Ia paksa tubuhnya yang baru saja mengerahkan lonjakan simulakrum yang besar untuk kembali mengulanginya, melecut otot kakinya untuk segera minggat dari tempatnya berada.
Wira mengatupkan rahangnya, ia bisa rasakan tiupan udara di tengkuknya hasil dari sabetan Khopesh yang amat dekat menghampiri, lehernya selamat tetapi punggungnya tidak.
Ia tersabet sekaligus terjerembab parah oleh besarnya energi kinetik yang terlepas. Wira sigap bergulingan dan siaga akan serangan susulan. Perih menjalar dari luka di punggungnya yang kini terasa merembes di kemeja yang robek.
Tetapi Erhan bergeming di tempatnya. Seolah sengaja menanti Wira untuk bangkit dan memulihkan diri. Entah maksudnya sekedar meremehkan atau memang bagian dari kesopan-santunan ksatria-nya.
“Kau pasti berpikir simulakrum yang kumiliki terbatas pada sejauh apa senjatanya kulempar bukan?” Erhan memutar Khopeshnya kembali. “Kau mengkonservasi energimu, bertaruh untuk satu serangan tunggal untuk mengakhiri semuanya. Pemikiran bagus tetapi kolot.” imbuhnya.
Bertumpu pada pedangnya sendiri, Wira berupaya untuk bangkit, mengabaikan perih yang merembes di punggung, atau otot pahanya yang protes.
“Hampir saja berhasil padahal,” balas Wira, seolah luka telaknya tidak berpengaruh apa-apa.
“Hampir tidak berarti apapun. Kau perlu berpikir out-of-the-box, simulakrum bisa dimanfaatkan dengan kreatif dan mematikan. Sama seperti pedang ini, mematikan atau tidak, kembali soal siapa penggunanya.”
Wira menghela napasnya yang belum sepenuhnya runut, ia menjawab sarkastik, “Makasih untuk Ted talk-nya, Sensei.”
Erhan tertawa pendek mendengarnya, ia membalas, “Sarkasme, wow, aku menyukaimu kurasa. Sayangnya kau, harus mati malam ini.”
“Wow... Kau turun level dari Tedtalk ke dialog norak di film kelas-B, hanya dalam hitungan detik.” Wira kembali memasang kuda-kuda dengan katana-nya. “Dan sayangnya hati ini sudah termiliki. Sorry, no-homo.”
Erhan kembali tergelak pendek sebelum menyerang dan berpindah-pindah tempat dalam satu kedipan, berupaya mengelabui lawannya yang selalu mampu menghindar secepat kilat.
Keduanya berkejaran menjelajahi seluru areal parkir kendati tidak berhenti untuk jual beli serangan, pedang keduanya berdenting silih berganti seiring laju petarungan yang digelar menelusuri keempat lantai parkir yang lengang, naik dan turun.
Wira bermandikan semacam petir kebiruan yang berkilasan acap kali beringsut menghindari dan menggelar serangan. Sedangkan Erhan selalu muncul kurang dari sepersekian detik mencegat perpindahan gerak Wira.
“Teleportasinya pasti menguras tenaga juga!” batin Wira.
Ia keluar dari kecepatan kilatnya dan kali ini mengajak bertarung fisik langsung, Erhan menyambut ajakan ini dengan tangan terbuka.
Keduanya sudah kembali ke lantai paling atas lapangan parkir, masih dalam jual beli jurus pedang yang alot.
Sementara alarm yang terpasang pada seluruh kendaraan yang terparkir pada ketiga lantai di bawah mereka, kini saling bersahutan gaduh, terpicu oleh buangan denyut elektromagnetik yang Wira lepaskan oleh setiap langkah kilatnya.
Pertarungan mereka yang semula senyap berubah gaduh, berpotensi disaksikan khalayak ramai yang bisa saja terpancing oleh suara bising tersebut. Ada banyak sekali potensi masalah dari kemungkinan itu.
Yang paling sederhana tentu saja orang lain bisa terluka.
Wira memikirkan dua pilihan, menunda dan lari atau segera menuntaskan. Lawannya memilih pilihan kedua.
Trang!!
Keduanya kembali beradu pedang dan mundur mengatur ulang posisi.
“Sekarang pertarungan ini berpotensi ramai, artinya ini harus segera usai, betul? Kau tidak bisa tetap pasif-agresif menahan diri lagi,” tutur Erhan.
“Kau benar.”
“Baguslah!”
Erhan kembali mengerahkan segenap kecepatannya, berteleportasi dengan teramat cepat seolah kini tubuhnya telah membelah diri dan mengeroyok Wira secara bersamaan. Untuk pertama kalinya, Erhan mulai dapat masuk lebih jauh ke dalam pertahanan jantung Wira yang keteteran.
Wira sendiri meladeni dengan memusatkan pendengaran dan refleksnya, memulihkan tenaga dengan konservasi energi serta tidak menggunakan kecepatan kilat. Sebagai imbasnya, Erhan merangsek makin dalam menjangkau dirinya.
