terperangah.

Lelaki itu kemudian memberi mereka kertas bertuliskan nama Ahmad yang tadi dia gunakan. Ternyata dibalik tulisan itu tercetak foto mereka. Meski foto-foto itu diambil dari jarak jauh tanpa sepengetahuan mereka, gambarnya cukup jelas sehingga orang yang memiliki foto itu bisa mengenali mereka dengan mudah.

Tidak ada yang berkomentar apa-apa. Mereka semua sudah mengerti bahwa orang yang akan mereka temui bukanlah orang sembarangan. Dia bisa tahu jadwal kedatangan mereka dan anehnya bisa memiliki foto-foto mereka.

Ternyata tujuan mereka cukup jauh dari bandara. Setelah berkendara hampir dua jam, mereka sampai di sebuah rumah besar di pinggir Kota Berlin. Rumah itu tertutup rapat dan memiliki tembok yang tinggi, pertanda pemiliknya tidak senang dikunjungi. Alangkah terkejutnya mereka setelah melewati pintu gerbang. Tidak ada satu manusia pun terlihat. Tidak ada penjaga, pelayan atau bahkan tukang kebun. Mereka seolah tiba di rumah kosong tak berpenghuni.

Saat rombongan itu masuk, di halaman rumah sudah ada mobil berbentuk mini yang biasa digunakan di bandara untuk mengangkut bagasi penumpang. Lagi-lagi tidak ada orang yang mengendarai. Tapi situasi itu cukup mudah dimengerti. Mereka langsung memindahkan barang-barang dari mobil yang mereka tumpangi ke mobil mini itu. Anehnya, setelah semua barang selesai dipindahkan, mobil itu langsung bergerak masuk ke dalam rumah.

Kini, setelah lelaki yang mengantar mereka pergi, keempat orang itu berdiri di halaman rumah tanpa tahu harus berbuat apa. Tapi tak lama kemudian pintu rumah terbuka. Tanpa ragu mereka lalu masuk ke dalam. Mereka sudah bisa menduga bahwa rumah itu bertingkat dua. Yang tidak mereka duga adalah pemilik rumah itu. Lelaki itu masih muda, berusia sekitar 18 tahun. Dia sedang berdiri di pertengahan tangga yang menuju ke atas.

Saat melihat lelaki itu, Nicholas langsung tersenyum lebar. Setengah bergumam dia lalu berkata.

"Akhirnya aku bisa melihat wajahku sendiri tanpa menggunakan cermin."

"Halo saudara-saudaraku. Perkenalkan, namaku Ludwic Sadewa. Selamat datang di benteng kecilku." kata lelaki itu.

"Yah, setidaknya ayah angkatmu tidak mengganti nama. Hanya menambahkan satu kata di depan." Ahmad berkomentar pelan.

"Halo Paman Ahmad. Paman pernah ke kota ini sebelumnya kan? Tentu saja bukan ke rumah ini. Paman ke sini untuk mengantarku ke rumah ayah angkat, 17 tahun lalu."

"Ayah angkatmu menceritakan itu padamu?"

"Tidak. Ayah angkatku terlalu pendiam untuk bercerita apa-apa. Dan aku terlalu sungkan untuk bertanya. Jadi aku berusaha mencari tahu sendiri."

"Bagaimana kau bisa menyimpan foto kami?" tanya Malik penasaran, karena hal itu yang selama ini mengganggunya.

Senyum Sadewa sama persis seperti senyum Nicholas saat menceritakan bagaimana dia mendapatkan fasilitas dari petinggi bandara.

"Jangankan foto kalian. Aku memiliki data tentang kalian sampai pada hal yang sudah kalian lupakan atau belum kalian ketahui."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status