Share

BAB 8. Sang Penguasa Dunia

Meja bundar beralaskan kaca di rumah besar pinggir Kota Berlin bersinar terang. Kaca pada meja itu memantulkan cahaya yang dipancarkan keempat batu yang diletakkan di atasnya. Cahaya yang keluar juga sesuai dengan warna batu. Putih, merah, hijau serta biru. Membuat komposisi warna yang indah, meski tak sebanyak warna pelangi. Dan meski batu itu berukuran kecil, hanya seukuran pil, tapi cahayanya cukup menyilaukan mata.

Baru kali ini batu-batu itu memancarkan cahaya seterang itu, pasti karena diletakkan berdekatan. Lima pasang mata memandangnya dengan terpesona. Akhirnya, setelah beberapa lama, mereka terbebas dari pesona batu-batu itu dan kembali membicarakan misi mereka.

"Baik, simpan batu kalian kembali. Aku akan mulai bercerita." kata Ahmad pada keempat ponakannya.

Para anak muda itu langsung menurut. Mereka mencondongkan badan untuk mengambil batu milik mereka. Kecuali Sadewa, secara mengagumkan batu miliknya bergerak sendiri lalu menyatu dengan telapak tangannya. Seolah anak muda itu memiliki kekuatan menggerakkan benda tanpa menyentuhnya. Tentu saja itu bukanlah kekuatan pikiran atau hal yang bersifat magis. Seperti dijelaskan Sadewa sebelumnya, itu adalah kekuatan teknologi. Karena Sadewa menciptakan robot berukuran Nano untuk menggerakkan batu itu.

Setelah keempat batu itu kembali ke pemiliknya masing-masing, Ahmad mulai bercerita.

"Sekitar dua puluh tiga tahun lalu, Prof. Morati datang ke daerah terpencil di Pulau Jawa untuk melakukan penelitian geologis. Dia adalah seorang ilmuwan yang hebat, tapi bukan pebisnis. Sedangkan penelitian ilmiah itu membutuhkan dana yang cukup besar. Karenanya, saat Richard sahabatnya mengajukan tawaran untuk mendanai penelitian itu, dia menerimanya."

"Saat sedang melakukan penelitian, Prof. Morati mengalami sedikit kendala terkait perbekalan. Perbekalan mereka sudah habis, sedangkan suplai dari Jakarta terlambat datang karena faktor cuaca. Dengan terpaksa Prof. Morati datang ke pesantren abahku untuk menumpang selama beberapa hari. Karena memang lokasi pesantren terletak dekat dengan tempat penelitian mereka."

"Abah akhirnya bersedia menampung rombongan peneliti tersebut sampai perbekalan mereka sampai. Prof. Morati dan timnya kemudian tinggal di pesantren selama beberapa hari. Saat itulah dia bertemu Amira adikku. Dan dari pertemuan singkat itu, keduanya saling jatuh cinta. Meski Abah menentangnya, keduanya akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah penelitian itu selesai, Amira lalu ikut Prof. Morati ke Jakarta. Satu tahu kemudian lahirlah Malik. Selang dua tahun Aziz lahir, dan terakhir kalian si kembar."

Ahmad menyebutkan nama-nama itu sambil menatap orangnya. Seperti biasa, mereka percaya pada cerita Ahmad. Bukan karena mereka yakin bahwa Ahmad adalah orang yang jujur, tapi karena Nicholas ada di sana. Anak muda itu pasti tahu saat orang di hadapannya berdusta. Dan nyatanya dia diam saja mendengarkan cerita itu.

"Kalian tahu, sejak memiliki keluarga, kecenderungan Prof. Morati pada ilmu pengetahuan jadi berkurang. Dia jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga. Tapi kemudian datanglah petaka itu. Saat melahirkan si kembar, Amira harus mengorbankan hidupnya. Peristiwa ini mengguncangkan hati Prof. Morati. Karena itu, untuk melupakannya, dia kembali menghabiskan waktu untuk meneliti. Hasilnya sungguh mencengangkan. Dia berhasil menciptakan alat yang bisa mengubah benda menjadi emas."

Mendengar kata emas, Nicholas langsung tertarik lalu menegakkan posisi duduknya. Dia bertanya untuk meyakinkan.