Wush!
Wira menggelutukan giginya pada kenyataan bahwa nyaris saja nyawanya tuntas. Tebasan yang barusan nyaris tidak terelakkan, ia bahkan dapat melihat pantulan matanya yang terbelalak pada ruas Khopesh itu.
Dasi yang dikenakannya barusan saja putus tersambar, beberapa ruas kemejanya juga sobek teriris, serentetan kombinasi serangan berhasil menyarangkan tiga guratan di lengan.
Sepasang Erhan kembali lenyap, dan ketika muncul, sudah bersatu kembali dengan satu tebasan vertikal yang keras.
Teramat keras sehingga Wira terhuyung mundur, dirinya memang berhasil membendung namun kini kedua telapaknya bergetar mati rasa. Ia bersyukur Katana-nya tidak patah dan tubuhnya terburai, mengingat Erhan sendiri perlu mencabut kedua Khopesh-nya dari lantai parkiran terlebih dahulu, sebelum kembali dapat tegak berdiri.
Beruang raksasa itu juga kelihatan tersengal-sengal.
Erhan mampu berteleportasi dengan cepat walaupun di satu sisi, kecepatan aslinya tidak berubah banyak, semakin sering berteleportasi semakin cepat terkuras juga energinya, bobotnya yang lebih besar juga berpengaruh pada stamina. Aku tidak boleh memberinya ruang untuk pulih, Wira menganalisa keadaan dengan seksama.
“Fiuh! Hampir saja bukan, nyaris saja yang barusan,” kata Erhan.
“Orang bijak bilang. Nyaris tak ada artinya.”
“Jangan bilang kau mulai menyerah,” celetuk Erhan, ketika Wira terlihat perlahan memungut serangka Katana-nya dan menyarungkannya kembali.
Dengan punggung tangan Wira menyeka keringat di kening. Juga membetulakn gulungan lengan kemejanya yang merosot kendor.
“Au Contraire, O’ Nurmagomedov. Waktunya bagimu untuk mencium kanvas.” ujarnya.
Wira merendahkan posturnya, hampir melipat bahunya juga lutut kanan yang ditempatkan paling luar. Katana-nya disimpan pada pinggang sebelah kiri, tangan kanan siap mencabut kapan saja.
Matanya kali ini berkilatan menantang, berkilatan sebagaimana petir yang seolah sudah tidak sabar melonjak dari dalam serangka pedangnya.
Wira kini menantang secara terbuka.
‘Satu serangan ini dan semuanya berakhir’ Wira membatin.
‘Terlepas dari bentuk nyatanya secara praktik, hanya ada satu langkah di dalamnya. Satu bentuk tunggal. Yang menyusul kemudian, adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana adanya Kilat dan Petir.’ Suara lain yang dikenalnya kembali mengingatkan.
Erhan melihat pose tantangan Wira yang teguh sedemikian rupa di tempatnya, yang artinya juga mati langkah seandainya harus mengelakkan serangan seperti tadi. Ia menerimanya.
Ia berlari menyongsong dengan seringai, sebelum melompat dan lenyap di udara kosong. Ketika Erhan muncul kembali kurang dari sepersekian detik setelahnya, ia sudah mengudara di belakang Wira.
Dan Wira memang mengharapkan demikian.
Sekelebat bayangan melenting dari salah satu jendela lantai empat pada kamar milik hotel bintang tiga di bilangan Jakarta Pusat. Hinggap kian kemari seringan kapas pada teritisan balkon kecil berisi deretan kotak kondensor penyejuk udara, memanfaatkannya sebagai pelantar untuk turun.Dalam satu tolakan ia menyebrang ke gedung di sebelahnya yang lebih rendah, menyebrangi sebuah gang sempit di bawah sorotan matahari siang. Tepat ketika sepatu kets Oichi menjejak berdecit pada permukaan atap gedung di sebelah hotel, jendela kamar tempatnya menginap berhamburan dientak ledakan.Oichi membekap mulutnya, kaget dan khawatir. Jendela kamar mereka kini koyak menganga kusennya, kacanya luruh, gordennya menjuntai koyak. Orang-orang di jalanan seketika tersita perhatiannya oleh ledakan barusan, tidak sedikit yang keluar dari deretan ruko yang mengitari hotel tempat mereka menginap. Sebagian khawatir dan panik oleh asap dari jendela kamar hotel, sebagian menonton sehingga kemacetan
Jakarta. 10 Jam yang lalu.“Kami belum pernah melakukan ini, namun biasanya klan Manji tidak pernah membatalkan kontrak.” Michio menuturkan. Masih dengan ekspresi kalah di wajahnya.“Kami juga tidak berkomunikasi langsung. Semuanya melalui perantara komite tetua, mereka juga yang memberikan tugas dan informasi mengenai target.” Oichi menimpali.Wira mendengarkan seksama, sedang tangannya sibuk mengupas bungkus sebatang coklat yang sejak semula di simpan. Michio dan Oichi mengawasi, ketiganya berkumpul pada mobil hotel sewaan yang Michio bawa.Akhirnya ia berhasil mengupas lapisan aluminium yang membungkus batang coklat, ia menawarkan ke Michio yang menolaknya, lalu Oichi yang dengan senang hati menerima, sambil berujar, “Aku merasa dalang semua ini, pasti mengawasi gerak-gerik kalian, bisa jadi sekarang pun masih. Apalagi, aku masih hidup dan kalian tidak mati?”Michio dan Oichi saling pandang, k
