“Kau ...?” Rose dan Levon terperangah melihat kehadiran Fletcher, tanpa disadari ia sudah ada di meja makan sebelah.
“Dasar Sampah tidak berguna! Bisanya hanya mengkhayal ... Mana mungkin orang miskin sepertimu bisa datang ke ruangan bawah tanah? Alam mimpi pun tidak sudi menerima orang kotor sepertimu!” sindir Fletcher di tempat duduk meja makannya. Ia tertawa sinis pada Levon.
“Mengapa kau mengikuti kami, bajingan?” Rose spontan berdiri dan melotot pada Fletcher. Hal itu membuat para pengunjung melirik ke arah mereka.
Fletcher berdiri menghampiri mereka, “Duduklah sayang ... Aku mengikutimu karena ingin menjagamu dari niat tangan kotor itu,” pungkas Fletcher lembut sambil melirik Levon dengan mata menyempit.
“Ayo kita pergi dari tempat ini, Lev,” kesal Rose pada Fletcher sambil menarik tangan Levon, tetapi Levon tidak berdiri menuruti kemauan Rose.
“Nona, makanannya dihabiskan dulu.” Levon bersedih melihat makanan dan minuman yang belum tersentuh di atas meja.
“Ya karena makanan lezat dan gratis ini sangat berharga bagimu, ‘kan?” timpal Fletcher mengerucutkan bibir menyinggung Levon.
“Kita makan di tempat lain saja, Lev.” Rose menatap tajam Levon.
Tatapan tajam Rose itu bagaikan perintah bagi Levon, ia harus menurutinya, “Baik, Nona.” Levon berdiri dan mengikuti Rose dari belakang.
Rose menghampiri seorang pelayan dan memberikan sejumlah uang padanya sebagai bayaran dari makanan dan minuman yang dipesan, meskipun tak tersentuh sama sekali. Mereka keluar dengan perasaan kesal, sementara Fletcher menyeringai jahat karena berhasil merusak kencan mereka.
Rose melampiaskan perasaannya dengan mempercepat laju mobilnya, “Dia lebih jahat dari seorang penjahat.”
“Kita mau kemana, Nona?” tanya Levon mengangkat alis, bibirnya tertarik ke belakang dan kedua tangan mencengkeram kursi mobil.
Rose memperlambat laju mobilnya setelah melihat Levon ketakutan, “Sejauh mungkin, jaaauuhhhh dari bajingan itu,” jawab Rose menatap Levon yang menghembuskan napas pelan karena lega dirinya tidak melajukan mobil di atas kecepatan standard.
“Tuan Fletcher pasti mengikuti kemana saja kita pergi, Nona.”
“Kau benar, Lev ... Kita makan dirumahku saja ya.”
“Terserah Nona saja,” jawab Levon tersenyum menatap Rose.
“Maafkan aku, Lev. Kencan kita tidak berjalan dengan lancar. Aku berjanji, lain kali kita akan kencan di luar tanpa sepengetahuan Fletcher,” ucap Rose dengan rahang dan bibir bawah cemberut.
“Bukan salah Nona. Ini kesalahanku, karena Tuan Fletcher tidak suka diriku dekat dengan Nona.” Levon menunduk sedih.
“Bukan salahmu. Ini salah Si Bajingan itu,” kesal Rose.
Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah Rose. Rose langsung menyuruh pembantu untuk membuatkan makanan dan minuman ringan.
“Apakah kamu suka menonton film?” Rose memulai pembicaraan, mereka duduk di satu sofa panjang.
“Suka,” jawab singkat Levon mempertahankan kontak mata dengan Rose.
“Film apa yang kau suka, Lev?”
“Em film aksi, komedi, roman, dan ... saya suka semua film,” jawab Levon tertawa kecil.
Rose ikut tertawa, tetapi beberapa detik ia terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu, “Ah aku hampir lupa, lanjutkan cerita tentang dirimu, Lev,” ucap Rose sambil menepuk bahu Levon.
“Nona masih mengingatnya,” balas Levon menyengir.
“Ya dong, aku penasaran tentang riwayat hidupmu. Dan panggil aku Rose, Lev. Disini bukan kantor.”
“Aku ... aku asli orang Amerika. Aku tidak lahir di Kota New York. Aku kesini untuk mencari pekerjaan yang cocok untukku, karena diriku hanya sekolah sampai SD saja. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Dan sebagai anak sulung, tentu aku harus membantu perekonomian keluarga,” kata Levon memulai cerita. Ia berbohong mengenai riwayat hidup untuk menutupi jati dirinya, tetapi ceritanya lancar dan meyakinkan agar tidak terkesan sedang mengarang.
“Ow gitu? Teruskan lagi cerita tentang dirimu, Lev,” desak Rose melengkingkan suara.
“Em apa ya, tidak ada yang menarik dari cerita hidupku,” balas Levon bagai mikir cerita hidupnya yang memarik untuk diceritakan.
