LOGINFajar di dunia baru datang tanpa suara, tanpa kilatan cahaya yang tiba-tiba, hanya kelembutan warna lembayung yang perlahan menyelimuti bumi.Udara di lembah Sukma Niskala bergetar tenang. Pohon-pohon tua memancarkan embun bercahaya, air di sungai mengalir dengan irama pelan, seperti sedang bernyanyi.Larisa menatap pemandangan itu dari tepi batu besar di punggung gunung.“Juna,” katanya dengan lembut, “ini… terasa berbeda.”Arjuna yang berdiri di sampingnya dengan mata menatap lembah di bawah, ketempat cahaya dan bayangan kini menari tanpa saling menelan.“Ya,” jawabnya tenang. “Dunia sedang belajar bernafas lagi.”Raksa datang membawa kendi berisi air dari sungai. Ia menuangkannya ke dalam wadah tanah liat di depan Arjuna.“Airnya berwarna jingga,” katanya pelan. “Seperti langit sore.”Arjuna menyentuh air itu. Terasa hangat dan hidup. “Bukan warna air yang berubah, Raksa. Tapi rasa kita yang kini bisa melihatnya.”Ratih duduk di atas batu datar, menatap langit yang perlahan membent
Lorong cahaya itu memanjang tanpa ujung, seperti perjalanan tanpa jarak, hanya perubahan warna, dari keemasan menjadi lembayung, lalu biru tua yang tenang. Udara di dalamnya tidak bergerak, namun setiap langkah terasa seperti melangkah di antara detak jantung dunia.Larisa menatap sekeliling, matanya terbelalak kagum. “Juna… di mana kita?”Arjuna berjalan di depan, langkahnya pelan tapi pasti. “Di antara waktu dan rasa, Larisa. Tempat ini bukan masa depan, bukan masa lalu, tapi jembatan di antara keduanya.”Raksa menatap sekeliling, wajahnya tegang. “Seperti mimpi yang sadar.”Ratih mengangguk pelan. “Atau seperti ketika kita bermimpi tentang sesuatu yang sudah terjadi, tapi belum selesai.”Arjuna tersenyum tipis. “Itu karena semua waktu sebenarnya tidak terpisah. Mereka hidup di dalam rasa yang sama.Cahaya di ujung lorong pun tampak mulai berubah. Kini warnanya seperti api lembut, bukan panas, tapi hidup. Di tengah cahaya itu, tampak gerbang raksasa dari energi murni, penuh dengan u
Cahaya lembut menyelimuti tubuh mereka saat melangkah masuk ke dalam celah bercahaya itu. Udara di sekitar seketika terasa hangat namun tenang, seperti napas bumi yang mengalun di antara detik dan hening.Arjuna berjalan paling depan seraya membawa Kujang Layung yang berpendar perlahan. Setiap langkahnya tampak menimbulkan riak cahaya di lantai yang bukan tanah, melainkan semacam kristal tembus pandang, layaknya pijakan dari rasa itu sendiri.Raksa menatap sekeliling, matanya bergetar. “Jun… ini bukan gua.”Larisa mengangguk, suaranya nyaris berbisik. “Ini… seperti dunia lain.”Ratih menatap langit-langit di atas mereka, tak ada batu yang ada hanya hamparan cahaya yang bergerak seperti air. Dari kejauhan terdengar suara halus, seperti kidung kuno yang dinyanyikan ribuan suara, namun tidak berasal dari satu arah pun.Arjuna menutup mata sejenak, lalu berbisik, “Selamat datang di Pajajaran Sukma Niskala.”Larisa menatapnya tak percaya. “Juna… jadi kerajaan ini benar-benar ada?”Arjuna m
Malam turun perlahan di Neo-Galuh dan untuk pertama kalinya sejak berdirinya kota itu, langit tampak kembali memiliki warna. Semburat jingga keemasan terlihat berpadu dengan biru lembut, seolah bumi sedang bernafas lega setelah ratusan tahun menahan napas.Arjuna berdiri di tepi jembatan kaca yang membelah kota seraya melihat pantulan dirinya bersama Larisa, Raksa dan Ratih di bawah sinar bulan. Bayangan mereka kembali, tapi di antara pantulan itu, ada sesuatu yang berbeda, yaitu bayangan bumi yang bergerak sendiri.Larisa menatap pantulan itu, wajahnya tegang. “Juna… lihatlah. Bayangan kita bergetar.”Raksa menatap ke bawah. “Bukan kita yang bergetar, Larisa. Tapi tanah di bawah kota ini…”Bersamaan dengan itu, sebuah dentuman lembut terdengar, diikuti oleh getaran panjang dari arah selatan. Lampu-lampu kota bergoyang, dan air di sungai bawah jembatan membentuk pusaran aneh — berputar searah spiral Rahyang.Ratih menatap Arjuna. “Juna… apa yang terjadi?”Arjuna memejamkan mata. “Aku
Langit Neo-Galuh kini terlihat berwarna kelabu pucat. Tidak lagi biru, tidak pula berwarna jingga. Hanya warna datar tanpa kedalaman, seolah bumi sendiri kehilangan nuansa rasa.Disaat yang sama, Arjuna tampak berdiri di tengah alun-alun kota seraya memandangi pantulan dirinya di permukaan jalan kaca yang terlalu bersih.Tak ada bayangan di sana. Hanya refleksi samar, datar, dan tanpa warna.Raksa tampak melangkah mendekat, menatap sekeliling. “Tidak ada bayangan, Juna. Tidak dari matahari, tidak juga dari lampu. Seakan semua cahaya di sini menolak untuk berinteraksi.”Larisa yang memegang alat pemindai kecil, wajahnya tegang. “Ini bukan sekadar efek optik. Kelembaban udara, partikel cahaya, bahkan gelombang elektromagnetik di sini semuanya tampak steril dari interferensi. Seolah kota ini tidak memiliki kedalaman eksistensi.”Ratih menatap mereka dengan cemas.“Jadi maksudmu… kota ini tidak punya jiwa?”Larisa menatapnya pelan. “Atau mungkin… kehilangan rasa.”Arjuna sejenak diam. Ia
Sudah sepekan sejak langit terakhir kali memancarkan warna jingga keemasan.Dunia tampak normal, bahkan mungkin terlalu normal. Terlalu tenang untuk sesuatu yang baru saja mengguncang seluruh kesadaran manusia.Di Bandung, langit biru tergantung di atas kota, orang-orang terlihat kembali bekerja, anak-anak berangkat sekolah, dan berita di layar publik tak lagi berbicara tentang “Fenomena Rasa Global.” Seolah semuanya hanyalah mimpi panjang yang perlahan dilupakan.Namun bagi Arjuna Wisangjati, keheningan itu bukan kedamaian, melainkan sebuah pertanda bayangan yang sedang tumbuh di bawah cahaya.Saat itu Larisa tampak sedang menatap layar besar di ruang laboratorium kecil mereka. Gambar holografik menampilkan peta resonansi bumi, bumi yang dulunya berdenyut lembut seperti jantung kini menunjukkan titik-titik merah menyala di berbagai lokasi.“Juna, lihatlah ini,” katanya cemas.“Gelombang kesadaran baru muncul di beberapa pusat teknologi besar, Tokyo, Silicon Valley, dan Zurich. Mereka