Polda Metro Jaya masih mencari petunjuk tentang mayat terpancung di parkiran klab malam.Demikian tajuk Jakarta Morning Post yang terhampar di tangan lelaki di depan Wira. Pada kolom kiri yang lebih kecil, tajuk lain mengetengahkan opini resmi Kedutaan Besar Turki mengenai perkembangan pencarian fakta.Sudah empat pekan, pikir Wira, Watari memang sudah mengupayakan segala metode untuk menghapus jejak pertemuan Wira dan Erhan malam itu. Termasuk pengaburan rekaman CCTV parkiran klab.Akan tetapi bersama Surya yang perlahan memanjat melawan mendung yang menggantung, ia merenung tentang berapa lama hingga untaian persinggungan dengan para Aeternum akan berubah menjadi benang kusut yang kian menjerat kehidupan normalnya.Watari memang ada benarnya, Erhan mungkin satu dari sekian banyak yang mungkin akan terus mendatanginya. Bahkan belum lewat sebulan dari pertarungannya dengan Erhan, ia sudah berurusan dengan para bocah Manji, yang besar kemungkinan di dalang
Jakarta, 14 Jam sebelum pertarungan.“Kami sebetulnya tidak terlalu tahu perihal siapa yang mengontrak kami. Ujian ini utamanya dimaksudkan kepada Michio, para tetua kami yang mengatur.”Gadis di hadapannya itu menuturkan. “Saya juga tidak pernah mendengar perihal Aeternum. Ini kali pertama malahan.”“Dan kalian tidak menggunakan senjata api, atau itu juga bagian dari tradisi?” Wira penasaran.“Tentu kami bisa menggunakan senjata api, namun tetua kami tidak menyarankan,” ungkap Oichi.“Kenapa?” Wira mengejar.“Awalnya kami sendiri janggal mendengarnya, tetapi kami diminta untuk secara khusus memancung … eh, anda.” Oichi menjelaskan, ia lalu melanjutkan lagi, “Hanya kami berdua yang tahu soal ini, katanya target kami sudah lolos beberapa kali percobaan dengan senjata api. Segalanya jadi sedikit terang ketika kami menyergap anda kemarin, b
Michio menggelengkan kepalanya cepat-cepat, mengusir bayangan pikiran yang sontak muncul, pandangannya terbelah membayang.Jantungnya bergedup kencang, tubuhnya mulai mengeluh, berusaha ia secepatnya menguasai diri. Ini gawat pikir Michio. Mentalnya tidak boleh ikut-ikutan bersimpati dengan tubuh. Bisa-bisa ia menyerah dini.Untung saja, pasca pertarungan mereka tempo hari, Michio datang dengan persiapan lebih. Termasuk untuk keadaan genting seperti sekarang.Sigap. Ia melemparkan kelerengnya ke sekeliling. Membentuk tirai asap yang membutakan, ini tidak akan menghentikan lawannya, hanya saja cukup memberinya jeda.Lalu dicabutnya botol mungil dari balik sabuk perlengkapannya. Diselipkan botol tadi ke dalam alat penyuntik yang dicabut dari sisi sabuk yang lain, dan disuntikan ke dirinya sendiri.Reaksi obatnya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan efeknya paling tidak 15 menit. 15 menit sekiranya cukup untuk upaya pamungkan memenangi pertarung
Tirai plastik yang memisah mereka lumat. Kerikil dan debu terhempas. Michio mencelat tersambar torehan biru yang menderakan sengatan listrik pada setiap jengkal tubuhnya. Pandangannya berputar, sebelum terjerembab menubruk tanah. Lempeng pelindungnya rontok tercerai berai, kawat penjalin ruasnya hangus berasap. Sekalipun ia tahu ada orang-orang yang mampu memanipusi alam dengan cara tertentu, seperti Ninjutsu milik Oichi dengan apinya. Ia tidak menduga kalau lawannya ini bisa melepaskan petir melalui pedangnya dengan tanaga badak seolah asli dicomot dari awan mendung. Telinganya berdenging. Cairan tubuhnya berupaya meloncat keluar melalui batang tenggorokan serta hidung yang terbekap topeng. Di puncak segala hal tadi, Michio kini mengalami fenomena yang konon terjadi ketiga manusia meregang nyawa, selaksa peristiwa hidup melintas di kepala. Bagi Michio, potongan yang hadir adalah potret ketika ia masih berusia 7 tahun. Permukaan tatami meruam kaki kec