“Hem bagaimana adikmu, Lev? Apakah mereka masih sekolah?”
“Kedua-duanya sedang kuliah. Aku bekerja demi mereka. Aku tidak mau mereka seperti kakaknya yang putus sekolah gara-gara ekonomi,” jawab Levon berbohong. Padahal fakta sebenarnya, Levon merupakan anak tunggal yang sangat cerdas dan berprestasi semenjak kecil. Bahkan, Levon lulusan S2 terbaik di masanya pada usia kurang dari umur 20 tahun.
“Kau sangat hebat, Lev. Tujuanmu sangat mulia.” Rose ingin terus bertanya lagi tentang kehidupan Levon, tetapi tiba-tiba Fletcher berteriak dari luar rumah.
“Sialan, bajingan itu datang dan menganggu lagi,” umpat Rose bebarengan dengan datangnya pembantu yang membawa makanan dan minuman. Rose memainkan mata sambil melirik ke arah pintu sebagai pertanda memberi isyarat sekaligus sebuah perintah yang harus dikerjakan. Pembantu itu menganggukkan kepala, ia mengerti bahwa majikannya menyuruh untuk memberi tahu satpam agar mengusir paksa Fletcher.
“Kau tenang saja, Lev. Bajingan itu tidak akan bisa mengganggu kita. Lebih baik kita nikmati hidangan sederhana ini,” kata Rose tersenyum sambil mengambil dan menyodorkan piring kepada Levon. Menu makanannya berupa Delmonico’s steak dan tuna sandwich, sedangkan minumannya adalah pisco sour.
Mereka berdua pun makan tanpa bersuara, menikmati hidangan yang ada. Beberapa menit kemudian, Rose melihat Levon nampak murung saat menyantap tuna sandwich.
“Ada apa, Lev? Apakah tuna sandwich itu tidak enak?” tanya Rose setelah meneguk minuman.
Levon menoleh ke Rose, “Makanan ini sangat enak sekali, butuh waktu lama bagiku untuk makan seenak ini.”
“Lalu? Mengapa kau terlihat sedih, Lev?”
“Aku memikirkan makanan dan minuman yang dipesan di restoran tadi. Pasti makanan dan minuman itu terbuang sia-sia, padahal kita belum memakannya ... Aku teringat masa kecilku dulu. Untuk makan sehari-hari, orang tuaku harus bekerja keras terlebih dahulu. Dan suatu ketika ada sebuah pesta kecil-kecilan di rumah tetangga, mereka mengundang kami. Pada saat acara selesai, kami melihat seorang pelayan membuang sisa makanan. Tanpa ada rasa malu, orang tuaku menghampiri pelayan itu dan mengatakan sisa makananya jangan dibuang, sisa makanan itu akan kami bawa pulang.” Levon menjelaskan cerita itu dengan wajah masam, dan nampak ingin meneteskan air dari sudut mata indahnya. Padahal ia hanya mengarang untuk mendukung cerita hidupnya agar terkesan fakta di mata Rose.
“Aku terharu mendengarnya, Lev. Hidupnya sangat berat.” Rose meneteskan air mata haru, tetapi ia langsung mengusap air mata dan menampilkan wajah ceria. “Mulai detik ini aku akan belajar dari ceritamu. Aku akan menghargai makanan dan minuman yang kupunya. Jika aku makan di luar, pasti akan kuhabiskan.”
Mereka berdua saling memandang, tertawa lepas dan menggoda satu sama lain hingga Levon memberanikan diri untuk bertanya tentang kehidupan Rose, “Siapa dirimu, Rose?”
“Hah? Aku? Kenapa denganku?” tanya Rose mengerutkan hidung.
“Maksudnya, aku ingin tahu tentang kamu. Aku ingin tahu keluargamu,” pungkas Levon menegakkan punggung.
“Kalau tidak kuberitahu?” tanya Rose menggoda Levon.
“Ayolah cepat ceritakan,” desak Levon mencondongkan tubuh ke depan.
“Yang jelas aku anak yang paling disayangi oleh kedua orang tuaku, karena aku anak tunggal, hahahaha.”
“Hahaha, teruskan lagi ceritanya.”
“Sebagai anak tunggal, aku selalu dimanja oleh kedua orang tuaku. Dan semua permintaanku pasti dituruti. Sampai saat detik ini pun, mereka selalu mengabulkan setiap permintaanku. Dan aku lulusan s2 di universitas oxford, Inggris. Emmmm begitulah cerita singkat hidupku,” jelas Rose tersenyum, lalu beberapa detik tertawa tanpa maksud.
“Terus? Siapa nama Papa dan Mama Rose? Apa pekerjaannya? Dan dimana sekarang mereka tinggal? Mengapa mereka saat ini tidak tinggal disini bersama Rose?” pertanyaan bertubi-tubi dan cepat dari Levon membuat ekspresi Rose berubah seketika. Ia menatap tajam Levon dengan ekspresi marah dan tidak suka dengan pertanyaan dari Levon.
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B