"Apakah ada alat semacam itu?"

Ahmad tidak menjawab. Dia hanya mengeluarkan sekeping logam dari saku lalu menunjukkan pada mereka. Logam berwarna kuning berkilauan. Nicholas langsung bersiul dan bertanya lagi.

"Logam itu awalnya bukan terbuat dari emas?"

"Mana ada pengrajin emas yang mau membentuk barang berharga miliknya seperti ini. Ini adalah potongan kepingan besi yang diubah alat itu menjadi emas."

"Jika alat itu berfungsi seperti yang kau katakan, saat ini pemiliknya tentu sudah memiliki emas sebesar gunung." kata Aziz berkomentar.

"Mereka tidak sebodoh itu." Nicholas mencoba menyanggah. "Saat emas di dunia ini terlalu banyak, nilainya menjadi tidak berharga."

"Nicholas benar." kata Ahmad. "Mereka hanya memproduksi emas seperlunya. Sebagai modal untuk kegiatan mereka."

"Aku rasa mereka juga mendirikan perusahaan fiktif untuk menyamarkan kegiatan mereka. Kita kan tidak bisa begitu saja punya uang." kata Nicholas lagi, karena ini memang bidangnya.

"Dari tadi kalian mengatakan mereka. Sebenarnya siapa yang menguasai alat itu saat ini?" kali ini Malik yang bertanya.

"Dugaanku, Richard." jawab Ahmad.

"Richard, sahabat ayah yang memberinya modal untuk penelitian?" tanya Aziz tak percaya.

"Ya, karena itulah ayah kalian mengirim kalian ke tempat-tempat berbeda. Selain untuk menumbuhkan potensi kalian, dia juga ingin kalian berada di tempat yang aman saat hal buruk terjadi. Tapi ini baru dugaanku, kita masih harus memastikannya." kata Ahmad.

"Jangan khawatir, kali ini giliranku." Sadewa langsung berkata dengan penuh rasa bangga.

Setelah itu dia menggerakkan jarinya kembali. Di dinding kemudian muncul foto-foto seorang pria paruh baya secara bergantian.

"Yang mana foto ayah?" tanya Sadewa kemudian.

Ahmad lalu memperhatikan foto-foto itu. Saat wajah kakak iparnya muncul, dia langsung berseru.

"Stop. Ini dia ayah kalian."

Kelima pasang mata memandang foto Prof. Morati selama beberapa saat. Setelah itu Sadewa kembali menggerakkan jarinya sambil berkata.

"Sekarang saatnya kita menemukan Richard."

Gambar pada dinding kembali berganti. Kali ini menampilkan foto Prof. Morati bersama seorang pria.

"Maaf, aku tidak pernah bertemu dengan Richard. Saat dia datang ke pesantren, aku sedang tidak ada di sana." kata Ahmad dengan nada menyesal.

Dengan wajah masih tersenyum Sadewa menggerakkan jarinya lagi lalu berkata.

"Jangan khawatir Paman, kalau begitu biarkan komputer yang memilihnya."

Tak lama kemudian muncul beberapa foto Prof. Morati dengan orang yang sama. Ahmad langsung tertarik pada foto dengan latar belakang pegunungan. Dengan yakin dia akhirnya berkata.

"Ya, ini adalah Richard. Aku mengenali gambar di latar belakang foto itu. Bahkan aku selalu melihatnya saat berangkat mengajar di pagi hari."

"Baiklah, saatnya menemukan apa saja kegiatan Richard selama tujuh belas tahun terakhir." kata Sadewa lalu menggerakkan jarinya lagi.

Gambar di dinding lalu berganti dengan cepat. Kali ini tidak hanya foto yang dimunculkan, tapi juga video, potongan-potongan berita bahkan juga artikel-artikel ilmiah. Semua informasi itu hanya terkait satu orang. Namun karena rentang waktunya lama, jumlahnya jadi banyak sekali.

"Bisakah kau menampilkannya secara perlahan, aku tidak bisa menangkap informasi apa pun." kata Aziz, padahal dia sudah terbiasa menangkap gerakan yang cepat.

"Jangan khawatir." kata Sadewa. "Komputer hanya sedang mengumpulkan data. Nanti data itu akan ditampilkan secara detail setelah dianalisis."

