“Kakek kamu jatuh di kamar mandi Sarah, entah bagaimana tapi kami menemukannya sudah tidak bernafas terbaring di lantai kamar mandi, sepertinya Kakek kamu selesai mengambil air wudhu,” terang Bu Mila.Sakit sekali hati ini seperti ada sebuah pisau yang menusuknya sangat dalam, aku yang sedang menoleh pada Bu Mila mendengar keterangan yang Bu Mila katakan, sambil tanpa sadar memegangi dadaku karena terasa sakit sekali, serta air mata yang mulai mengalir dengan deras.“Kakek…” rintihku, lalu menutup wajahku ini dengan kedua telapak tangan. Bu wida guru wali kelas yang duduk di sebelahku langsung memelukku dengan erat sambil berkata, “Yang sabar Sarah, kamu harus kuat, ini sudah takdir yang Maha kuasa kita harus menerimanya sudah waktunya Kakek mu kembali kepada Sang pencipta, kita semua pasti akan menyusul kelak pada waktunya semua makhluk hidup ciptaanNya pasti akan kembali padaNya.”Kubuka kedua telapak tangan yang menutupi wajah, Bu Wida guru wali kelasku itu melonggarkan pelukann
“Kamu harus bisa mengikhlaskan Kakekmu Sarah, yang sabar yah,” ucap seorang pria dengan suara berat sambil menyentuh pundakku lalu duduk di sebelahku.Aku yang sedang duduk sambil tertunduk di hadapan jasad Kakek yang terbujur kaku ditutupi kain itu, hanya bisa menghela napas berat lalu sekilas aku menoleh pada pria yang baru saja duduk di sebelahku yang tak lain adalah Pak Rt.Aku pun mengangguk perlahan membalas ucapan Pak Rt lalu mendongakan tubuhku sambil tanganku membuka kain yang menutupi wajah Kakek. Dengan lembut kukecup kening Kakek untuk yang terakhir kalinya, walaupun dengan berat hati aku harus mengikhlaskan kepergian KakekTeringat pesan Kakek yang mengatakan bila nanti Kakek pergi untuk selamanya aku harus ikhlas dan Kakek tak ingin melihatku bersedih karena kepergiannya, lalu aku pun berbisik di telinganya, “Sarah Ikhlas Kek, pergilah dengan tenang semoga Kakek di tempatkan di tempat yang layak disisi-Nya. Sarah akan selalu berdoa untuk Kakek.”“Sarah, Bapak sudah menel
Setelah menutup pintu kamar, dari balik pintu terdengar suara langkah kaki Mas Arya berjalan menjauh dari pintu kamarku. Mas Arya pasti masih penasaran dengan tingkahku barusan, tapi aku tidak dapat mengatakan padanya apa yang kulihat tadi.Selain Kakek tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa aku bisa melihat makhluk astral, bahkan Mamah sekalipun tidak mengetahui hal itu. Aku menyadari bahwa tidak semua orang bisa menerima kelebihanku yang bisa merasakan dan melihat makhluk gaib, bahkan sebagian dari mereka mungkin malah akan menganggap aku terkena gangguan jiwa.Seperti yang Kakek bilang setiap orang berbeda pemikiran, yang mempercayai dan menerima kelebihanku mungkin malah dia akan memanfaatkan keadaan untuk keuntungannya sendiri, sedangkan yang tidak mempercayai hanya akan beranggapan bahwa aku gila, jadi lebih baik tidak ada seorangpun yang tahu dan aku harus bisa menutupinya agar orang lain tidak merasakan ada sesuatu yang berbeda pada diriku.Aku harus bisa bersikap sewajarny
Hampa terasa hati ini setelah kepergian Kakek orang yang selalu ada disampingku, dan sekarang Nenek Uban pun pergi entah kemana. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, tentu saja aku harus melanjutkan hidupku. Sepertinya aku terpaksa harus menerima keputusan Mamah untuk tinggal di Jakarta bersamanya.Selama ini aku dan Mamah tidak terlalu dekat, mungkin karena selama ini kami hidup terpisah bertahun-tahun lamanya. Mamah yang harus tinggal di Jakarta bersama keluarga barunya dan aku yang memutuskan untuk tinggal bersama Kakek karena belum bisa menerima perceraian orang tua kandungku dan kehadiran keluarga baru, Papah Hadi dan kedua anaknya.Jujur saja kenapa aku tidak bisa dekat dengan mereka selama ini, bahkan Mamah sudah menikah dengan Papah Hadi selama delapan tahun, tapi aku belum bisa menerima kehadiran keluarga baruku itu karena aku merasa Papah Hadi dan kedua anaknya itu telah merebut Mamah dariku dan Papah, secara tidak langsung aku menyalahkan Papah Hadi atas penye
