Rangga sangat panik melihat perbuatan Nawang yang nekad itu. Bagaimana pun, Rangga adalah lelaki normal. Harus ia akui bahwa tubuh yang terpampang jelas di depannya itu sangat menggoda.Nawang memang cantik dan bertubuh indah. Kulitnya mulus kuning langsat membungkus segala keluk tubuhnya yang serba menonjol sempurna; menantang para lelaki untuk berkelana mengarungi lautan cinta.“A-apa yang kau lakukan… keluar dari sini!” kata Rangga. Wajahnya sudah merah padam karena malu dan marah.“Kangmas… kau jangan membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kau masih menyukaiku. Lidahmu berkata tidak, tapi bagian tubuhmu yang lain tidak demikian!” kata Nawang sambil melirik sesuatu yang ditutupi Rangga dengan kedua tangannya. Benda itu memang sudah tegap mengeras memanjang ke atas dan tak tertutup sempurna oleh kedua tangan Rangga.Nawang bergerak mendekat lalu berlutut di depan Rangga. Ia tetap menjaga senyumnya terus mengembang untuk bisa menggoda lelaki itu.Dengan lembut Nawang berusaha menyingkir
Rangga terbangun dan sedikit berteriak kaget. Ternyata yang barusan ia alami hanya mimpi yang seolah terasa nyata. Keringat dingin langsung membasahi tubuhnya.‘Sial… sampai terbawa mimpi!’ ucap Rangga dalam hati. Ia ingin pipis saat itu juga. Ada rasa enggan untuk ke belakang, namun tidak kuat juga jika harus menahan diri sampai pagi.Dengan perasaan was-was, Rangga menuju ke belakang. Sebelum ia membuka pintu, ia membuka terlebih dahulu jendela kecil yang ada di ruang belakang, mengamati dapur dan sekitarnya untuk sekadar memastikan tak ada siapapun.‘Aman…’ ucap Rangga dalam hati. Lalu ia segera menuntaskan hasrat buang air kecilnya.Di belakang rumahnya, Rangga memikirkan sesuatu. Jika ia pergi menyusul Citra, ia tak mungkin pula membawa semua uangnya dan juga perhiasan yang ia berikan untuk Citra.Sehingga, Rangga punya rencana untuk menyimpan sebagian yang tidak ia bawa di dalam kotak kayu. Lalu malam itu juga, ia melubangi lantai kamarnya dengan linggis dan menaruh kotak uangny
Rangga makan dengan cepat. Pikirannya tidak tenang dan matanya terus mengawasi halaman rumah orang tua Citra.‘Jika ini sebuah tipuan, Jika ayah mertuaku tidak sakit, seharusnya Citra tahu. Ah, sial! Dia pasti sakit hati gara-gara Ratri datang dan mengatakan jika aku menghamilinya. Jika ternyata itu ulang Kang Teja, maka aku tak akan sungkan lagi. Sekalipun aku kalah jika berkelahi dengannya, tapi aku tak akan diam saja dia memukuliku!’ ucap Rangga dalam hati.“Den bukan orang sini, kan?” tanya penjual makanan itu.“E—iya…” kata Rangga.“Kok bisa tahu jika di depan itu rumah Ki Suryo? Kok tadi tanya apakah Ki Suryo sakit?” si ibu penjual makanan itu mulai mencari tahu.“Aku teman Kang Teja, Bibi…” balas Rangga.“Owalah… lha kok ndak masuk saja ke sana…” kata Si Bibi itu.“Ndak enak, Bi… kan sedang ada tamu itu… nunggu di sini boleh?” tanya Rangga.“Monggo saja Den… mau tambah lagi minumannya?”“Boleh. Tolong buatkan yang manis-manis saja, bi…” kata Rangga.Hari mulai sore dan akhirnya
Rangga menuruti kata Citra untuk pergi dari rumah itu. Tentu saja ia tak akan kembali ke desanya. Di desa itu, ia segera mencari tempat yang bisa ia sewa untuk menginap dan ia mendapatkan sebuah rumah yang ia sewa dengan harga sekeping emas untuk satu bulan.Rumah itu tak terlalu besar, namun jelas sangat cukup bagi Rangga untuk hidup sendirian di sana. Jarak rumah itu dari kediaman Citra tidak dekat, namun juga tidak terlalu jauh.Rangga bingung harus melakukan apa. Tapi ia tahu, Teja tak akan lama berada di rumah karena pasti dia pun akan kembali ke kotaraja karena hari liburnya tentu akan habis juga.Dan tak lama setelah Rangga pergi, Teja memang pulang. Kedua orang tuanya segera mengatakan kepada sang anak sulung itu jika barusan Rangga datang ke rumah.“Kemana anak itu pergi?” tanya Teja dengan geramnya setelah tahu Rangga baru saja pergi.“Entahlah. Semoga saja dia kembali ke desanya!” kata Ki Suryo.“Itu tidak mungkin! Bedebah! Jika dia berani muncul, aku benar-benar akan merem