"Aku melihat ada foto seorang wanita yang sering muncul. Siapa dia?" tanya Malik penasaran.

"Well, rupanya Sang Romeo langsung jatuh cinta pada pandangan pertama." kata Nicholas mengejek. Malik langsung menatap tajam padanya.

"Kalian jangan salah sangka." kata Ahmad menengahi. "Malik bisa menguasai nafsunya sehebat dia menguasai hati dan pikirannya. Jika dia tertarik pada seseorang, pasti karena hal itu perlu."

"Kalau begitu mari kita cari tahu seberapa menarik gadis itu." kata Sadewa sambil menggerakkan jarinya.

Tak lama kemudian muncul foto seorang wanita bersama beberapa tulisan yang menjelaskan siapa dia. Semuanya lengkap, bahkan mungkin termasuk informasi yang gadis itu lupa.

"Namanya Sofia. Rupanya dia adalah anak gadis Richard. Kau bisa mendapatkan datanya secara lengkap. Apa kau ingin aku mencari foto gadis itu saat tidak memakai busana?" tanya Sadewa sambil menyeringai.

Malik menatap kedua adik kembarnya dengan kesal. Kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan yang menakjubkan, tapi sayang sifatnya masih sangat kekanak-kanakan. Mereka masih perlu mendapat bimbingan.

"Cukup. Mari kita fokus kembali pada Richard dan apa yang dia lakukan setelah memilik alat itu." kata Ahmad.

Sadewa lalu menggerakkan jarinya lagi sehingga foto Sofia berganti dengan foto ayahnya. Tak lama kemudian muncul banyak tulisan berisi informasi tentang lelaki itu.

"Richard memang seorang pengusaha, bahkan sebelum dia kenal dengan ayah. Usahanya bergerak di berbagai bidang mulai dari properti, transportasi, bahkan keuangan. Dan usahanya melejit tujuh belas tahun lalu. Sebelumnya usaha Richard hanya terbatas di Asia Tenggara, dengan mayoritas berada di Indonesia. Namun sekarang perusahaannya sudah menjangkau seluruh dunia."

"Bisakah kau mengakses laporan keuangan perusahaan miliknya?" tanya Nicholas, kali ini mencoba berkontribusi.

Sadewa menggerakkan jarinya lagi, tapi kali ini agak lama. Dia mengetikkan sesuatu ke papan kunci virtual pada meja di depannya. Selang beberapa menit kemudian muncul tulisan berisi angka-angka yang diinginkan Nicholas. Setelah data-data itu dia pelajari, akhirnya Nicholas berani mengambil kesimpulan.

"Ya, perusahaan ini berkembang dengan sedikit aneh. Setiap mereka membutuhkan modal untuk berkembang, ada saja perusahaan finansial yang tidak terkenal memberikan apa yang mereka butuhkan. Pasti modal itu didapat dari emas yang mereka ciptakan. Dengan cara seperti ini, tidak heran perusahaan Richard secara cepat menjadi perusahaan kelas dunia."

Kata-kata Nicholas seperti mengapung di udara. Tidak ada satu pun yang berkata-kata. Setelah mengetahui siapa lawan mereka, semua orang di ruangan itu sibuk memikirkan bagaimana cara mengalahkannya.

"Kau bilang bisa meretas kamera CCTV di seluruh dunia. Bisakah kau meretas kamera CCTV di perusahaan itu?" tanya Ahmad pada Nicholas.

Nicholas kembali mengetik tombol-tombol. Tapi setelah beberapa lama dia berusaha, dia belum juga berhasil. Baru kali ini tidak ada seringai di wajahnya.

"Aku tidak mengerti. Setiap kali aku berhasil masuk, sistem mereka mengubah kode keamanan sehingga aku terlempar kembali. Seolah sistem itu hidup." kata Nicholas saat akhirnya menyerah.

Ahmad sudah menduga hal itu. Menaklukkan sang penguasa dunia memang seharusnya tidak mudah.

"Pusat perusahaan itu ada di Indonesia?" tanya Ahmad pada Nicholas. Anak muda itu lalu mengangguk.

Ahmad lalu bangkit dari tempat duduknya dan berkata.

"Kurasa kini saatnya kalian pulang ke kampung halaman."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status