Laila mencubit pelan lengan Jono yang membuat pria itu terkekeh.Siapapun akan mengira mereka adalah pasangan yang romantis dan mesra. Pada saat sedang saling berbisik, seorang wanita datang dengan pakaian dan penampilan yang sedikit mencolok.Dia memperhatikan apa yang ada di hadapannya sedikit memicingkan matanya. Ia seperti mengenali wanita yang berada di sisi Jono namun tidak terlalu yakin.Setelah cukup dekat,. sekarang ia baru menyadari siapa sebenarnya wanita tersebut."Bukankah kamu Laila? Gadis yang menjadi pembantuku dulu?" Suara Winda membuat banyak orang memperhatikan dan melihat kearah mereka.Jono sedikit tersentak dan Laila juga menoleh ke arah Winda."Bu Winda... uhmm..."Tangan Jono reflek menarik Laila dan menyembunyikan Laila di belakang tubuhnya. Ia tau Winda tidak akan bersikap baik pada Laila."Ooh, jadi kamu ini berkerja denganku punya maksud tertentu ya? Kamu mengincar suamiku? Atau sebenarnya... suamiku yang menjanjikan sesuatu padamu?" kata Winda dengan emos
Jono tersenyum, mengingat betapa terkejutnya dirinya saat itu karena tiba-tiba saja ada seseorang yang mengaku-ngaku sebagai ayahnya. Kisah tragis dalam hidupnya selalu saja melayang dalam ingatannya. Tidak, ia bahkan tidak pernah tahu rasanya punya orang tua, sehingga ia tidak yakin apakah memiliki ayah penting baginya saat itu. "Cukup rahasia, karena sangat memalukan menjalani hidup sebagai anak tanpa orang tua yang jelas. Aku bahkan mengira tidak akan pernah bertemu dengan kedua orang tuaku seumur hidupku. Akan tetapi takdir mengatakan hal yang berbeda." "Dari sekian banyak anak yatim mungkin hanya sedikit yang berharap bisa bertemu dengan kerabat apalagi salah satu orang tuanya. Terkadang mereka bahkan hanya sebatang kara," lanjutnya dengan raut wajah yang sedih. "Ah, itu bukan apa-apa dibandingkan denganku. Kau masih sangat beruntung." "Beruntung? Hah, ada-ada saja." "Aku serius. Dibandingkan denganku, kisah mu tidaklah memalukan." "Memangnya kamu gimana? Kenapa k
Kejadian ini sudah berulang untuk ke sekian kalinya. Mimisan dengan darah yang cukup banyak membuatnya sedikit pusing. Bisa jadi karena begadang semalaman dan kurang istirahat membuat penyakitnya kambuh lagi. Iapun mengambil beberapa helai tissue dan mendongak untuk menghentikan aliran darah dari hidungnya. Kepalanya mulai berdenyut nyeri lagi sehingga sekuat tenaga ia memijat keningnya yang sakit. Jono masih terlelap tidur sehingga tidak tau apa yang Laila alami. Ia tidak akan membangunkan pria yang kelelahan di sampingnya itu dan membuat kehebohan. Setelah sedikit reda rasa sakitnya dan juga darah dari hidungnya tidak lagi mengalir, iapun membersihkan semuanya supaya Jono tidak tau apa yang terjadi padanya. Kemudian Laila merebahkan diri untuk memejamkan mata dan beristirahat. Saat Jono terbangun, ia melihat Laila tidur pulas. Akan tetapi ia merasa wajah Laila sangat pucat. Karena penasaran iapun menggerakkan bahu Laila sedikit. "Laila, Laila...," tapi tak ada respon
"Tidak, jangan!" sergah Laila menahan lengan kekar Jono. "Aku sungguh baik-baik saja dan harus istirahat, kenapa kau harus menemui dokter padahal dokter tadi sudah menjelaskan padaku?" ujarnya sambil tangannya mencekal lengan Jono sangat kuat. Tentu saja Jono merasa kaku dan bingung. Ia melirik tangan Laila yang masih menempel erat di lengannya. "Oh, baiklah... tapi... aku mau ke ruang administrasi. Bukankah kita harus menyelesaikan pembayaran dan menebus obat?" Laila sadar, cengkraman tangannya cukup kuat sehingga Jono merasa risih. "Ekhem, benar juga... maaf," ujarnya malu-malu. "Tak apa, kau pasti malas berurusan dengan rumah sakit, aku juga merasakan hal yang sama, mondar-mandir rumah sakit membuatku kesal," katanya. "Kau ingat kan waktu aku buta dulu, kau juga yang sering mengantarkan aku ke rumah sakit." Laila tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Terutama ia tidak mau Jono curiga soal hasil diagnosa tadi, ia akan merahasiakan sebisa mungkin dan mengabaikan pemikiran
