Share

BAB 9. Rencana yang Sempurna

Cuaca di Bandar Udara Soekarno Hatta sedang gerimis. Di siang hari yang teduh itu, beberapa pesawat sedang antre untuk mendarat karena padatnya jadwal penerbangan. Termasuk pesawat yang berasal dari Berlin, Jerman. Setelah mendapat izin dari otoritas Bandara, baru kemudian pesawat itu bersiap untuk mendarat. Tak lama setelah pesawat itu menginjak landasan, para penumpang pun turun.

Di antara para penumpang pesawat itu ada rombongan penumpang dari bermacam kewarganegaraan. Dari lima orang anggota rombongan, hanya dua orang yang merupakan Warga Negara Indonesia. Sisanya adalah Warga Negara Jepang, Amerika dan Jerman. Hampir satu harian mereka menempuh perjalanan menuju Jakarta. Karena mereka memang naik pesawat komersial biasa, bahkan membeli tiket kelas ekonomi.

Sebenarnya Nicholas telah menawarkan diri untuk menggunakan pesawat pribadi lagi. Tapi Ahmad menolaknya. Kantor pusat Richard berada di Jakarta, dan tidak ada yang tahu seberapa besar pengaruhnya saat ini. Menggunakan pesawat pribadi bisa sangat mencolok, dan rombongan itu juga tidak seperti sekumpulan turis biasa. Ahmad tidak mau mengambil risiko kedatangan mereka dicurigai.

Karenanya kali ini Sadewa yang memegang peranan. Saat masih di pesawat, dia sudah meretas database bagian imigrasi. Dan karena semua sudah serba elektronik, Sadewa tidak memiliki kesulitan untuk mendapatkan izin tinggal sebagai pekerja di Indonesia. Dalam waktu lima menit, dia sudah mendapatkan visa untuknya dan kedua saudaranya yang lain. Setelah pesawat mendarat, satu jam kemudian ketiga warga negara asing itu sudah keluar dari pintu kedatangan.

Ahmad dan Malik sudah menunggu di pintu keluar. Sebagai Warga Negara Indonesia, tentu mereka bisa keluar lebih cepat. Setelah menyewa mobil travel yang cukup besar, Ahmad dan Malik meminta sopir menunggu saudaranya yang lain. Setelah semuanya berkumpul, mereka kemudian berangkat menuju pesantren. Tempat di mana ibu mereka lahir dan dibesarkan. Tempat di mana kedua orang tua mereka bertemu sehingga menjadi jalan bagi keempat anak muda itu lahir ke dunia ini.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir sepuluh jam, rombongan itu akhirnya sampai di tempat tujuan. Bagi Nicholas dan Sadewa, tempat tujuan mereka sangat luar biasa. Wajar saja karena kedua anak kembar itu biasa tinggal di daerah perkotaan. Alam di Indonesia memang indah, terutama di daerah pedalaman. Apalagi pesantren milik Abah Ahmad terletak di kaki gunung yang asri dan sejuk. Kini mereka bisa melihat langsung hamparan sawah hijau dan aliran sungai yang dulu hanya bisa dilihat gambarnya saja.

Saat mereka tiba, satu rumah besar sudah disiapkan. Sebelumnya Ahmad sudah menelepon manajemen pesantren untuk menyiapkan salah satu sakan yang biasa dipakai santri. Mereka butuh tempat untuk berkumpul, jadi Ahmad menempatkan keempat ponakannya di satu rumah. Hanya dia yang tinggal di tempat berbeda, bersama istri dan anak-anaknya.

"Kurasa aku tidak bisa berbuat banyak di sini. Aku memang membawa bermacam alat ciptaanku, tapi tanpa jaringan internet usahaku tidak akan maksimal." kata Sadewa sedikit mengeluh.

"Jangan khawatir." kata Ahmad. "Saat Prof. Morati melakukan penelitian di sini, dia membangun jaringan yang terhubung melalui satelit. Jaringan itu lalu dia hibahkan ke pesantren."

Sadewa langsung tersenyum. Dia seperti anak-anak yang dijanjikan akan mendapat mainan baru.

