Share

004 | Earthquake and A Princess From The North Kingdom

Ailfrid sudah sejak tadi mengakhiri ceritanya. Keduanya masih terdiam di posisi, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Seth sudah hidup sangat lama, mungkin sejak dua atau tiga generasi kekaisaran Vriyodora. Ia dan kaumnya memang memilih menjauh dari manusia, tinggal di reruntuhan kota yang sudah mati. Mengisolasi diri dari dunia luar, tapi itu tidak berarti ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di luar sana.

Tapi sampai tidak mengetahui apa yang terjadi di Aldrand padahal itu bukan kejadian kecil jelas adalah sesuatu yang aneh. Setidaknya, seharusnya kerajaan utara juga mengetahuinya karena posisi mereka saling berdekatan.

Lain Seth, maka lain pula apa yang dipikirkan oleh Ailfrid. Sang raja pada dasarnya punya kemampuan sihir yang cukup kuat, kalau tidak, mana mungkin ia bisa mengendalikan naga untuk menyerang Nuada—walau itu adalah pemaksaan. Makhluk sihir biasa mungkin bisa dikendalikan dengan mudah, tapi naga termasuk makhluk agung. Butuh sihir yang cukup besar untuk mengendalikannya selama beberapa saat.

Apa yang sebenarnya diinginkan olehnya?

Kekuasaan jelas sudah didapatnya. Ia adalah seorang calon raja sejak awal. Tidak ada alasan baginya untuk khawatir akan perebutan kekuasaan karena orang itu adalah anak tunggal.

Ailfrid mengerjapkan kedua matanya, seperti tengah menyadari sesuatu. Anak tunggal, katanya?

"Eire."

Pemuda berambut coklat kemerahan itu mendongakkan kepalanya, mendapati sang lawan bicara menatapnya ragu.

"Jangan bilang tujuanmu ke hutan ini adalah mencari tempat dikurungnya naga itu lalu membebaskannya?"

"Oh, di luar dugaan kau cukup tanggap."

Tentu saja, walau tidak secerdas Ailfrid, Seth bukan orang yang bodoh. Kalau tidak, ia mungkin sudah mati sejak memulai perjalanan dengan orang yang hobi sekali menantang maut ini.

Seth menepuk dahinya pelan. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Sejak awal pilihannya mengikuti orang ini memang sudah salah. Ia memang makhluk yang semi abadi, masa hidupnya bisa cukup lama tapi bukan berarti ia tidak bisa mati sama sekali. Ikut dalam perjalanan dengan Ailfrid seperti mengurangi separuh masa hidupnya.

Coba saja ia ingat, nyaris dijadikan persembahan sekte terlarang di kerajaan selatan, nyaris mati diburu elf pemburu karena tanpa sengaja mengganggu acara berburu mereka, atau terpanggang di sarang burung api. Dan masih banyak lagi, hingga ia bahkan tidak bisa mengingat bahaya apa lagi yang pernah membuat mereka hampir berhadapan dengan dewa kematian setiap saat.

Ah, dewa kematian juga mungkin saja sudah lelah dengan keberuntungan hidup mereka. Selalu nyaris mati, tapi tidak pernah mati sungguhan.

Tapi, tunggu.

Seth sontak berdiri, melangkah cepat mendekati Alifrid. Kedua tangannya mencengkeram kerah coat yang dikenakannya, membuat temannya itu mengubah posisi menjadi berdiri.

"Membebaskan naga itu sama saja dengan mencari mati, sialan. Kau ingin berurusan dengan kerajaan Aldrand dan diburu oleh mereka?" Seth nyaris berteriak, walau bahkan suara sekecil apapun di tengah hutan gelap yang sepi seperti ini akan terdengar jelas.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Raja Aldrand yang sekarang bukanlah seorang pengasih. Mencari masalah dengan sang raja sama saja seperti mengantar nyawa secara sukarela. Perbuatan sang raja memang tercela, tapi bukan berarti ia bisa ikut campur begitu saja.

Vampir tidak memiliki hak apapun di dunia ini untuk bisa terlibat dengan hal-hal di luar jangkauan mereka. Itu sudah menjadi seperti hukum tidak tertulis.

Ailfrid tersenyum tipis. Ia melepaskan cengkeraman Seth pada coat miliknya, "Aldrand akan menjadi lebih buruk kalau hal itu terus dibiarkan. Putra mahkota yang sekarang mungkin tidak akan pernah memiliki takhta kerajaan berapa tahun pun ia menunggu."

Ada banyak hal yang diketahuinya. Apa yang sudah dilihatnya hari itu, dan apa obsesi yang dimiliki sang raja. Naga itu hanya salah satunya.

"Kekuasaan adalah yang pertama, lalu selanjutnya adalah keabadian."

"Ap—"

Belum sempat Seth menyelesaikan perkataannya, tanah yang mereka pijak bergetar. Awalnya pelan, semakin lama semakin keras. Bebatuan dan pepohonan di sekitar mereka berjatuhan. Keduanya tersentak lalu menoleh ke seberang sungai. Ailfrid segera mengenakan kacamata miliknya, benda itu membuatnya bisa melihat aliran sihir yang memang sulit dilihat oleh mata telanjang.