Saat itu Rangga ada di dalam kamar untuk berbenah. Ia cukup kaget mendengar suara teriakan yang ia tahu pasti yang datang adalah Teja.Sebenarnya Rangga ingin menghindari Teja karena jika berkelahi pun, ia pasti kalah. Namun karena Teja justru sudah datang, mau tak mau pun ia harus keluar.“Kau! Berani-beraninya kau datang kemari! Hari ini aku benar-benar akan mematahkan tulang lehermu!” bentak Teja setelah ia turun dari kuda. Wajahnya mengisyaratkan kemarahan.Rangga pun kali ini juga tak bisa dan tak mau terus ditekan. Jika perlu melawan ya ia akan melawan. Tak peduli dengan apa hasilnya nanti. Kalau pun harus remuk babak belur, ya sudah!“Kang Teja, aku masih menghormatimu. Kau adalah seorang Prajurit dan seharusnya bisa lebih bijaksana menyikapi hal ini. Aku rela pisah dengan Citra jika ada lelaki baik yang menjadi suaminya. Tapi Kusuma itu, aku tahu siapa dia! Bukan hanya sekali dia mencari wanita-wanita cantik di desa-desa, menikahinya, memboyongnya, dan di kotaraja dia menjadik
Selepas Rangga pergi, Citra langsung merasa seperti hidup setelah beberapa hari itu ia sama sekali kehilangan semangat. Bahkan ia hanya makan sekali dalam sehari dan itu pun sedikit. Tubuhnya pun banyak susutnya dalam waktu itu.Sebenarnya Citra ingin lekas menemui Rangga. Namun saat itu rumah sedang kosong. Ayah dan ibunya pergi entah kemana sejak pagi. Tapi Citra menebak, ayah dan ibunya pasti mencari orang pintar.Sudah dua kali ada dua orang pintar yang didatangkan untuk menangkal guna-guna. Dalam hati Citra sangat jengkel sebab memang ia tak diguna-gunai. Ia sangat sadar dengan hal itu. Betapa tidak jengkel; wajahnya pun sampai digepyok dengan daun kelor oleh si dukun itu. Yang ada malah wajahnya menjadi gatal-gatal.Dan akhirnya dugaan Citra benar. Ayah dan ibunya pulang membawa serta satu sosok tua berpakain seba putih.Citra benar-benar malas menanggapinya sebab ia berpikir jika orang-orang seperti itu hanyalah dukun jadi-jadian.“Citra, kemari dulu!” perintah sang ayah. “Ki T
Citra menatap Rangga dengan tatapan aneh dan hal itu membuat Rangga semakin gugup.“Kau menunggu ceritanya?” tanya Rangga dengan ekspresi bodoh serba salah.“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Citra. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak sehingga ia pun tak bisa berpura-pura tenang.Rangga menghela nafas, lalu ia bercerita secara singkat garis besar cerita yang ia alami ketika Nawang menyusup di kamar mandinya.“Seharian itu aku, boneng dan yang lain mengurusi kotoran kelelawar. Lalu aku pulang mandi. Tiba-tiba Nawang masuk ke kamar mandi dan membuka bajunya. Aku sangat marah. Lalu aku lari ke dalam rumah. Semua pintu aku kunci. Nawang menunggu di dapur dan memohon agar aku membukakan pintu. Tapi aku lari ke tempat Boneng. Saat aku mengajak tetangga untuk mengusirnya, Nawang sudah menghilang…” kata Rangga dengan ekspresi was-was.Tapi ternyata yang terjadi Citra malah tertawa terpingkal-pingkal; ia membayangkan betapa lucunya Rangga lari dari kamar mandi dalam keadaan tak memakai baju.C
Sepasang suami istri itu semakin larut dalam geliat panas. Bibir mereka sama-sama rakus saling memangsa. Tangan Rangga semakin lincah menjelajah segala hal yang bisa ia raih ketika ia sedang di atas dan memimpin ritual cinta itu.Malam itu menjadi saksi atas pertama kalinya mereka mulai menyatu dalam jalinan cinta. Keduanya saling berpeluh mengejar kebahagiaan yang sulit dibahasakan. Berkali-kali.Citra sangat bahagia. Setelah sekian lama penantian dalam pernikahan, baru kali ini ia merasakan indahnya kehidupan. Rasanya seperti melayang-layang di ambang kesadaran saat Rangga berhasil mengantarkannya ke surga asmara.Awalnya memang mengerikan; Citra mengalami sakit seolah tubuhnya terbelah dua manakala mahkota sucinya itu direnggut suaminya. Namun setelahnya Citra sepakat; mungkin ia akan sering meminta jatah kepada suaminya.Tapi malam itu mereka langsung terlelap setelah menghabiskan tenaga tanpa sisa mengaduk cinta hingga malam buta.Pagi harinya, mereka mengulang hal yang sama; seo