"Ini tempat kalian. Kita sudah menempuh perjalanan selama satu hari dua malam. Beristirahatlah, esok pagi baru kita berkumpul lagi."

Keesokan paginya mereka dibangunkan oleh suara azan. Nicholas dan Sadewa sangat terkejut karena belum pernah mendengar suara itu sebelumnya. Sedangkan Aziz, meski ayah angkatnya tidak beragama, disekolahkan di tempat yang mengajarkan ajaran agama ibunya sehingga sudah terbiasa dengan suara itu. Jadi hanya Malik adan Aziz yang keluar rumah. Kedua anak kembar, melihat hari masih gelap dan udara sangat dingin, menarik selimut kembali.

Mereka baru berkumpul saat sarapan. Ahmad ingin keponakannya beradaptasi dengan budaya Indonesia, karena itu sarapan tidak diantar ke kamar mereka. Mereka sarapan bersama para santri, bahkan ikut mengantre untuk mengambil makanan. Saat itulah keempat pemuda menakjubkan itu terlihat seperti anak muda biasa, kecuali tentu fisik mereka. Karena memang usia mereka hanya beberapa tahun di atas usia santri pada umumnya.

Pesantren itu hanya menyediakan makanan lokal. Aziz, Nicholas dan Sadewa sempat kesulitan saat memilih apa yang ingin mereka makan. Tapi setelah mencobanya, ketiganya langsung merasa ketagihan. Baru kali ini mereka mencoba paduan rasa makanan yang menggugah selera.

"Kalian senang tinggal di sini?" tanya Ahmad setelah mereka duduk di satu meja makan.

"Ya, tentu. Udaranya sejuk dan makanannya juga enak." kata Nicholas mewakili.

"Bagus kalau begitu. O iya Aziz, aku tak melihatmu setelah selesai Shalat. Kau pergi ke mana?" tanya Ahmad lagi.

"Aku berlatih di balik pohon-pohon rindang itu."

"Kau pergi ke hutan? kau tahu, di sana banyak binatang buas."

"Aku tak takut binatang buas. Aku suka rintangan, itu bisa membuatku lebih kuat."

"Ya, mungkin tempat ini memang baik untukmu. Baiklah, kita berkumpul satu jam lagi. Kalian bisa pergi mandi, tapi aku peringatkan, airnya sangat dingin."

Ternyata air yang dingin bukanlah masalah bagi mereka. Anak-anak muda itu biasa tinggal di negara empat musim. Saat musim dingin, udaranya bisa mencapai minus beberapa derajat. Udara di pesantren ini masih jauh lebih hangat.

Satu jam kemudian mereka sudah duduk berkumpul di ruang tengah. Berbeda dengan saat di rumah Sadewa, tidak ada meja di ruangan itu. Jadi mereka harus duduk di lantai.

"Baiklah. Misi pertama kita adalah menemukan ayah kalian." kata Ahmad membuka diskusi. "Sadewa, apakah kau sudah terhubung dengan internet?"

"Tentu, sistem kalian sangat mudah ditembus. Peretas pemula saja bisa menembusnya." kata Sadewa.

"Sadewa, ini pesantren. Untuk apa orang meretas pesantren, tidak ada apa-apa di sini." kata Ahmad lagi.

"Waktu itu kau bilang tidak bisa menembus keamanan kantor pusat perusahaan Richard. Kurasa kita bisa memulainya dari luar." Malik mencoba mengemukakan pendapat.

"Malik benar. Sadewa, coba tunjukkan pada kami kantor itu sedekat yang kamu bisa."

Sadewa langsung menuruti perintah Ahmad. Dia mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Kotak itu berisi dua buah bola. Saat diletakkan, salah satu bola itu memancarkan citra gambar tiga dimensi sedangkan yang lain menampilkan proyeksi dari papan kunci. Sadewa kemudian mengetikkan sesuatu pada papan kunci, sampai akhirnya citra bola satunya menampilkan gambar sebuah kota lalu terus membesar sampai muncul gedung pencakar langit. Kantor pusat perusahaan Richard.