Arus sihirnya kini terlihat. Dan tujuannya melewati sungai. Keduanya saling berpandangan. Seth yang memang bisa melihat hal itu dengan kedua matanya hanya bisa mendengus. Sudah sejauh ini, mana mungkin untuk berhenti. Harga dirinya bisa jatuh.

"Ayo. Akan kuceritakan hal yang lainnya setelah tugas kita di sini selesai. Setidaknya kau juga harus tahu alasan kenapa aku ngotot melakukan ini."

~0~

Iris biru laut terbuka perlahan. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, sebelum kemudian mengubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang luas miliknya. Nuansa kamar sewarna krem itu kini tertangkap indera penglihatannya. Gadis berambut platinum blonde itu mendadak terbangun ketika mimpinya baru separuh jalan.

Ia beranjak dari tempat tidurnya ke arah jendela yang belum ditutup. Tirai putih transparannya berkibar terbawa angin luar. Langit sudah begitu gelap. Seingatnya ia tertidur di kala senja tadi, dan kemungkinannya melewatkan makan malam.

Sang kakak mungkin akan memarahinya nanti. Tapi mau bagaimana lagi.

Kantuk itu tidak tertahankan. Biasanya itu adalah sebuah pertanda. Untuk seseorang yang memiliki kemampuan yang berhubungan dengan mimpi, mimpi apapun tidak bisa dianggap sepele.

Tapi, itu adalah mimpi tentang seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak pernah bertemu seseorang berambut coklat kemerahan dengan iris mata hijau. Hijau adalah ciri khas keluarga kerajaan Aldrand dan ia tidak pernah melihat laki-laki itu di setiap hal yang berhubungan dengan kerajaan.

Tok tok

Suara ketukan pintu membuatnya sedikit tersentak. Lalu disusul suara seorang wanita paruh baya dan pintu yang terbuka perlahan. Seorang wanita dengan gaun bernuansa sage green membungkukkan tubuhnya, memberikan hormat.

"Tuan Putri Freya, maaf mengganggu waktu istirahat anda, tapi saat ini Yang Mulia Raja tengah menunggu anda di ruang makan."

Apa?

Gadis itu melotot. Memangnya sang kakak tidak bisa melanjutkan makan malam tanpa dirinya? Bagaimana jika ia baru terbangun tengah malam?

Ah tidak, Marie, pelayan paruh baya sekaligus orang yang sudah mengasuhnya sejak kecil ini mungkin akan memaksanya untuk bangun. Apalagi kalau kakaknya yang menyuruh. Jelas saja, tidak akan ada yang berani melawan perintah dari raja Kerajaan Riodora itu.

Rakyat kerajaan utara mengenalnya sebagai sosok yang kaku walau sebenarnya laki-laki berambut sama dengannya itu adalah seorang pengasih. Tidak ada yang memprotes kerajaan ketika sang kakak diangkat sebagai raja di umurnya yang masih dua puluh dua. Toh sejak kedua orang tua mereka, raja dan ratu sebelumnya meninggal dalam kecelakaan kapal lima tahun yang lalu tidak ada lagi yang lebih cocok untuk menggantikan ayahnya menjadi raja selain kakak laki-lakinya.

Lagipula mereka hanya dua bersaudara. Dan ia jelas tidak termasuk dalam pilihan untuk naik takhta.

Tidak masalah, ia juga tidak ingin menjadi penguasa kalau kebebasannya jadi taruhan. Sang kakak sudah lebih dari cocok untuk melakukan hal merepotkan seperti itu.

"Marie, bisakah kau keluar dulu sebentar? aku butuh lima menit untuk bersiap. Tidak, tidak, kau tidak perlu membantuku, aku bisa melakukannya sendiri," Freya sudah lebih dulu memotong ketika sang pelayan ingin menyelanya. Ia mendorong pelan wanita paruh baya itu keluar kamar sambil meminta maaf, "kali ini saja, ya?"

Marie hanya bisa menghela nafas. Sang putri memang jarang sekali ingin dibantu untuk berpakaian. Terkadang ia jadi bingung jika sang putri sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, untuk apa ia masih ditugaskan menjaganya?

"Tumbuh dewasa terlalu cepat itu memang terkadang sedikit menyedihkan."

~0~

Ailfrid berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah dipenuhi oleh rerumputan. Jalan ini memang sudah tidak pernah dilalui lagi tapi jelas sekali dulunya pernah ada jalan di tempat ini. Seth berjalan di belakangnya, sesekali menoleh ke belakang. Walau tempat ini tidak lagi berpenghuni tapi bukan tidak mungkin tidak ada makhluk lain yang sama-sama berada di sini. Sengaja atau tidak.

"Se—"

'Tolong.'

Deg

Sebuah suara terdengar. Mendadak rasa sakit menyerang kepalanya. Ailfrid bersandar pada pohon terdekat, ia mencengkeram kepalanya ketika rasa sakit itu datang bertubi-tubi.

Suara itu seolah berasal dari dalam kepala, menembus gendang telinga tanpa ampun.

Rasa sakit di kepalanya semakin lama semakin tidak tertahankan, hingga akhirnya pandangannya menjadi buram. Dan satu-satunya hal yang diingatnya hanyalah bau tanah basah yang menusuk hidung, dan suara Seth yang memanggilnya berulang kali.

"EIRE!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status