Apakah tidak ada seorangpun yang mendengar isak tangis seorang wanita itu? Kamarku dan kamar Kakek yang sekarang diisi oleh Mamah dan Papah Hadi hanya terhalang dinding pemisah ruangan. Mungkinkah Mamah dan Papah Hadi tidak mendengar tangisan wanita di kamarku ini?. Padahal Kakek biasanya bisa mendengar suara yang berasal dari kamarku ketika Kakek ada di kamarnya, begitupun juga dengan aku bisa mendengar suara yang berasal dari kamar Kakek ketika aku berada di kamarku ini.Aku masih memejamkan mata walaupun sebenarnya sudah terbangun, di balik selimut keringat dingin mulai kurasakan bergelut dengan pertanyaan siapa wanita yang menangis tengah malam di kamarku ini, kenapa Mamah dan Papah Hadi tak mendengar suara tangisan wanita ini.Bila hanya aku yang bisa mendengarnya, sudah dapat dipastikan wanita yang menangis di kamarku ini bukan manusia dan perasaanku pun yakin ada makhluk halus di kamarku ini.Apa yang harus aku lakukan? Membuka selimut ini dan diam saja di tempat tidur berpura-
“Memangnya kamu tidak akan mengajak Nenek pindah ke Jakarta bersama kamu?” tanya Nenek Uban sambil menautkan kedua alis matanya.“Nenek mau ikut denganku ke Jakarta?” jawabku dengan balik bertanya.Aku yang berpikir Nenek Uban tidak akan mau pergi dari rumah Kakek dan ikut pindah bersamaku ke Jakarta, karena itu berarti dia akan jauh dari batu besar di tengah sungai itu yang selama ini Nenek Uban lah penunggunya. Selama ini dia memang tinggal bersamaku di rumah Kakek, tapi ketika tengah malam tiba dia akan kembali ke batu besar di tengah sungai.Nenek Uban pernah mengatakan kalau dia tidak kembali ke batu besar di tengah sungai itu akan ada makhluk lain yang menggantikannya menunggui batu besar itu, jadi kupikir Nenek Uban tidak akan pernah mau meninggalkan desa ini menjauh dari batu besar di tengah sungai yang sudah dia tunggui puluhan atau mungkin ratusan tahun, entahlah berapa usia Nenek Uban sekarang ini aku belum pernah menanyakannya.“Tentu saja Nenek mau, kalau kamu mengajak da
“Nenek tidak khawatir membiarkan aku pergi sendiri ke Jakarta?” tanyaku masih mencoba membujuknya agar Nenek Uban berubah pikiran dan tidak jadi pergi untuk mencari tahu siapa Kakek-kakek itu. Sebenarnya aku yang mengkhawatirkannya, aku takut terjadi sesuatu pada Nenek Uban dan aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.“Apa yang harus aku khawatirkan Sarah? Kamu pergi bersama Mamahmu dan keluarganya, Nenek yakin mereka akan menjagamu,” jawab Nenek Uban sambil menatapku yang kini sedang tertunduk seperti anak kecil yang sedang merajuk tidak ingin ditinggalkan Ibunya.“Sudahlah Sarah Nenek tahu apa yang kamu khawatirkan, bila kita memang berjodoh dan aku ditakdirkan Tuhan untuk terus mendampingimu aku pasti akan kembali. Tuhan tidak mungkin mempertemukan kita yang berbeda alam ini delapan tahun lalu dan bisa membuat kamu melihat Nenek bahkan membuat Kakekmu mengizinkan cucu kesayangannya ini berteman dengan makhluk halus seperti Nenek tanpa sebuah maksud,” sambung Nenek Uban.Aku men
Aku menoleh pada Nenek Uban dengan menautkan kedua alis mataku dan tatapan menuntut penjelasan. Semua yang dikatakan Nenek Uban membuatku kebingungan, aku belum pernah melakukan perjanjian dengan siapapun apalagi sebelum aku lahir mana mungkin bisa hal itu terjadi.“Bukan kamu yang melakukan perjanjian Sarah, tapi dia yang sudah berjanji seperti aku ini yang sudah berjanji pada Kakek mu sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya di depan mataku, saat aku tak bisa menolongnya melewati maut. Aku berjanji pada Kakek mu untuk selalu mendampingimu menjagamu, begitupun dia,” ujar Nenek Uban sambil menoleh pada Kakek berjenggot putih itu.Dengan menganggukan kepala membenarkan perkataan Nenek Uban, Kakek berjenggot putih itu menoleh padaku, namun aku masih tidak mengerti kenapa dia harus berjanji untuk mendampingiku pada siapa dia berjanji.“Dia sudah berjanji kepada leluhur mu yang telah menolongnya Sarah, dia berjanji akan datang pada keturunan leluhur mu yang ke tujuh dan keturunan ke t