Laila yakin memang Jono tidak bisa melupakan istrinya itu. Itulah sebabnya hatinya seakan tidak pernah terbuka untuk siapapun. Sekarang wanita itu tengah berusaha memenangkan hati pria itu lagi. Bisa jadi Jono memaafkan kesalahan Winda di masa lalu mengingat betapa pria itu mencintainya dulu. Sementara itu Jono yang masih terpaku melihat tingkah mantan istrinya seakan tak bisa berkata-kata. Langkah wanita itu kian mendekat dan menatapnya lekat. Winda semakin mendekat dan berkata dengan lembut, "Aku sungguh minta maaf karena sesungguhnya aku juga tidak bisa mengendalikan diriku saat bersamamu. Semua itu terjadi karena hatiku tidak bisa melupakan begitu saja apa yang pernah terjadi diantara kita berdua dahulu," ujarnya dan kini tangannya menyentuh pundak pria itu. Laila yang melihat suasana semakin menghimpit perasaannya segera melangkah masuk ruangan dengan selembar surat perjanjian mereka. Sudah kepalang Winda mengetahui semuanya, ia mengambil kesempatan ini supaya Jono ti
Laila terpaku dalam pertanyaan Jono yang tidak terduga. Ia sudah berbohong soal kekasih itu, bagaimana mungkin ia bisa menarik kembali ucapannya? "Laila... kenapa malah bengong? Aku bertanya soal kekasihmu, apa dia benar-benar serius mau menikahimu? Bukankah setidaknya dia tau kalau kau adalah seorang janda... apa dia sungguh akan menerima?" Lagi-lagi Laila tersentak, mendengar penjelasan Jono seharusnya memang sedikit rumit. "Tentu saja aku sudah menjelaskan semuanya, tidak masalah tentang apa yang sudah terjadi padaku, maka dia sudah menerimaku apa adanya." Jono tersenyum tipis, ia masih tak percaya seorang lelaki tidak mencurigai kekasihnya. "Dia pasti orang hebat dan sangat percaya padamu, aku sangat salut dan respect, aku jadi semakin ingin mengenalnya lebih baik. Bukankah dia juga tau kalau aku hanya suami palsu, jadi itu tidak sulit, bukankah begitu?" Laila cepat-cepat menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin aku perkenalkan dia denganmu." "Kenapa?" "Karena kau a
Suasana semakin tegang mencekam saat Jovan begitu murka terhadap putranya. Saking menakutkan, Jono seperti orang gagap yang tidak bisa menjelaskan apapun kejadian yang sebenarnya. Apalagi Hanah terlihat memanfaatkan situasi ini untuk membuat kekacauan. "Pantas saja kalau istrimu minta cerai. Mana ada wanita baik-baik yang sudi diperlakukan seperti ini?" Jovan menatap Hanah masih penuh tanda tanya karena gadis itu masih menunduk dalam seperti ada sesuatu yang akan ia katakan. "Apa ada sesuatu yang akan kau katakan lagi?" "Ayah... akhir-akhir ini aku merasa tidak enak badan. Aku merasa mual dan sering mau muntah jika mencium aroma parfum Jonathan... kata dokter...." "Apa? Benarkah kamu hamil?" Jono mendelik tak percaya dengan pengakuan Hanah yang tidak masuk akal. Dalam hidupnya ini ia hanya dekat dengan tiga orang wanita. Yang pertama adalah Winda, wanita itu bersikap gila dengan berselingkuh darinya. Kemudian Laila, wanita ini tiba-tiba meminta cerai tanpa sebab dan
"Apakah dia mapan dan kaya itu penting untuk kamu ketahui? Aku sudah memilih, berarti dia lebih baik darimu." Hati Jono mencelos, memangnya lelaki apa yang lebih baik darinya? "Aku hanya tidak ingin kamu hidup susah dan menderita, lebih baik kau tetap menjadi istriku saja daripada hidup susah." Laila benar-benar dibuat bingung sekarang, apa permintaan itu tulus atau hanya karena uang? "Jangan perdulikan hidupku. Lebih baik urusi saja urusanmu dengan Hanah atau Bu Winda. Kelihatannya mereka sangat menyukaimu." "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kau tidak menyukaiku walaupun sedikit?" Jono bergerak melangkah mendekati Laila, ia menatap manik mata Laila begitu dalam dan mencari tau jawaban yang sebenarnya dari wanita di hadapannya. Laila tercekat dan gugup. Menyukai? Ah, apakah dirinya layak untuk menyukai? Tubuhnya dijangkiti penyakit dan hidupnya sebentar lagi berakhir, ia tidak boleh membuat seseorang berharap bukan? "Lihatlah, kau saja tidak bisa menjawab pertanyaan