"Hanya sampai sini yang bisa aku tunjukkan pada kalian." kata Sadewa.

"Kurasa cukup. Mari kita memperhatikannya, siapa tahu kita dapat sesuatu." kata Ahmad.

"Apakah ini proyeksi live? aku melihat ada beberapa pergerakan di sana." Aziz bertanya heran.

"Ya, ini proyeksi satelit saat ini. Hanya terjeda beberapa menit." jawab Sadewa.

"Menurutku ini standar gedung kantor biasa. Aku sudah memasuki ratusan gedung kantor. Pada dasarnya mereka memiliki susunan pola yang sama." kata Nicholas.

"Kau bisa menjelaskannya?" tanya Ahmad.

Nicholas lalu menjelaskan apa saja yang biasanya ditempatkan di level bawah, menengah, dan atas gedung kantor pusat suatu perusahaan raksasa. Saat memperhatikan level atas, Nicholas berpikir sejenak. Setelah yakin dengan apa yang dilihatnya, baru dia berkata.

"Gedung kantor ini memiliki Griya Tawang di puncaknya. Mengingat Sadewa saja tidak bisa menembus keamanannya, aku yakin Richard menempatkan miliknya yang paling berharga di sana."

"Jadi menurutmu ayah kalian ada di sana?" tanya Ahmad. Nicholas lalu mengangguk.

"Jika kita tidak bisa menembusnya lewat jaringan, bagaimana jika kita menembusnya dengan cara fisik?" Aziz mencoba mengusulkan.

"Jangan, perang terbuka di awal pertempuran bukanlah ide yang baik." kata Ahmad. "Dan meski kau bisa melumpuhkan seluruh personel gedung itu, saat kau sampai di atas, sudah tidak ada apa-apa lagi di sana."

"Lalu apa saranmu?" tanya Malik.

"Kita butuh mata. Sadewa, jika ada seseorang yang bisa masuk gedung itu, apakah kau bisa membuat sesuatu yang bisa menampilkan gambar dalam gedung?"

"Sebentar, kurasa aku punya sesuatu." kata Sadewa, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Lima menit kemudian pemuda itu keluar sambil membawa kotak yang ternyata berisi banyak sekali benda berbentuk seperti laba-laba kecil. Sadewa lalu menjelaskan bagaimana alat itu bekerja.

"Kurasa kita bisa memakai alat ini. Cukup letakkan dia di atas kabel yang terhubung ke kamera CCTV. Setelah itu alat ini akan mentransmisikan data gambar yang dilihat kamera itu. Cuma ada kelemahannya. Alat ini tidak terhubung secara online. Jadi untuk menangkap gambar yang alat ini kirim, aku harus berada maksimal satu kilometer darinya."

"Tidak masalah. Biasanya di sekitar gedung kantor pasti ada gedung kantor lain atau apartemen yang bisa disewa. Berarti tinggal mencari cara memasukkan orang di sana. Saatnya mencari seseorang yang mudah dipengaruhi untuk mengajak aku bekerja di sana." kata Nicholas.

"Jangan, wajah kalian terlalu mencolok untuk bekerja di sana. Hanya Malik yang bisa." kata Ahmad.

"Aku tidak bermaksud kasar, tapi kurasa kantor Richard tidak menerima pegawai berlatar pendidikan agama." kata Nicholas lagi.

"Tentu dia tidak menjadi dirinya sendiri. Malik adalah pemuda lokal lulusan SMA yang sedang mencari pekerjaan sebagai petugas keamanan. Kurasa Sadewa bisa mengaturnya."

"Aku bisa membuat dokumen untuk Malik sehingga dia terlihat sebagai petugas keamanan profesional. Tapi aku tidak bisa memastikan dia diterima bekerja di sana."

"Kita akan mengusahakan Malik bekerja di sana lewat gadis itu." kata Ahmad. "Kurasa kalian memang berjodoh."

Entah serius atau bercanda, perkataan Ahmad membuat yang lain tersenyum. Kecuali tentu saja Malik. Pemuda itu tidak pernah membayangkan harus menggoda seorang wanita untuk menyelamatkan ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status